Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Masa Depan Prodi Keperawatan di Bawah Poltekkes

29 Maret 2021   17:05 Diperbarui: 10 April 2021   08:34 2118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perawatan di ruang isolasi pasien Covid-19 di RSUD Kota Bogor, Kamis (23/4/2020). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor membatasi layanan kesehatan setelah 51 tenaga medisnya terindikasi reaktif Covid-19. Layanan yang tetap beroperasi adalah unit kegawatdaruratan, cuci darah, kanker, dan layanan penyakit kronis.(KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Jauh sebelum Poltekkes berdiri berdasar SK Menteri Kesehatan melalui SK Menkes-Kessos No.298/Menkes-Kessos/SK/IV/2001, pada tahun 2001, jenjang pendidikan kesehatan secara umum dan keperawatan khususnya, banyak diminati masyarakat. 

Dalam perjalanannya, Akademi Keperawatan yang lebih dikenal dengan Akper, menghadapi berbagai tantangan berat. Akper berdiri sejak awal tahun 80-an ternyata tidak lagi seperti harapan banyak kalangan.

Selama 40 tahun perjalan karirnya, Akper, hanya berganti 'wajah' menjadi Poltekkes. Saya mengamati dari luar pagar. Kebijakan perubahan kelembagaan dari Akper menjadi Poltkkes bukan berarti tanpa pertentangan. Bahkan, orang-orang dalam Akper sendiri tidak sedikit yang kontra.

Mengapa?

Sebagai bagian dari kehidupan demokrasi, Akper yang mendominasi porsi dalam Poltkkes tidak merasa mendapatkan perlakuan yang 'fair'. Misalnya dalam keanggotaan Senat. Seharusnya, prinsip demokrasi berlaku. 

Keberadaan Prodi Keperawatan yang mendominasi Poltekkes nyatanya diperlakukan 'sama', atas azas sama rasa sama rata. Akibatnya, Akper tidak berkembang. Dalam satu Poltkkes, kadang terdapat 10 Prodi Keperawatan, dan Prodi lainnya masing-masing hanya 1. 

Sayangnya, anggota Senat yang mewakili Keperawatan hanya 1 orang. Prodi lain yang jumlahnya minimalis, ironisnya sama dengan Prodi Keperawatan. Hal inilah, meski tidak menyeruak gaungnya, tetapi kami bisa merasakan. Bapak ibu dosen keperawatan sewot.

Maksud pemerintah, bagus. Yakni semua diperlakukan sama. Namun kenyataanya idak demikian. Justru berakibat pada kerdilnya potensi yang dimiliki oleh jurusan tertentu. 

Setuju atau tidak, kebutuhan perawat di RS, klinik, Puskesmas dan lain-lain, jauh lebih besar dari pada profesi kesehatan lain. Dari perbedaan ini nyata, jika masalah anggaran disamakan, tentu saja beda hasilya. 

Demikian pula soal --soal 'kecil' lainnya yang hanya orang Poltkkes yang tahu. Poltkkes yang mayoritas dipimpin oleh profesi lain sementara keperawatan mendominasi, bisa berdampak kurang baik dalam banyak hal terkait rofessional development program.

Inilah beberapa hambatan yang dialami oleh bapak-bapak dan ibu-ibu dosen di Poltekkes Prodi Keperawata. Sayangnya mereka tidak 'berani' atau 'mampu' bersuara. Maklum, karena birokrasinya yang menghendaki demikian.

Artikel ini bukan bermaksud untuk membela Akper, akan tetapi mencoba mengeksplorasi bagaimana masa depan program pendidikan diploma keperawatan di Indonesia lewat jalur Poltekkes milik Plat Merah ini.

Kini 20 tahun sudah umurnya. Prodi Keperawatan yang sekarang bukannya lebih baik dari pada Akper pada tahun 1980-an. Baik itu kualias lulusan, perolehan kerja, serta penjurusan. Kalaupun ada yang lebih baik, barangkali infrastrukturnya ok lah. 

Jumlah kampus lebih dari 33 buah se Indonesia, jumlah doctor (S3) sekitar 400 bagus, jumlah guru besar 5 orang, OK lah meski sangat minimalis. 

Prestasi tersebut diraih sesudah 40 tahun perjuangan, bahkan jika mulai tahun 1960 an (saat di Bandung) berarti usia Akper yang kini berada dalam tubuh poltekkes itu 60 tahun. Sudah Manula.

Lulusan Prodi Keperawatan saat ini tidak bisa saya katakan 'lebih baik' dari era tahun 70-80 an, dari tiga 4 sisi.

Pertama, masalah perolehan kerja. Dulu, Akper merupakan pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan dijamin perolehan kerjanya oleh Pemerintah. Bahkan Akper swasta pun sangat mudah untuk mendapatkan status PNS. Kini tinggal kenangan.

Namun demikian, belum nampak tanda-tanda bahwa Prodi Keperawatan dalam payung Poltekkes mengadakan perubahan untuk mengatasi masalah perolehan kerja ini.

Beberapa langkah dilakukan oleh sedikit Poltekkes yang bekerja sama dengan Jepang. Patut diakui bagus, namun belum cukup, karena pengiriman ke Jepang juga menuai kritik.

Setidaknya ada 3 hal mengapa Jepang bukan pilihan ideal bagi perawat. Dari sisi bahasa Jepang bukan bahasa internasional. Jepan juga bukan kiblat profesi keperawatan. Dan nilai azas manfaat teknologi yang tidak aplicabe di Indonesia sedah baik ke Indonesia. Apalagi berangkat ke Jepang sebagai Caregiver.

Lulusan Prodi Keperawatan Tantangannya Besar (Source: Poltekkes Malang)
Lulusan Prodi Keperawatan Tantangannya Besar (Source: Poltekkes Malang)

Kedua, dari sisi jurusan. Kita bandingkan dengan perkembangan RS 40 tahun lalu. RS daerah yang berdiri 40 tahun lalu, saat ini sudah memiliki layanan sub-sub-spesialisasi.

Ironisnya, perkembangan layanan di RS ini tidak diimbangi oleh perkembangan spesialisasi dalam pendidikan Akper. Yang ada hanya jumlah kampus dan jumlah dosen. Kalaupun saat ini ada Diploma IV, umurnya baru sama dengan umur jagung dan spesialisasinya sangat minim. Belum lagi produk DIV Keperawatan yang penuh kontroversi.

Ketiga, kemapanan kelembagaan. Mestinya dari Akper, berkembang menjadi lebih baik dan lebh fokus. Misalnya Akademi Keperawatan dulu berubah menjadi Akademi Keperawatan Kulit, Mata, Manula, Industri, Kamar Bedah, Kanker. Yang terjadi nyatanya tidak demikian. Berdirinya Poltekkes malah mengaburkan arti Akademi Kepeawatan yang justru lebih 'pas' dari pada Poltekkes.

Keempat, peran dalam organisasi. Berdirinya Organisasi pendidikan seperti AIPVIKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Vokasi Keperawatan Indonesia) dirasa kurang maksimal manfaatnya. Kiprahnya belum begitu bisa dirasakan oleh lulusan yang dihasilkan.

Harusnya, AIPVIKI mampu menembus birokrasi, misalnya dengan memanfaatkan muatan lokal untuk bukan hanya mencetak sarjana muda keperawatan, namun mampu menyalurkan mereka.

Misalnya juga mendirikan layanan keperawatan di bawah kampus sendiri sebagaimana yag dilakukan oleh beberaa kampus Kedokteran yang memiliki RS sendiri.

AIPVIKI bisa meracang berdirinya Nursing Center, lembaga keperawatan Homecare, Manula, hingga persiapan ke luar negeri. Sehingga lulusannya tidak bingung mencari kerja serta mengurangi ketergantugan pada anggaran dana Pemerintah. Banyak penggede AIPVIKI yang studi banding ke luar negeri tidak mampu mengadakan perubahan di negeri sendiri.

Ke depan, Poltekkes ini bisa jadi dianggap program yang 'membebani' pemerintah. Pendirian Poltekkes (Prodi Keperawatan hanya contoh di sini), tidak seperti lembaga pendidikan kedinasan lainnya seperti Telekomunikasi Kementrian Agama, Kementerian Perhubungan dan Kemiliteran. Mereka rata-rata lulusan mereka mudan mencari kerja, mapan dan dapat gaji layak.

Akankah Poltekkes mampu bertahan dalam 10 tahun mendatang?

Jika penggede-penggede Poltekkes, termasuk yang di Prodi Keperawatan mestinya kumpul bareng. Pikirkan hal ini, adakan penelitian, selenggarakan event-event scientific, dekati Pemeritah Daerah serta Pusat, rangkul orang-orang DPR, lakukan terbosan baru berupa inovasi dalam pendidikan keperawatan di Indonesia, susun proposal bagaimana wajah Poltkkes Prodi Keperawatan 10 tahun mendatang.

Ini penting agar usia pendidikan keperawatan di negeri ini bukan semata makin tua dalam artian umur. Tetapi juga makin bijak, pintar, serta menjadi ahli di bidangnya.

29 March 2021

Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun