Fenomena 'tot tot wuk wuk' belakangan ini menjadi viral dan ramai diperbincangkan publik. Konvoi motor dengan knalpot bising, jargon khas yang sulit dimengerti, hingga gaya orasi yang nyeleneh, membuat mereka menjadi bahan tontonan sekaligus cibiran. Di media sosial, video kelompok ini beredar luas dan ditonton jutaan orang. Fenomena tersebut bukanlah viral karena prestasi, melainkan karena keanehan dan kebisingan yang ditimbulkannya. Ironisnya, yang viral justru seringkali menjadi tren, ditiru, dan dirayakan tanpa refleksi apakah bermanfaat atau justru merugikan.
Sebagai seorang dokter obgyn, saya memandang fenomena ini dengan rasa miris. Profesi kami menuntut kesiapan menghadapi situasi darurat yang mempertaruhkan dua nyawa sekaligus: ibu dan anak. Setiap menit, bahkan setiap detik, bisa menjadi penentu apakah mereka selamat atau tidak. Di ruang operasi, saya melihat langsung bagaimana perjuangan hidup dan mati berlangsung. Namun di luar sana, jalan raya yang seharusnya menjadi jalur cepat untuk ambulans sering kali justru terhalang oleh kerumunan yang mencari sensasi dengan knalpot bising.
Saya masih ingat sebuah kasus ketika seorang ibu dengan preeklamsia berat harus segera ditangani. Ambulans yang membawanya tertahan cukup lama di jalan karena konvoi motor memenuhi ruas jalan. Ketika sampai di rumah sakit, kondisi ibu itu sudah memburuk. Kami tetap berusaha keras, tetapi rasa getir sulit dihapus. Perasaan kesal bercampur sedih muncul setiap kali saya mengingat betapa sebuah kebisingan yang dianggap hiburan bisa membuat nyawa hampir melayang.
Bagi sebagian anak muda, fenomena tok tok wuk wuk mungkin terasa menyenangkan. Ada kebersamaan, ada identitas kelompok, dan ada rasa gagah ketika suara knalpot memecah jalan. Tetapi dari kacamata medis, semua itu hanyalah bentuk egoisme yang membahayakan orang lain. Suara bising mungkin sekadar dianggap polusi suara, tetapi bagi pasien stroke atau seorang ibu yang berjuang melahirkan, kebisingan itu bisa menambah penderitaan. Penelitian pun menunjukkan paparan kebisingan berlebihan dapat meningkatkan stres dan tekanan darah, sebuah risiko tambahan bagi pasien darurat.
Masalah semakin kompleks ketika viralitas media sosial ikut melanggengkan fenomena ini. Publik lebih suka menonton hal-hal absurd ketimbang kisah nyata perjuangan menyelamatkan nyawa. Seolah masyarakat terbiasa menertawakan kebodohan, padahal dampak sosialnya serius. Fenomena ini memperlihatkan jurang besar antara apa yang penting dan apa yang viral. Nyawa seorang ibu dan anak jelas jauh lebih berharga daripada pawai motor yang gaduh, namun di ruang publik digital, perhatian justru terbalik.
Sebagai tenaga medis, saya sering merasa getir. Kami harus siap siaga 24 jam, bahkan ketika baru saja pulang dari operasi darurat, bisa dipanggil lagi untuk kasus berikutnya. Dalam situasi seperti itu, jalan raya adalah jalur hidup dan mati. Tetapi di sanalah pula kami berhadapan dengan orang-orang yang hanya mencari sensasi. Tidak salah anak muda mencari hiburan, tetapi ketika kesenangan itu menabrak hak orang lain untuk hidup aman, di situlah masalah muncul.
Aturan lalu lintas dibuat bukan untuk membatasi kebebasan, melainkan melindungi keselamatan bersama. Sama seperti dalam dunia medis, setiap tindakan harus berlandaskan prinsip do no harm; jangan merugikan orang lain. Harusnya prinsip sederhana ini juga berlaku di jalan raya. Bayangkan jika yang terjebak di belakang konvoi tot tot wuk wuk adalah ambulans yang membawa ibu atau bayi mereka sendiri. Mungkin baru saat itu mereka sadar bahwa tindakan mereka bisa merenggut nyawa orang lain.
Pemerintah dan aparat perlu lebih tegas menertibkan fenomena ini. Bukan sekadar demi ketertiban lalu lintas, tetapi demi hak hidup orang lain. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok kecil yang hanya ingin pamer kebisingan. Namun penertiban saja tidak cukup. Kita sebagai masyarakat juga harus bercermin: apakah kita lebih suka menertawakan kegaduhan ketimbang menghargai perjuangan nyata? Apakah kita rela menukar perhatian terhadap nyawa manusia dengan tontonan receh yang viral?
Hidup adalah soal prioritas. Dari ruang operasi, saya belajar bahwa nyawa seorang ibu dan anak adalah hal paling berharga. Viralitas seharusnya tidak membuat kita lupa pada nilai esensial itu. Jika kita bisa lebih peduli, fenomena seperti tot tot wuk wuk hanya akan menjadi catatan kecil yang segera hilang, bukan menjadi budaya kebisingan yang diwariskan. Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukanlah suara bising di jalan, melainkan kesadaran sosial dan solidaritas. Karena di balik setiap perjalanan darurat, ada hidup dan mati yang sedang dipertaruhkan. Kita tidak perlu ikut bising untuk terlihat berani. Justru memberi jalan dan menjaga ketertiban adalah bentuk keberanian sejati: keberanian untuk berpihak pada kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI