Mohon tunggu...
Ricka Putri
Ricka Putri Mohon Tunggu... Freelancer - Hi!

Long live learner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wacana Menikah Muda karena Omongan Orang

11 November 2020   19:00 Diperbarui: 11 November 2020   19:03 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun ini aku akan segera menyelesaikan studi S2ku. Umurku baru 23 tahun. Memang sebelum melanjutkan s2 aku ada kesempatan bekerja yang tidak lama, hanya sekitar setengah tahun. 

Tapi aku tidak menyangka menghadapi dunia setelah mendapat gelar magister dan sudah punya pacar tentu menjadi tantangan tersendiri. Pertanyaan demi pertanyaan yang kerap kali membuat kuping panas seperti 'untuk apa s2? Kan ada pacarmu yang akan membiayai hidupmu setelah menikah. Kapan nikah? Kayaknya mobil mentereng udah sering lalu lalang depan rumahmu deh."

Aku memang memutuskan untuk langsung mengambil studi lanjutan karena itu cita-citaku sejak lama. Aku tidak ingin sepenuhnya menggantungkan harapanku pada masa depan yang tidak pasti. Satu-satunya cara untuk membuat hal tersebut pasti adalah dengan mempersiapkannya, yang aku terjemahkan ke dalam aksi nyata yaitu studi s2. 

Walaupun begitu, usahaku seringkali tidak dianggap, menjadi anak pertama perempuan dari orang tua yang nikah dan punya anak telat membuat diriku seringkali dipertanyakan. Ditambah pula dengan kondisi keluarga lainnya yang tidak jarang anaknya baru lulus SMA langsung menikah.

Wacana nikah muda, hidup enak, seringkali aku lihat secara tidak sengaja di channel-channel youtube anak muda. Diriku sering membatin, 'apa iya, nikah muda semudah itu? Hidup kan bukan didunia khayalan.'

Statistik persentase nikah mudah diIndonesia semakin meningkat. Naik 1.48%, dari sebelumnya di tahun 2017 berjumlah 14.18% menjadi 15.66% di tahun 2018 (indonesiabaik.id). Sayangnya, kita juga meraih nilai yang sama di Asean, bahkan menjadi peringkat dua kasus pernikahan anak-anak di bawah umur terbanyak (lokadata.id).

Banyaknya kasus pernikahan dini tentu menjadi fenomena yang tidak mengherankan, melihat kondisi di lapangan lebih banyak orang yang keheranan dengan adanya anak perempuan yang sekolah tinggi daripada yang menikah muda. 

Mungkin sudah saatnya kita kibarkan bendera putih untuk masa depan anak-anak perempuan, terutama yang berasal dari lingkungan masyarakat kurang teredukasi, yang tidak mendukung akses pendidikan yang rata dan menyeluruh.

Apa yang salah dari masyarakat kita? Undang-undang sudah dibuat, usia minimal untuk menikah sudah semakin ditinggikan, tapi apa iya sudah sudah dapat memperbaiki kondisi yang ada? 

Kalo emang nikahnya mau sama mau masa gak dibolehin? Lah daripada zina terus hamil diluar nikah, lebih baik dinikahin aja dong? Ada baiknya kita melihat setiap permasalahan secara kritis dan terstruktur. Apakah pernikahannya yang bermasalah? Atau pola pikir yang ada di balik masalah tersebut?

Salah satu pilar SDG dalam sdg2030indonesia.org memastikan sarana pendidikan yang inklusif dan berkualitas untuk semuanya, baik itu anak perempuan maupun anak laki-laki. Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan menikahnya seorang perempuan dia tidak bisa merasakan pendidikan lagi? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun