Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dukun dan Pengobatan Alternatif Laris di Era Digital

5 Agustus 2020   17:12 Diperbarui: 8 Agustus 2020   08:07 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Kartinah, pasien Kanker Rahim yang sembuh. Dokpri.

Ibu Sri, keluarga dekat tempat kami tinggal di Malang, kalau mengalami keluhan kesehatan, biasa beli Jamu Tradisional. Kalau capek atau pega-pegal, panggil tikang pijat. Sama seperti Pengobatan Aternatif yang sangat murah, pengobatan tradisional juga demikian. 

Kadang hanya cukup bayar Rp 10 ribu, penyakit mulas dan diare terhenti. Kalau ke Perawat harus bayar minimal Rp 50 ribu di pelosok desa. Kalau dokter tarifnya sampai Rp 200 ribu minimal.

Obat Tradisional. Sumber: Suara.com
Obat Tradisional. Sumber: Suara.com

Pengobatan tradisional masih tetap eksis di negeri kita meskipun tidak mendapatkan dukungan 'maksimal' dari Pemerintah. Kita tidak melihat adanya program-program menggalakkan masyarakat menggunakan pengobatan metode ini.

Dulu zaman Orde Baru sempat dihimbau menanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Kini jarang terjadi. Atau mungkin karena sudah tidak ada lahan? Jamu Nyonya Meneer, Cap Djago, Sidomuncul, Air Mancur, Kidang Kencono, tidak nyaring terdengar iklannya.  Kini tinggal dongeng. Hanya satu dua toko kecil yang menjual. Padahal angka kesakitan kita mecapai 15%, ata sekitar 10.5 juta orang di Indonesia.  

Pusat Penelitian Kesehatan

Kita sering membaca di media terkait berita orang-orang kita pintar yang tidak dihargai karyanya di negeri sendiri.  Misalnya, Muhammad Kusrin yang ditangkap polisi lantaran diduga merakit TV sendiri. Kusrin lulusan SD, namun memiliki kelihaian dengan belajar otodidak. Dia bisa merakit TV dari barang bekas yang disulap menjadi sebuah TV siap pakai.

Dia jual hasil ciptaannya dengan harga murah, sekitar Rp 350 ribu tiap unitnya. Sayangnya, kini dia berhadapan dengan pihak berwajib, serta terancam hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 2,5 juta karena melanggar hukum perdagangan yaitu produknya tidak memiliki label SNI atau Standar Nasional Indonesia (Bombastis, 2020).

Kita punya orang-orang pintar yang karyanya besar tetapi tidak dihargai. Ironisnya, mereka lebih dihargai di luar negeri. Misalnya, Eng. Khoirul Anwar, di Jepang. Ciptaannya yang terkenal adalah teknologi broadband yang menjadi cikal bakal lahirnya generasi mobile 4G LTE, yang sekarang banyak dikembangkan dan dipakai di berbagai negara di dunia. 

Ada lagi Warsito P. Taruno, lulusan (S1-S3) Jepang. Pakar Jurusan Teknik Kimia, Teknik Elektro dan beberapa risetnya di Amerika Serikat serta saat menjadi dosen Fisika Medis di Universitas Indonesia, berhasil menciptakan alat yang dirasa akan sangat berguna bagi dunia kesehatan.

Perlakuan seperti ini yang membuat dunia penelitian kita, termasuk bidang kesehatan tidak berkembang sehat. Contoh konkrit bidang kesehatan lainnya adalah temuan Dr. Teraman, kini Menkes, Metode Cuci Otak yang digunakan secara luas di Jerman, namun tidak kita gunakan. Ini menandakan sebenarnya Kepakaran Medis tidak Mati di negeri ini. Hanya saja tidak berkembang sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun