Mohon tunggu...
Ricky A Manik
Ricky A Manik Mohon Tunggu... Peneliti -

belajar untuk menjadi kuat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Interkulturalisme Koma dalam Pentas Sie Jin Kwie di Negeri Sihir

8 April 2012   19:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:52 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333915197638430218

Kali ini saya berkesempatan menonton pertunjukkan Teater Koma yang berjudul Sie Jin Kwie di Negeri Sihir (selanjutnya disebut SJK DNS). Pertunjukan ini merupakan seri ketiga dari trilogi Sie Jin Kwie yang pernah dipentaskan sebelumnya, yaitu Sie Jin Kwie (2010) dan Sie Jin Kwie Kena Fitnah (2011). Kedua pentas itu belum pernah sama sekali saya tonton. Tetapi menyaksikan SJK DNS ini tetap menjadi penilaian tersendiri buat saya dan sebagai apresiasi yang luar biasa buat teater Koma. Mungkin dalam reportase ini saya tidak dapat melakukan komparatif terhadap pertunjukkan sebelumnya atau melakukan penilaian terhadap keseluruhan trilogi SJK. Di tulisan ini, saya hanya akan memberikan apa yang telah saya saksikan dan apa yang bisa saya simpulkan dari pertunjukan tersebut.

Dua malam berturut-turut saya menyaksikan pertunjukkan tersebut. Malam pertama saya menonton beserta kedua kakak saya dan tiga keponakan saya yang baru berusia 12 tahun, 10 tahun, dan 6 tahun. Hanya keponakan saya yang kecil yang tak menyaksikannya hingga selesai karena mengantuk, sedangkan yang dua lagi sangat menikmatinya dan ikut tertawa begitu ada adegan lucunya. Sampai di sini, tentu ada catatan tersendiri juga mengapa pertunjukkan teater tersebut bisa disukai oleh anak-anak walau dengan durasi pentas yang cukup panjang? Sepulang dari nonton, saya sempatkan bertanya kepada kedua keponakan saya tersebut: “Bagus nggak pertunjukkannya tadi, Nathan, Anes?” “Bagus, Anes suka!” jawab si adik cepat. Pun begitu juga jawaban si abang, Nathan. “Kalau diajak nonton lagi, mau nggak?” “Mau!” jawab mereka dengan antusias.

Sin Jin Kwie di Negeri Sihir yang dipentaskan dari tanggal 1 – 31 Maret 2012 ini merupakan pentas teater Koma yang ke-126 yang sekaligus memperingati harijadi Teater Koma yang ke-35. Capaian ini jelas menjadi catatan record tersendiri bagi Koma sebagai satu-satunya kelompok teater yang ada di Indonesia (bukan tidak mungkin di dunia mengingat filosofi ‘koma’ sebagai penanda kalimat yang belum selesai) dengan produktivitasnya dan waktu pentas yang cukup panjang. Selain itu, durasi pertunjukan yang selalu dan biasa dimainkan oleh kelompok ini juga cenderung panjang, sampai 4,5 jam. Dengan durasi yang panjang itu, penonton yang awam hingga anak-anak pun ternyata setia menyaksikannya hingga usai. Pertunjukan dengan durasi yang panjang ini mengingatkan kita pada pertunjukan seni tradisional wayang yang pertunjukkannya bisa semalaman suntuk. Walaupun digelar hingga semalaman suntuk, pertunjukkan seni wayang ini tetap ditonton masyarakatnya yang menyukai cerita-cerita seperti Ramayana, perang Barathayuda, dan cerita-cerita klasik lainnya yang mengusung tema tentang cinta dan dibumbui adegan silat dan humor (dagelan) pada adegan punakawan yang dinamakan goro-goro, salah satu konsep yang diusung teater Koma.

Mulai sejak berdirinya Teater Koma, 1 Maret 1977 dengan lakon pertamanya Rumah Kertas hingga SJK DNS ini, Koma selalu mengusung seni musik, tarian, nyanyian, humor dan seni peran dalam pertunjukkannya. Adopsi berbagai unsur seni ini oleh Teater Koma bukan tanpa beralasan atau karena sedang tren. Namun unsur-unsur tersebut sudah ada pada teater-teater rakyat di Indonesia. Spirit dan konsep-konsep teater rakyat ini yang coba mereka bawa atau tawarkan ke dalam bentuknya sendiri, kepada pertunjukkan yang lebih disebut modern. Bagi Nano, jalan menulis naskah drama dan menggelar pertunjukkan teater adalah pilihannya dalam memperkenalkan budaya bangsa yang kaya dan beragam kepada khalayak sebagai pemiliknya. Dan kebudayaan yang kaya itu dapat menjadi potensi yang besar untuk menjadi bangsa yang besar pula.

Interkulturalisme dalam Sie Jin Kwie

Sebelum pertunjukan dimulai, panggung diset sedemikian rupa layaknya sebuah frame, yang nantinya di dalam frame itu adegan demi adegan dimainkan. Pada frame panggung pertunjukkan itu diberi atap seperti atap kelenteng Cina, tetapi juga bisa seperti atap mesjid peninggalan cina atau seperti gonjong pada rumah adat Minangkabau. Sekalipun cerita yang diusung Teater Koma adalah salah satu cerita yang terkenal di Cina, tetapi bukan semata-mata segala simbol-simbol Cina dihadirkan di atas panggung. Cukup lamanya bangsa Cina berada di Indonesia secara tidak langsung telah membawa keterpengaruhannya terhadap budaya yang telah ada sebelumnya di nusantara ini yang pada akhirnya membentuk budayanya sendiri. Kita tahu ada Cina-Jawa, Cina-Medan, Cina-Bangka, Cina-Padang, Cina-Kalimantan dan lainnya yang memiliki karakter dan perbedaannya masing-masing. Dalam perspektif interkulturalisme, Nano Riantiarno sebagai penyadur dan sutradara dalam SJK jelas memahami, menilai, dan menerima berbagai asal budaya tersebut dalam satu perspektif dan menjadikannya sebagai satu bentuk budaya tertentu dalam lakon SJK ini. Dan hampir seluruh lakon-lakon yang dimainkan oleh Koma mengusung perspektif tersebut.

Dalam sejarah sastra Indonesia, kontribusi orang Tionghoa tak dapat dipungkiri telah membawa pengaruhnya terhadap kemunculan sastra Indonesia di awal-awal (lihat Salmon, 2010. Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa), seperti cerita tentang Sam Kok, Sampek Engtay, Sie Jin Kwie dan cerita lainnya. Cerita-cerita Cina ini banyak disadur dan diterjemahkan oleh orang-orang Melayu-Tionghoa sendiri yang memang menguasai penerbitan untuk bacaan orang Tionghoa dan Melayu di Indonesia. Untuk SJK sendiri disadur oleh Nano menjadi naskah drama adalah berasal dari roman klasik Tiongkok karya Tio Keng Jian dan Lho Koan Chung yang muncul di Indonesia dalam dua seri pada tahun 1952 yaitu Shi Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kwie Berperang ke Timur) dan Sie Djien Koei Tjeng See (Sie Jin Kwie Berperang ke Barat). Sie Jin Kwie Berperang ke Timur disadur dalam naskah pada pentas pertama SJK, sedangkan Sie Jin Kwie Berperang ke Barat disadur menjadi dua naskah yaitu SJK Kena Fitnah (pentas kedua) dan SJK DNS.

Sie Jin Kwie (Xue Rengui) dikenal sebagai seorang jenderal Cina pada masa pemerintahan Dinasti Tang (618-907). Ia dianggap sosok pahlawan bagi negerinya. Sosok yang dapat memberi kenyamanan bagi rakyat Tang dari serangan-serangan musuh pemerintahan. Kaisar Tang menaruh percaya dan hormat kepadanya karena keberhasilannya dalam perang dan setiap upaya dari dalam untuk menghancurkan pemerintahan. Cerita tentang kepahlawanan SJK ini menjadi sebuah harapan bahwa ternyata kita membutuhkan sosok pahlawan yang dapat membawa kita keluar dari segala persoalan yang melanda negeri ini.

Selain mengenai tematik kepahlawanan, pertunjukkan SJK DNS ini merupakan wadah interkulturalisme. Pertunjukkan ini dapat dikatakan sebagai terminal dari sebuah proses panjang berbagai pertemuan, gesekan, dan saling mengisi berbagai budaya. Bagaimanapun, Nano sendiri selaku pengarang dan sutradara adalah proses panjang interkulturalisasi itu. Lalu, bagaimana mekanisme interkulturalisasi yang ada di dalam pertunjukkan SJK DNS ini? Mungkin tak semua yang bisa saya cermati, tetapi paling tidak beberapa hal yang dihadirkan dalam lakon tersebut cukup representatif untuk dikatakan adanya mekanisme interkultural. Sebut saja misalnya kostum yang mereka gunakan. Kostum-kostum yang digunakan tidak semata berasal dari budaya Cina, tetapi dirancang dengan perpaduan batik Jawa. Hal lain yang dapat juga kita katakan terjadinya proses interkulturalitas dalam SJK DNS ini adalah dengan adanya adegan wayang Tavip , wayang kulit Cina-Jawa (secara politik Orba, kesenian ini dilenyapkan). Aktor-aktor yang bermain dalam lakon tersebut juga bukan lagi representasi dari tokoh Cina itu sendiri, tetapi sudah menjadi representasi orang Indonesia sendiri. Dialog-dialog yang dimainkan dengan bahasa Indonesia yang kadang berdialek Jawa, Madura, Betawi dan ratapan pada adegan kematian SJK dan Kaisar dengan menggunakan bahasa Batak.

Melalui bahasa, yang juga sebagai situs penting interkulturalisasi, memainkan peranannya dalam pertunjukkan SJK DNS dan pentas-pentas Koma lainnya untuk tidak mengeluarkannya dari basis kulturalnya. Meskipun memainkan lakon dari Cina dengan segala atribut kulturalnya yang kemudian memodifikasikannya dengan budaya-budaya yang ada di Indonesia bukan berarti mengeluarkan Nano dan pertunjukkan tersebut dari identitasnya sebagai orang Indonesia. Demikian pula dengan beberapa pertunjukkan Koma yang mengangkat cerita-cerita Cina seperti Opera Ular Putih, Sampek Engtay, dan beberapa naskah-naskah saduran seperti Opera Ikan Asin, Sandiwara Para Binatang, Roman Julia, Knapa Leonardo, Antigoneo dan lainnya memperlihatkan bagaimana proses interkulturalisasi itu terjadi.

Untuk Teater Koma sendiri, jalan kesenian adalah sebuah upaya dan strategi bagaimana interkulturalitas kebudayaan dibayangkan, dan dengan berbagai cara dan lapis sudut pandang penafsiran, kesenian teater dapat dijadikan sebagai sarana berkomunikasi untuk mempersoalkan masyarakat dan kebudayaan secara lebih universal. Cerita dalam lakon pertunjukkan bukan lagi menjadi maksud itu sendiri, melainkan adanya pembayangan terhadap harapan-harapan tersembunyi, yang bersifat ideologis. Sehinggannya melalui jalan kesenian teater ini persoalan kebudayaan dapat diangkat dan dapat menjadi isu strategis dalam proses-proses pengembangan kebudayaan.

Yogyakarta, 22 Maret 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun