Sebagai seorang dokter sekaligus Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI salah satu Cabang, Saya merasa prihatin sekaligus terpanggil untuk memberikan pandangan terkait kasus yang menimpa rekan sejawat kita, dr. Syafri, di RSUD Sekayu, yang baru-baru ini menjadi viral di media sosial. Kejadian ini bukan hanya menyangkut soal etika profesi, tetapi juga menyentuh ranah hukum pidana yang harus kita cermati dengan serius.
Peristiwa ini bermula ketika keluarga pasien memaksa dr. Syafri untuk membuka masker saat bertugas, sebuah permintaan yang secara medis jelas tidak tepat, apalagi di tengah situasi pelayanan kesehatan yang harus mengedepankan protokol keselamatan. Tekanan tersebut dilakukan di hadapan orang banyak, dengan nada yang memaksa dan disertai ancaman reputasi melalui perekaman video dan penyebaran di media sosial.
Dari sisi etik, kejadian ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip menghormati martabat tenaga medis. Dokter berhak mendapatkan rasa aman, bebas dari intimidasi, dan dapat bekerja sesuai dengan kompetensi serta kebijaksanaan profesionalnya. Namun, dalam konteks ini, kita perlu melangkah lebih jauh dengan menganalisis unsur pidana yang terkandung dalam perbuatan keluarga pasien tersebut.
Dalam hukum pidana Indonesia, tindakan memaksa seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan ancaman atau kekerasan termasuk dalam kategori tindak pidana pemaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Unsur "memaksa" di sini jelas terpenuhi ketika dokter didesak untuk menanggalkan masker, padahal ia sedang menjalankan tugas medis sesuai prosedur.
Unsur berikutnya adalah "dengan kekerasan atau ancaman kekerasan". Dalam kasus ini, bentuk kekerasan yang dimaksud tidak selalu harus berupa kontak fisik; tekanan verbal, intimidasi psikologis, dan ancaman pencemaran nama baik di ruang publik digital juga dapat dikategorikan sebagai bentuk ancaman yang serius. Apalagi, peristiwa ini menimbulkan ketakutan dan rasa terhina bagi korban.
Selain Pasal 335 KUHP, dimensi hukum lain yang relevan adalah perlindungan bagi tenaga kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, khususnya Pasal 57 huruf a dan b yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan prosedur operasional. Dalam konteks ini, dr. Syafri jelas menjalankan kewajibannya sesuai standar.
Tidak kalah penting, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga memuat ketentuan pada Pasal 51 yang memberikan hak kepada dokter untuk menolak permintaan pasien atau keluarga pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan kode etik. Artinya, secara hukum, tindakan dr. Syafri menolak membuka masker bukan hanya dibenarkan, tetapi merupakan kewajiban profesional.
Melihat dari sudut pandang pidana, perbuatan keluarga pasien dapat pula dinilai sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik apabila rekaman video disebarkan dengan maksud merusak reputasi dokter. Hal ini diatur dalam Pasal 310 KUHP atau Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 UU ITE apabila dilakukan melalui media elektronik. Dampak reputasional bagi seorang dokter dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat secara luas.
Sebagai Ketua MKEK, Saya menilai bahwa kasus ini bukan semata-mata urusan pribadi antara dokter dan keluarga pasien. Ini adalah preseden berbahaya yang dapat mengancam keselamatan dan kebebasan praktik seluruh tenaga medis di Indonesia. Jika tindakan seperti ini dibiarkan, maka intimidasi terhadap dokter akan menjadi fenomena yang dianggap wajar oleh sebagian masyarakat.
Kita harus mengingat bahwa hubungan dokter dan pasien dibangun atas dasar kepercayaan timbal balik. Saat dokter terintimidasi, keputusan klinis dapat terganggu. Kondisi ini bukan hanya merugikan tenaga medis, tetapi juga berisiko membahayakan keselamatan pasien itu sendiri. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang tegas menjadi bagian dari menjaga mutu pelayanan kesehatan.
Dalam kerangka hukum pidana, pembiaran atas perbuatan pemaksaan dan ancaman ini akan menimbulkan efek domino. Pertama, menurunnya motivasi tenaga medis untuk bertugas di daerah-daerah dengan risiko konflik tinggi. Kedua, memicu ketakutan untuk mengambil keputusan medis yang tepat karena khawatir berhadapan dengan tekanan pihak keluarga pasien.