Kenaikan gaji anggota DPR RI kembali menyalakan api polemik. Bukan sekadar soal angka yang ditambahkan dalam lembar APBN, tetapi tentang paradoks yang makin nyata: semakin sejahtera para wakil rakyat, semakin merosot kepercayaan publik terhadap lembaga yang mereka duduki. Ironi ini tidak hanya berhenti pada kritik kinerja, melainkan merembes jauh ke psikologi politik masyarakat. Publik merasakan luka kolektif---sebuah moral injury---karena menyaksikan wakil yang mestinya memperjuangkan jeritan rakyat justru lebih sibuk menambah kenyamanan diri. Di titik ini, kenaikan gaji bukan lagi isu fiskal, melainkan tanda runtuhnya legitimasi politik secara perlahan.
Runtuhnya dukungan dan kepercayaan masyarakat kepada DPR bukanlah hikayat Si Abu Nawas, melainkan fakta di setiap pelosok lokalitas negeri ini yang senantiasa menjadikannya sebagai bahan pergunjingan. Sebenarnya kisruh tentang 'gaji DPR naik hingga 100 juta per bulan' lebih diselimuti persepsi publik dari pada fakta fiskal. Gaji pokok DPR sebenarnya masih berkisar Rp. 6-7 juta per bulan, angka yang tidak berubah selama lebih dari satu dekade. Namun yang menimbulkan bunga-bunga api polemik adalah komponen tunjangan beras yang naik menjadi Rp12 juta, tunjangan transportasi Rp7 juta, hingga kompensasi perumahan sebesar Rp50 juta bagi mereka yang tidak tinggal di rumah jabatan. Jika dirangkum, total penghasilan seorang anggota DPR bisa mencapai sekitar Rp70 juta per bulan.
Di sinilah letak paradoksnya. Secara administratif, kenaikan ini dapat dibenarkan sebagai bagian dari "penyesuaian fasilitas". Namun secara politis, publik melihatnya sebagai jurang baru yang memisahkan wakil rakyat dengan konstituennya. Rakyat yang berhadapan dengan harga kebutuhan pokok yang kian mencekik tentu sulit memahami logika tunjangan beras belasan juta rupiah per bulan. Di titik ini, angka rupiah berubah menjadi simbol ketidakadilan, bukan sekadar baris dalam APBN.
Yang lebih berbahaya, kenaikan tunjangan ini melahirkan moral injury pada masyarakat. Luka batin kolektif muncul karena ada perasaan dikhianati: di saat publik menjerit akibat krisis ekonomi, justru elite politik yang mestinya memperjuangkan mereka tampil lebih sibuk mengurus kesejahteraannya sendiri. Efeknya bukan hanya berupa kritik, tetapi juga erosi kepercayaan. Semakin kaya anggota DPR oleh fasilitas negara, semakin miskin legitimasi mereka di mata rakyat.
Jika situasi ini berlanjut, Indonesia berisiko masuk ke dalam spiral kelelahan politik (political fatigue). Rakyat akan semakin apatis terhadap proses demokrasi, dan celah ini bisa dimanfaatkan oleh arus populisme ekstrem yang menawarkan jalan pintas di luar mekanisme demokratis. Dengan kata lain, kenaikan gaji DPR bukan hanya soal fiskal, melainkan tanda bahaya bagi kesehatan demokrasi kita.
Kenaikan gaji atau tunjangan bagi DPR sebenarnya bukan hal tabu. Namun, setiap keputusan semacam itu seharusnya disertai dengan kontrak kinerja yang jelas, transparan, dan terukur. Misalnya, kenaikan tunjangan bisa dikaitkan dengan target legislasi, kualitas pengawasan anggaran, serta tingkat partisipasi publik dalam setiap produk kebijakan. Dengan begitu, publik tidak lagi melihatnya sebagai bentuk privilese, tetapi sebagai kompensasi yang wajar atas kerja nyata. Selain itu, DPR perlu membangun komunikasi yang lebih jujur dan terbuka kepada rakyat, agar setiap kebijakan yang menyangkut kesejahteraan mereka tidak ditafsirkan sebagai bentuk pengkhianatan. Tanpa langkah ini, kenaikan gaji hanya akan terus memperdalam luka psikologis publik dan mempercepat erosi legitimasi politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI