Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Itu Nikmat, tapi Kamunya kok Gak Mau?

12 Januari 2021   08:19 Diperbarui: 20 Januari 2021   18:00 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

innallāha lā yugayyiru mā biqaumin ḥattā yugayyirụ mā bi`anfusihim.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib (maa) suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (Ar-Ra’d: 11)

Maaf. Aku tidak tahu caranya ngetik pakai bahasa Arab. Copy-paste juga sudah aku coba, dan hasilnya kok malah kebolak-balik.

Mengetahui keberadaan ayat itu, aku jadi merasa kalau mau hidup enak itu susah. Maksudnya susah mencapai ke-enak-an bagi yang berasal dari "tidak berada" alias miskin. Mengapa? Karena mereka harus mengubah nasib mereka sendiri tentu dengan kerja keras. Maka yang hidupnya paling enak nan nikmat ya yang keturunan orang kaya, dan itu rasanya seperti tidak adil. Ya, tidak adil, tanpa pakai seperti.

Tak disangka, aku mendengarkan penjelasan itu lebih terang di Pengajian Suluk Maleman, Pati. Tapi aku nontonnya via YouTube. Hehehe. Bapak Kiai Mustofa Bisri as known as Gus Mus yang menjelaskan. Menurut beliau, arti maa di situ artinya adalah sesuatu. Tidak konkret. Berarti tidak pasti nasib, tidak pasti keadaan. Walau itu mungkin-mungkin saja. Namun sayangnya, kebanyakan orang mengartikannya dengan kata nasib saja atau keadaan saja. Tetapi nasib atau keadaan yang bagaimana? Sedangkan kata Gus Mus, mestinya kalau kita mau mengkonkretkan—kata maa atau sesuatu—kita harus mencari ayat-ayat di Qur’an yang bunyinya serupa. Dan ternyata ada lho, dan itulah yang dinamakan ayat yang menafsirkan ayat. Gus Mus pun membunyikan ayat itu.

żālika bi`annallāha lam yaku mugayyiran ni'matan an'amahā 'alā qaumin ḥattā yugayyirụ mā bi`anfusihim wa annallāha samī'un 'alīm.

Artinya: (Siksaan) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat, yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa (maa) yang ada pada diri mereka sendiri. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Anfal: 53)

Jadi sesuatu (maa) itu adalah apa-apa yang ada pada suatu kaum, yakni kondisi berkenikmatan. Dan yang dimaksud mengubah adalah mengubah dari kondisi berkenikmatan menjadi siksaan. Bukan dari kesengsaran, penderitaan, ketidaknikmatan menjadi kenikmatan. Bukan. Dan bukan Allah-lah yang menghendaki itu—mengubah kondisi berkenikmatan menjadi siksaa—melainkan kehendak kaum itu sendiri.

Berarti aslinya itu kita semua hidup dengan penuh kenikmatan, Allah menganugerahkan itu kepada semua makhluk-Nya. Namun kita, maksudnya sebagian dari kita—atau pokoknya ada-lah—yang menolak. Menolak dalam arti secara sadar atau tidak sadar mereka mengada-ngadakan masalah, hingga malah menggiring diri mereka sendiri kepada siksaan atau derita.

Omong-omong soal masalah, apalagi yang diada-adakan, itu membikinku mengingat tulisan seseorang. Chandra Mohan Jain, atau biasa dipanggil Osho, tokoh mistikus India, pernah berkata bahwasanya jika seluruh masalah manusia adalah 100%, maka pembagiannya adalah 90% adalah masalah kita buat sendiri, 9% adalah masalah orang lain yang mana kita ikut terlibat secara sengaja/tidak sengaja, dan 1% adalah masalah yang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, yang pasti kita hadapi. Misalnya, kematian, ketidakpastian yang ada di depan kita. Adalah sebuah misteri. Kita hanya perlu menjalaninya.

Melihat angka-angka itu aku tidak serta-merta menganggapnya sebagai kebenaran tepat akurat. Aku mengerti bagaimana Osho biasanya menjelaskan, yakni dengan bahasa puisinya. Penuh konotasi, perumpamaan, majas-majas. Aku hanya bisa menangkap dan menginterpretasikannya sesederhana ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun