Pada setiap tanggal 5 Juni, suara bumi bergema dalam nafas peringatan, mengajak manusia untuk merenung dan bertindak demi kelangsungan kehidupan yang seimbang. Hari Lingkungan Hidup Sedunia bukan sekadar perayaan, tetapi sebuah panggilan nurani, sebuah pengingat bahwa kita adalah penjaga dan perawat alam ini. Tahun 2025 mengangkat seruan mendesak— “Ending Plastic Pollution/Hentikan Polusi Plastik", sebuah jeritan yang lahir dari lautan yang sesak oleh sampah, dari hutan yang kian merintih, dan dari udara yang menanggung beban kekhilafan manusia. Dalam perspektif Ilmu Pemerintahan, ini bukan sekadar isu ekologis, melainkan tanggung jawab negara dalam merancang aturan, menata strategi, dan menegakkan keadilan lingkungan. Pemerintah bukan hanya pemegang kuasa, tetapi pemelihara harmoni antara manusia dan alam, penentu arah kebijakan yang membangun bukan sekadar kota dan industri, tetapi juga masa depan yang lestari, di mana plastik tidak lagi menjadi warisan kehancuran, melainkan kenangan tentang kesalahan yang telah diperbaiki.
Dalam kerangka Ilmu Pemerintahan, negara memiliki tanggung jawab dalam mengelola lingkungan hidup melalui kebijakan publik, regulasi, dan mekanisme pengawasan yang sistematis. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya bersifat reaktif terhadap permasalahan lingkungan, tetapi juga proaktif dalam mencegahnya melalui perencanaan jangka panjang berbasis keberlanjutan.
Menurut Emil Salim, seorang ahli kebijakan lingkungan dan mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia, pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan secara holistik. Dalam konteks ini, pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan lingkungan ke dalam setiap aspek pembangunan nasional, termasuk kebijakan industri dan perkotaan.
Indonesia termasuk salah satu penghasil sampah plastik terbesar di dunia, dengan sistem pengelolaan yang masih jauh dari optimal. Pemerintah telah menetapkan target pengurangan sampah sebesar 30 persen dan peningkatan pengelolaan sampah hingga 70 persen pada tahun 2025 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023). Namun, hingga 2023, capaian masih belum mencapai target, dengan beberapa daerah menghadapi kendala dalam implementasi kebijakan berbasis prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Pemerintah daerah memiliki peran sentral dalam menjalankan kebijakan lingkungan secara konkret. Contohnya, Kabupaten Badung telah menggelar program pengurangan plastik sekali pakai melalui aksi bersih-bersih di pasar tradisional dan pusat perbelanjaan. Inisiatif ini menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan tidak hanya bisa diterapkan di tingkat nasional tetapi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik lokal.
Menurut Balthasar Kambuaya, mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta adalah kunci dalam mengatasi tantangan lingkungan. Penerapan kebijakan lingkungan tidak bisa hanya bergantung pada regulasi pemerintah, tetapi juga harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan.
Seiring berkembangnya inovasi dalam bidang material alternatif, bioplastik biodegradable telah muncul sebagai solusi jangka panjang dalam mengatasi polusi plastik. Pemerintah perlu mendorong riset dan investasi dalam teknologi ini guna mengurangi ketergantungan terhadap plastik konvensional yang sulit terurai secara alami. Dukungan kebijakan terhadap industri hijau dan teknologi ramah lingkungan perlu dioptimalkan sebagai bagian dari strategi nasional.
Kesadaran masyarakat merupakan faktor kunci dalam keberhasilan kebijakan lingkungan. Kampanye nasional "Stop Plastik!" yang dilakukan oleh berbagai komunitas dan lembaga pemerintahan telah terbukti mampu mengurangi penggunaan plastik sekali pakai di beberapa kota besar. Pemerintah juga perlu memperkuat mekanisme penegakan hukum, terutama terhadap perusahaan yang melanggar regulasi terkait pencemaran lingkungan. Sanksi tegas dan insentif bagi industri yang menerapkan praktik berkelanjutan dapat menjadi strategi efektif dalam mendorong kepatuhan lingkungan.
Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 hadir sebagai sebuah panggilan bagi peradaban manusia, mengingatkan bahwa bumi bukan sekadar tempat berpijak, tetapi juga warisan yang harus dijaga. Pemerintah, sebagai penjaga keseimbangan antara kemajuan dan kelestarian, memegang peran yang tak dapat diabaikan. Ilmu Pemerintahan menuntut kebijakan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga bernapaskan kebijaksanaan, di mana setiap keputusan diambil dengan mempertimbangkan harmoni antara alam dan manusia. Tidak ada kebijakan yang benar jika mengabaikan keberlangsungan kehidupan di bumi ini. Setiap sektor, dari ekonomi hingga sosial, harus dipertautkan dalam satu visi bersama: masa depan yang berkelanjutan, di mana keberlanjutan bukan sekadar konsep, tetapi ruh dalam setiap langkah pembangunan.
Namun, mimpi tentang bumi yang lebih sehat tidak akan terwujud tanpa keberanian dalam bertindak. Pemerintah harus menjadi motor perubahan, menghidupkan kebijakan yang bukan hanya tertulis di atas kertas, tetapi terasa dalam setiap denyut kehidupan masyarakat. Kesadaran publik harus dibangkitkan, agar setiap individu merasakan tanggung jawabnya terhadap lingkungan. Regulasi harus ditegakkan dengan adil dan tegas, memberi batas bagi keserakahan, sekaligus ruang bagi inovasi yang berpihak pada bumi. Dalam sinergi yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, Indonesia berpeluang menjadi teladan dalam merawat lingkungan—sebuah negeri yang tidak hanya tumbuh dalam angka-angka ekonomi, tetapi juga dalam kesadaran bahwa bumi adalah warisan yang harus dijaga dengan hati dan pikiran yang bijaksana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI