Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membandingkan "Kejamnya" Ibu Tiri dan Ibu Kandung

16 Juni 2020   06:59 Diperbarui: 16 Juni 2020   07:13 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Hardy, 2013. Personal Collection 

Saya pernah mendengar kisah suksesnya film 'Ratapan Anak Tiri'. Tapi seumur-umur tidak pernah dengar ada film 'Ratapan Anak Kandung'. Kisah terkenal 'Bawang Merah dan Bawang Putih', dan kisah 'Cinderella', begitu melegenda. Sang penulis dan sutradara boleh dibilang sukses mengemas cerita tenang kejamnya Ibu Tiri. Sedemikian kejam sehingga pembaca atau pemirsa bisa terharu biru, menangis hingga mata bengkak saat menyaksikan filmnya. Seolah sedemikian kejam portret seorang Ibu Tiri.

Nama Ibu Tiri di masyarakat selalu negative reputasinya. Betapapun sang Ibu dinikah sah oleh suaminya, diakui oleh negara. resmi di mata agama, serta legal di mata hukum. Namun sang Ibu Tiri harus memikul beban berat dengan identik 'kejam' atau 'jahat'.

Kalau ada Ibu Tiri yang baik, masyarakat seolah menilai 'pasti ada maunya'. Ibu Tiri yang baik dianggap seperti udang di balik batu. Sunggu sangat tidak fair. Kasihan mereka sebagai anggota masyarakat, yang harus memanggul beban ini. Seorang ibu tiri, sama seperti perempuan lainnya, juga punya hati dan perasaan yang memang bisa berbuat jahat. Namun jangan lupa, sebagai manusia, ibu tiri bisa pula berbuat baik, bahkan baik sekali, adil, melindungi anak-anak. Jangankan anak suaminya, anak orang lain pun mereka bisa.

Tidak sedikit ibu-ibu tiri yang memberikan santunan dan bantuan pada anak-anak terlantar, donor tetap di Dompet Duafa, panti jompo, yayasan panti asuhan serta orang miskin lainnya. Ibu tiri. Sebuah predikat yang sebenarnya sudah tidak lagi relevan diusung di zaman modern ini.  

Masyarakat kita tidak rela jika ibu tiri kejam. Namun masih bisa menerima jika ada ibu kandung yang 'menterlantarkan' anak-anaknya. Berapa jumlah anak-anak yang dilahirkan oleh ibu kandung mereka, tapi nakal banget, terjerumus narkoba, gagal sekolah padahal mampu orangtuanya, tumbuh dalam lingkungan kriminalitas, jadi begal, bahkan ada yang tega membunuh orangtuanya sendiri? Bukankah ini kejahatan atau kekejaman seorang ibu kandung?

Saat saya cari di Mbah Google topik terkait ibu tiri, di halaman pertama 'Search Engine', dari 8 sub-topik yang ada, 6 di antaranya membahas berita tentang 'kekejaman' ibu tiri (75%). Topic lainnya membahas tentang: siapkah menjadi ibu tiri dan cara menghadapi ibu tiri (25%). Ini tidak beda dengan penggiringan opini, bahwa ibu tiri itu konotasinya selalu tidak baik.  

Pada saat yang sama, ketika saya ketik 'ibu kandung' di Search Engine yang sama, berita yang muncul, dari 8 sub-topik yang ada, 7 di antaranya (87.5%) memuat berita tentang 'hubungan intim anak dengan ibu kandung, anak gauli ibu kandung, pengakuan ibu kandung 3 kali ajak anak bercinta, dan hubungan terlarang anak dan ibu kandung'. Ini artinya, sebenarnya tidak ada bedanya ibu kandung dan ibu tiri. Mereka sama-sama memiliki potensi untuk berbuat baik, sekaligus berbuat jelek.

Seorang tetangga kami, ada yang berstatus sebagai ibu tiri. Kira-kira umurnya antara 45-50 tahun. Menikah kurang lebih 5 tahun lalu dengan suami yang punya anak 3 orang. Semuanya sudah dewasa, lebih dari 17 tahun umur mereka. Ibu Fulani, sebut saja demikian namanya. Beliau tidak punya anak, kecuali merawat suami dan anak-anaknya. Tentu bukan pekerjaan mudah.

Seandainya beliau mau milih, ibu Fulani lebih menyukai suami yang tanpa anak, agar tidak repot. Sekalipun keluarganya ada Asisten Rumah Tangga (ART), tapi tidak tetap. Ibu Fulani yang harus bangun pagi-pagi, memasak dan nyiapkan sarapan untuk anak-anak yang notabene bukan anaknya. Beliau juga yang ngurusi pakaian, kebersihan rumah, hingga ngurus bengkel dan toko materialnya.

Satu dari ketiga anak tirinya 'nakal'. Dalam artian malas untuk kuliah. Itu wajar dalam sebuah keluarga. Jari-jari di tangan saja, tidak sama panjang dan besarnya. Ana-anak yang dua lainnya, baik, menurut serta patuh pada ibu tirinya. Malasnya sekolah satu dari tiga orang anaknya ini tidak serta merta kita salahkan Ibu Fulani dalam mengasuhnya. Saat menikah, anak-anak ini sebenarnya juga sudah 'besar', sekitar 15-16 tahun umurnya.  

Kalau soal harta, biasa-biasa saja. Tidak tergolong kaya, tidak pula miskin. Tetapi soal kebaikan, pengorban yang dilakukan Ibu Fulani buat orang lain harus diakui sebagai perbuatan baik dan  mulia. Tidak sedikit di zaman modern ini orang akan pilah-pilih soal jodoh. Dan itu, sah-sah saja. Kalau bisa dapat yang ringan bebannya, mengapa harus cari yang ribet? Mungkin demikian prinsip mayoritas perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun