"You don't owe anything to anyone."
Pernah dengar kalimat ini? Pernyataan ini sering muncul ketika kita merasa mengecewakan orang lain atau saat kita sedang berusaha menenangkan diri. Jujur saja, aku teringat kembali pada kalimat itu saat melihat postingan Instagram Peaceful Barb.
Awalnya, kalimat tersebut cukup masuk akal karena kita berjuang sendiri. Namun, seiring bertambahnya usia dan semakin matangnya cara berpikir, aku merasa cara berpikir dalam pernyataan itu problematik.Â
Apakah Kita Benar-Benar Bisa Hidup Sendiri?
Pernahkah kita merenung bahwa apa yang kita capai selama ini terjadi karena ada tangan-tangan baik yang membantu kita? Sejak awal, kita adalah makhluk sosial yang secara kodrati bergantung pada orang lain. Bukan semata-mata karena kita ingin bergantung, tetapi karena kita sadar kapasitas kita terbatas. Dan karena keterbatasan itulah, kita membutuhkan bantuan orang lain.
Bayangkan situasi ini: kita bekerja dari rumah, sehingga masih bisa mengurus hal-hal lain. Suatu hari, kita mendapat giliran membersihkan rumah, tetapi karena pekerjaan sedang padat, kita tak sempat menyapu. Akhirnya, kita minta tolong kepada adik untuk melakukannya.
Contoh lain, dalam sebuah organisasi, kita diberi tugas membuat konten Instagram Reels. Kita kesulitan mengedit video dengan efek-efek menarik. Mau tidak mau, kita meminta bantuan rekan satu divisi agar hasilnya sesuai harapan.
Entah hubungan itu bersifat transaksional atau tulus, yang penting adalah kita menyadari bahwa ada banyak keterbatasan dalam diri kita yang hanya bisa dilengkapi oleh kehadiran orang lain. John Challis, Business Development and Marketing Executive, menyimpulkannya seperti ini: No one ascends in life without help which is why it is imperative, whenever you may have the opportunity, to pay it forward.
Bahaya Merasa Tidak Butuh Siapa-Siapa
Pernyataan "you don't owe anything to anyone" juga berpotensi membuat kita mengalienasi diri dari masyarakat. Karena merasa mampu melakukan banyak hal, kita mengira tidak butuh bantuan siapa pun. Mungkin kita merasa cukup kaya untuk mengurus semuanya sendiri.
Terlepas dari sifat hubungannya transaksional maupun tulus, kita tetap membutuhkan orang lain. Kita butuh seseorang yang bersedia memungut sampah di tempat pembuangan akhir. Kita butuh seseorang yang mau menjaga kucing kita saat kita mudik: memberi makan, menemani bermain. Memang hubungannya bisa berbasis upah, tetapi bayangkan jika tidak ada satupun yang mau membantu, meski dibayar mahal?
Karier kita yang cemerlang pun tidak berdiri sendiri. Ada orang-orang baik yang membuka pintu kesempatan yang kita butuhkan. Ada sahabat kita yang memberikan dukungan moral saat kita membutuhkannya. Ada orang tua kita yang senantiasa mendoakan kesuksesan kita.Â
Seorang Elon Musk pun tak akan bisa mendirikan banyak perusahaan tanpa tim hebat yang sevisi dan mau bekerja keras. Seorang profesor hanya bisa produktif karena ada tim peneliti yang mendukungnya. Singkatnya, tidak ada yang benar-benar dapat melaju sendirian dan sukses.