Mohon tunggu...
Ridwan Hidayat
Ridwan Hidayat Mohon Tunggu... -

Baca, tulis, ide, mimpi, harapan, dan cita-cita\r\nBlog : www.ridwanhidayat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengamati Perdebatan 1 Syawal, Saya Klasifikasi Menjadi Blok 30 dan Blok 31, Bagaimana Posisi Anda?

2 September 2011   14:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah merayakan hari lebaran pada 31 Agustus lalu, saya kira polemik perbedaan tersebut sudah selesai. Ternyata, kehadiran tulislan Kang Jiddan pada judul ‘Saudi Arabia : 1 Syawal Adalah Rabu 31 Agustus 2011’ memperpanjang polemik tersebut. Dilihat dari komentar-komentarnya, sebagian besar merasa tidak terima pemberitaan tersebut yang terkesan tidak sesuai fakta yang terjadi di negara yang dijadian judul itu. Namun, si penulis tetap merasa kukuh bahwa info yang ia sampaikan benar.

Jika diperhatikan, nampaknya pihak-pihak yang kontra dengan informasi Kang Jiddan tersebut berada pasa posisi ikut lebaran pada 30 Agustus. Saya sebut saja pada blok 30. Sedangkan yang ikut lebaran pada 31 Agustus, atau blok 31, lebih terlihat banyak diam. Kalau pun ikut komentar lebih kepada dukungan. Secara diam-diam, mungkin bisa jadi orang-orang yang pada blok 31 ikut menyebarkan link artikel tersebut sebagai bukti bahwa lebaranya pemerintah benar.

Orang-orang yang berada pada blok 30 kebanyakan berasal dari pengikut Ormas Muhammadiyah dengan metode Hisab-nya. Kemudian beberapa penganut ‘madzhab’ Rukyat Global, berkiblat pada Arab Saudi, serta orang-orang yang menolak atau antipati dengan keputusan pemerintah. Baik menolak dalam hal ketidakpatutannya pemerintah sebagai ulil amri dan menolak pandangan ijtihad hasil sidang Isbat 29 Agustus lalu.

Tidak hanya itu, nampaknya golongan masyarakat oportunis juga ada di sini. Yaitu, masyarakat yang hanya memikirkan bagaimana biar cepat melaksanaan lebaran, agar menghindar untuk berpuasa lagi. Seandainya perubahan waktu lebaran bukan diundur tetapi dipercepat, mungkin tidak ada hujatan yang berlebihan kepada pemerintah oleh orang-orang golongan ini. Bisa jadi tidak seramai sekarang.

Sedangkan yang berada pada blok 31, adalah orang-orang yang masih mengakui eksistensi MUI, percaya kepada keputusan pemerintah melalui sidang isbat yang diwakili oleh perwakilan ormas-ormas Islam. Sebagia besar juga berasal dari pengikut-pengikut partai islam yang berada di bawah corong pemerintah. Dan nampaknya, Kang Jiddan berada pada blok ini.

Lalu bagaimana posisi Anda?

Kalau saya pribadi, saya tidak peduli dengan kedua blok tersebut. Saya lebih peduli menghabiskan makanan lebaran di rumah, hehe. Saya hanya memposisikan sebagai pengamat dari perdebatan seru kedua belah pihak. Bisa juga memposisikan sebagai seorang marketing yang sedang megkaji segmen dari kedua perilaku umat islam dan memikirkan produk apa yang cocok buat ke dua segmen tersebut. Atau juga, seandainya saya seorang intelejen, adalah sarana saya untuk mempelajari pola konflik yang ada agar dapat mengetahui agenda apa yang akan saya lakukan untuk menyusun politik pecah belah dan propaganda kedepannya, hahaha (just kidding). Sebuah kajian perilaku yang menarik. Karena keterbatasan pengetahuan metodelogi, perilaku kedua blok ini agak sulit saya kaji lebih dalam.

Yang jelas, agak sulit kalau menepatkan pada posisi non blok. Sebab, pastinya Anda atau saya pasti kemarin memilih lebaran dari kedua tanggal tersebut. Saya jujur, mengambil lebaran pada hari Rabu. Alasannya, karena faktor lingkungan dan mencoba menjalankan hadist Nabi saw yang berbunyi : Dari Ibnu Umar r.a dari Nabi saw. Sabdanya: Setiap muslim wajib patuh dan setia terhadap pemerintah, disukai atau tidak disukainya, kecuali bila ia diperintahkan melakukan maksiat. Jika dia diperintah melakukan maksiat dia tidak perlu patuh dan setia. (HR Muslim Hadis No.1806). Toh, ini juga hasil ijtihad dalam masalah furu. Jika pemerintah (dalam hal ini musyawarah ulama perwakilan ormas) salah, tidak ada dosa.

Belajar dari sejarah

Menyikapi perbedaan tersebut, seharusnya kita perlu belajar dari sejarah umat Islam pada masa kekhilafahaan. Perbedaan waktu lebaran sudah pernah terjadi di jaman kekhalifahan Muawiyah. Kisah tersebut bisa disimak pada kitab Imam Asy Syaukani yang berjudul Nailul authar, bunyinya seperti ini tepatnya :


Diriwayatkan dari kuraib, Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata : Aku memasuki Syam, Aku melihat (bulan sabit) pada malam Jumat. Setelah itu akan aku memasuki kota Madinah pada akhir Bulan Ramadlan Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, Kapan kalian melihat hilal ? Aku menjawab : Ya dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyah. Dia berkata lagi: Tapi di Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari, atau hingga kami melihatnya. Aku lalu bertanya, Tidak cukupkah kita berpedoman pada rukyat dan puasa Muawiyah? Dia menjawab, tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami. (HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah)

Sikap yang diambil ibnu Abbas tidak lepas hadist Rasulullah saw yang bersabda :
"Hari Idul Fithri kalian adalah hari (masyarakat) kalian berbuka (mengakhiri puasa), & hari Idul Adhha kalian adalah hari (masyarakat) kalian menyembelih hewan."
[HR At Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni dalam Riyadhul Jannah 721. Al Albani: Shahih]

Ijtihad yang dilakukan ibnu Abbas akhirnya berkembang menjadi Madzhab yang dianut Imam Syafi’i. Dari madzhab Imam Syafi’i itulah lahirnya metode rukyat dengan model mathla-mathla. Dalam kitab Imam Asy Syaukani itu juga ia menolak pandangan Imam Syafi’i soal mathla-mathla. Ia lebi berpedoman pada Madzhab dari beberapa imam seperti Hanafi, Hambali dan Maliki. Ke tiga imam tersebut berpendapat bahwa ketika beberapa orang (minimal dua) dalam satu wilayah (negara) sudah melihat hilal dan informasi terlihatnya hilal sudah menyebar ke beberapa wilayah (negara) maka masyarakat dari berbagai negeri wajib menjalankannya (ibadah Ramadhan atau 1 Syawal). Pedoman pada madzhab yang terakhir inilah yang dipakai oleh blok 30.

Dari sejarah inilah bagaimana kita belajar menyikapinya. Belajar bagaimana para imam-imam tersebut menyikapi hasil ijtihad pada imam lainnya. Perbedaan pandangna adalah suatu yang lumrah.

Dalam sebuah kisah Harun Ar Rasyid pernah minta agar Kitab Al Muwaththa' karya Imam Malik dijadikan sebagai panduan hukum seluruh wilayah. Imam Malik menolak.Ujar beliau, "Hai Amiral Mukminin, para sahabat Rasulullah telah berpencar ke seluruh penjuru bumi, dan mereka memiliki pendapat sesuaidengan khabar yang sampai pada mereka & pemahaman masing-masing akan Kitabullah & Sunnah Rasul-Nya, lalu masyarakat pun mengikuti mereka. Maka sungguh aku melihat, menggiring mereka hanya pada satu pendapat semata hanya akan menjadi sumber fitnah & kekacauan." (Dari Twit Salim A Fillah, @salimafillah, berdasarkan pengetahuannya terhadap tarikh Islam, Insya Allah kisah ini shahih)

Sekali lagi sikap. Semua ini hanyalah masalah ijtihad. Jika pun ada salah satu pihak yang salah buat apa harus dibesar-besarkan. Toh, semua kebenaran akan kembali kepada Allah swt.

Wallahualam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun