Memahami Struktur Ketatanegaraan dalam Bingkai Otonomi Daerah di Indonesia
Oleh: [Ricky Maulana]
Sejak diberlakukannya reformasi dan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah), Indonesia memasuki babak baru dalam sistem ketatanegaraannya, yaitu era desentralisasi melalui pemberian otonomi daerah. Kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis, partisipatif, dan lebih dekat dengan rakyat.
Apa Itu Otonomi Daerah?
Otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan kepada daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai dengan aspirasi masyarakat dan potensi daerahnya. Prinsip ini didasarkan pada semangat untuk mengurangi dominasi pusat dan memberikan ruang bagi daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien.
Struktur Ketatanegaraan dalam Konteks Otonomi
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kekuasaan pemerintahan tidak sepenuhnya terpusat. Adanya otonomi daerah tidak berarti pemisahan kekuasaan, melainkan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
1.Pemerintah Pusat
*Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tetap memegang kendali tertinggi dalam urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
*Kementerian/lembaga pusat menjadi pengarah dan pengawas kebijakan nasional.
2.Pemerintah Daerah
*Terdiri dari pemerintah provinsi (gubernur dan DPRD provinsi) serta pemerintah kabupaten/kota (bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota).
*Masing-masing memiliki kewenangan dalam mengelola urusan seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perizinan usaha, dan lingkungan hidup, sesuai dengan prinsip desentralisasi asimetris.
Hubungan Antarlembaga dalam Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaannya, terdapat relasi yang jelas antara lembaga pusat dan daerah. Pemerintah pusat menetapkan standar kebijakan nasional, sementara daerah memiliki ruang dalam menetapkan kebijakan operasionalnya sesuai kebutuhan lokal. Namun, untuk menghindari konflik kewenangan, dibentuk pula mekanisme koordinasi dan pengawasan, termasuk melalui Kementerian Dalam Negeri serta peran DPRD sebagai wakil rakyat daerah yang mengontrol kebijakan eksekutif daerah.