Sumber Photo : www.kepulauannias.com
Salah satu kontroversi dari tiga kontroversi tindakan dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly adalah rencana kebijakannya akan merevisi aturan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi. Walaupun hal tersebut baru sekedar rencana, akan tetapi telah menyinggung sensitifitas masyarakat pada umumnya. Rencana tersebut dapat dinilai mencederai keadilan dan kemanusiaan. Bagaimanapun, kejahatan korupsi sudah kategori sulit termaafkan, maka dari para koruptor dianggap tidak berhak mendapat remisi atau lebih layak dihukum mati, kalau memungkinkan.
Rencana kebijakan aneh muncul dari seorang menteri Jokowi, yang selama ini masyarakat memandang kabinet Jokowi dianggap bersih dari segala syak-wasyangka korupsi. Tetapi apa boleh buat, Laoly, begitulah dia disebut di kalangan politisi PDIP, telah bertindak culun, semau gue menafsirkan, dan terkadang bersikap pilon. Mestinya Jokowi malu punya menteri model gini.
Sebelum berkembang isu pemotongan remisi bagi para koruptor. Laoly melakukan ulah, yakni mem-bully 2 partai, yakni PPP dan Golkar. Laoly mengesahkan PPP kubu Romahurmuzy sebelum ada pengesahan dari Mahkamah Partai. Sebaliknya berbeda yang terjadi pada Golkar, Laoly membuat kesimpulan sendiri, dengan mensyahkan kubu Agung Laksono daripada Aburizal sebagai yang sah pemilik partai Golkar. Padahal tidak ada satu pun, sebuah keputusan yang resmi dari mahkamah partai menyebut kubu tertentu yang menang, dan yang lain kalah. Ada standar  ganda yang diterapkan oleh Laoly, yang sangat membingungkan semua pihak. Maka sangat wajar, bila hak angket ditujukan buat seorang Laoly.
Hak angket masih dalam wacana pembahasan, tiba-tiba dia mengeluarkan pernyataan kontroversial, dengan mewacanakan revisi remisi koruptor. Pernyataan tersebut dengan sendirinya berbalik menyerang dirinya. Kini dia menjadi pesakitan tersungkur di balik baju kebesarannya sebagai seorang menteri. Padahal dirinya telah menjadi bahan olok-olokan masyarakat. Salah satu pegiat antikorupsi, Dahnil Anzar Simanjuntak yang tidak setuju revisi remisi diberikan pada koruptor.
"Korupsi ini termasuk extraordinary crime sehingga pertimbangan hukuman mati diperlukan. Korupsi sama halnya dengan kejahatan HAM, bandit perang, atau teroris, bukan diberi remisi," kata pegiat antikorupsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Dahnil Anzar Simanjuntak, kepada Kompas.com, Senin (16/3/2015).
Laoly mewacanakan remisi korupsi berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. PP itu mengatur narapidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, narkoba, dan terorisme, bisa mendapat dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi justice collabolator, atau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan.
Remisi tersebut dari PP tersebut memiliki aturan yang ketat, khusus diperuntukkan bagi para pelaku kejahatan yang mau melakukan justice collaborator, bukan asal-asalan sekedar pemotongan hukuman, karena kelakuan baik. Jadi tidak begitu gampangnya memberi remisi. Sudah seharusnya kita protes tindakan Laoly yang mewacanakan revisi.
Sudah 3 kesalahan yang dibuat Laoly telah merusak hubungan harmonis antar masyarakat, dan menimbulkan goncangan bagi stabilitas pemerintahan Jokowi. KMP bukanlah ancaman bagi Jokowi, justru Jokowi mesti mewanti-wanti orang-orang yang di sekeliling Jokowi, termasuk para menteri-menterinya, yang terkadang bertindak gegabah. Laoly adalah salah satu menteri telah bertindak culas, baik kepada partai, maupun telah menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi. Sebelum berlanjut atas tindakan Menkumham yang lancang, seharusnya Jokowi berani memecat Laoly. Gantilah Menkumham yang bukan dari golongan partai. Wassalam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI