Kapan itu kami berkunjung ke rumah seorang kolega di Lumajang. Sebenarnya rumahnya tidak terlalu besar. Tapi karena dihuni untuk dua orang, hitungannya kegedean. Waktu itu sudah masuk maghrib. Jadi saya bisa lihat dalamnya rumah. Oleh tuan rumah juga diajak 'keliling' ke lantai dua.
Yang jadi sorotan saya salah satunya adalah 'listrik'. Itu rumah, terang benderang. Saya bertanya, habis berapa sebulan. Disebutkan di atas angka Rp 1 juta. Banyak banget. Memang, suami istri pada kerja. Saya duga golongan IIIA. Jika dihitung pemasukan bisa di atas Rp 10 juta lebih. Pemasukan segitu, kalau 10% nya untuk bayar listrik, bertujan untuk 'menerangi' rumah kala malam hari tiba, hemat saya 'mikir-mikir' lah.
Di sisi lain, nun jauh di Aceh sana, terutama di bagian pedalaman, banyak orang yang susah untuk mendapatkan penerangan. Jalan-jalan saja masih banyak yang 'gelap'. Bukan hanya karena distribusi listrik yang belum merata, juga karena kemampuan membayarnya. Menurut saya, hemat energy itu penting.
Hemat energi itu persoalannya bukan pada karena kita mampu atau tidak membayarnya. Akan tetapi lebi pada prinsip bahwa hidup kita tidak sendiri. Kita perlu memikirkan kebutuhan dan hak orang lain. Di samping, hidup memang harus hemat.
Bagaimana cara hemat listrik?
Hemat pertama, batasi penggunaannya. Artinya, jangan nyalakan lampu berlebihan. Rumah bukan hotel. Kalau dirasa sudah bisa terlihat dengan satu lampu, tidak perlu dua-tiga atau empat lampu yang nyala. Batasi satu saja.
Di rumah kami bagian belakang, ada empat lampu. Dua di antaranya harus nyala pada sore hari, biasanya kami nyalakan sebelum Maghrib tiba. Di bagian depan rumah ada dua, tapi yang wajib nyala hanya satu, kecuali ada tamu. Ruang tamu tidak perlu nyala, kecuali ada tamu atau digunakan ruangannya. Ruang keluarga dan dapur nyala terus pada malam hari. Namun jam tidur, hanya dapur yang nyala. Ruang tidur, nyala jika hanya dibutuhkan. Sama seperti kamar mandi.
Hemat kedua, kurangi Watt nya. Tidak perlu terang sekali. Kalau cukup 10 Watt dengan Lampu Saving, mengapa harus 15 Watt? Prinsip ini penting. Meski terlihat perbedaan hanya 5 Watt, kelihatannya tidak seberapa. Jika ada 10 lampu, maka 5x10 = 50 Watt, kalikan 30 hari. OK, katakanlah pengeluaran hanya terpaut Rp 50.000/bulan, namun jika setahun angkanya mencapai Rp 600.000. Bagi orang kaya, mungkin angka ini bukan apa-apa. Sekali lagi masalahnya bukan pada apakah kita mampu bayar atau tidak. Masalahnya ada pada pengeluaran yang sia-sia.Â
Kita harus ingat tujuan diciptakan siang dan malam di antaranya agar kedua mata ini juga istirahat pada malam. Mata ini tidak diharapkan 'kerja keras' pada malam hari dengan melihat warna yang ekstra terang-benderang. Ini akan menambah beban kerja mata kita. Dari sisi kesehatan tidak sehat.
Kami terbiasa menggunakan energi listrik hanya sewajarnya, sesuai kebutuhan. Semula kami gunakan Sanyo dengan system otomatis. Sesudah itu kami ganti manual. Otomatis sangat boros listrik. Sedikit kerja, untuk hemat. Menyalakan listrik dalam jumlah banyak adalah berlebihan. Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan bagaimana orang hemat, saat berwudhu. Sekalipun ambil Wudhu di air sungai yang mengalir ibaratnya, dinasehatkan untuk hemat. Inilah filsafah hemat.
Hemat yang ketiga, gunakan hanya bila perlu. Nyalakan listrik di kamar mandi hanya saat dibutuhkan. Kalau jam 5 pagi sudah bangun, matikan semua lampu, khususnya di luar rumah. Kecuali lampu dapur misalnya. Atau ruang tengah untuk baca buku atau ruang kerja. Toh 30 menit lagi akan terlihat munculya sinar matahari.
Pemborosan listrik yang paling banyak dijumpai ada di toko-toko, mall, restaurant dan hotel. Saat di hotel contohnya, hanya karena kita sudah bayar, kita seringkali 'sewenang-wenang'. Lampu dan AC nyala terus di semua kamar, termasuk kamar mandi, padahal tidak digunakan. Budaya seperti ini termasuk pemborosan energi. Kita harus sadar akan hal ini.
Disiplin menggunakan energi listrik mestinya kita jadikan sebagai bagian dari budaya hidup hemat. Hidup hemat berarti menghindari pengeluaran yang tidak perlu. Hemat bukan berarti pelit. Pelit adalah kikir. Hemat artinya sikap berhati-hati dalam mengeluarkan atau menggunakan uang, tidak boros dalam penggunaan energi. Sikap ini dianjurkan dalam Islam. Sedangkan pelit itu beda. Pelit merupakan sikap yang tidak suka memberi. Pelit itu pada dasarya punya, namun tidak mau mengeluarkan. Jadi terdapat perbedaan besar antara sifat hemat dan pelit.
Hemat perlu diajarkan kepada anak-anak sedari kecil. Hemat perlu dibudayakan. Artinya dimasyarakatkan sehingga orang lain sadar, hemat itu perbuatan mulia, termasuk hemat listrik. Hemat energi adalah bagian dari upaya menyelamatkan masa depan generasi muda. Dengan kata lain, hemat itu bentuk perbuatan di mana kita hanya mengambil hanya sebagian saja kebutuhan untuk diri kita dan menyisakan untuk orang lain atau generasi di masa yang akan datang. Dampaknya sangat besar jika prinsip hemat ini dibudayakan.
Hemat listrik bisa merambat ke prinsip hemat-hemat lainnya, termasuk air, uang, makanan, pakaian, sabun, kertas, barang-barang elektronik dan sebagainya. Saya pernah menemui seorang keturunan Belanda yang menggunakan kertas bekas, kemudian dilipat-lipat, digunting, ditata rapi seperti notes. Baliknya yang kosong diletakkan di bagian atas sehingga bisa digunakan untuk menulis lagi.
Orang kita beda. Hanya karena punya duit, mampu membeli, terkadang seenaknya. Jangankan kertas, air bekas atau listrik. Motor hingga mobil, jumlahnya bisa lebih dari dua buah. Setiap anggota keluarga masing-masing punya kendaraan sendiri, dengan berbagai macam alasan, tidak bakalan mau hemat. Ruang kantor juga kadang terlalu besar, tidak efisien. Demikian juga penggunaan waktu yang sering terbuang percuma, karena kita tidak mengerjakan kegiatan yang bermanfaat.
Betapa borosnya sebagian masyarakat kita. Sementara jutaan orang yang susah hidupnya dan tidak mampu membeli token bulanan listrik. Kita masih bisanya berfoya-foya bayar tagihan listrik yang jumlahnya mencapai jutaan per bulan.
Semoga kita bisa terhindar dari sikap boros ini. Mari kita budayakan hidup hemat energi. Hemat listrik bukan hanya baik untuk mendisiplinkan diri menggunakan sesuatu secara wajar, tetapi juga memberikan contoh kepada orang lain, bahwa hidup memang tidak boleh egois. Meskipun kita mampu dan punya uang, bukan berarti lantas kita bisa seenaknya. Tanggungjawab sosial harus kita kedepankan. Di antaranya dengan hemat listrik. Caranya sangat sederhana: batasi, kurangi dan gunakan hanya bila perlu.
Malang, 11 June 2020
Ridha Afzal
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI