Mohon tunggu...
Rica Angelina
Rica Angelina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gender Pay Gap di Indonesia, Apakah Masih Ada?

1 Desember 2022   07:52 Diperbarui: 1 Desember 2022   08:07 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kesenjangan upah antar gender atau gender pay gap telah menjadi permasalahan yang terjadi sejak lama di berbagai negara. Gender pay gap termasuk dalam bentuk diskriminasi, di mana pemberian upah yang berbeda antara pekerja laki-laki dan perempuan, untuk pekerjaan serupa. Namun karena faktor perbedaan jenis kelamin, upah yang diberikan akhirnya dibedakan dan lebih menguntungkan pekerja laki-laki.

Gender pay gap mengacu pada median upah tahunan seluruh perempuan yang bekerja penuh waktu dalam setiap tahun. Lalu, dibandingkan dengan upah pekerja laki-laki dengan metode serupa. Masalah ini telah dibicarakan sejak lama dan menjadi perbincangan hangat di banyak negara, termasuk negara-negara yang telah maju sekalipun. Tidak terkecuali pada negara seperti Korea Selatan.

Di Korea Selatan masalah kesenjangan upah berdasarkan gender masih terjadi, bahkan hingga saat ini. Kondisi ini diperjelas dalam The Global Gender Gap Index 2021 yang dipublikasi oleh World Economy Forum, di mana Korea Selatan menduduki posisi 102 dari 156 negara dengan ketimpangan gender tertinggi. Serta, menjadi negara dengan kesenjangan upah tertinggi di antara negara-negara kaya.

Contoh lainnya ialah negara-negara di Eropa yang memiliki pandangan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan setara dalam dunia kerja. Tetapi kenyataannya, belum semua negara di Eropa memiliki presentase upah yang sama untuk pekerja laki-laki dan perempuan. Inggris misalnya menduduki peringkat kedua sebagai negara dengan kesenjangan upah gender tertinggi di Eropa. Sementara peringkat pertama diduduki oleh Finlandia dan disusul oleh Jerman dan Perancis pada urutan ketiga dan keempat.

Berkaca dengan kondisi negara-negara maju, seperti Finlandia, Korea Selatan, Jerman dan Perancis, dapat disimpulkan bahwa kondisi Indonesia sebagai negara berkembang tidak jauh berbeda. Indonesia masih "bergumul" dengan masalah upah yang tidak setara antara pekerja laki-laki dan perempuan. Kondisi ini diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik yang melaporkan kesenjangan upah berdasarkan gender mencapai angka 20,39% dari berbagai sektorpada tahun 2021 lalu.

Angka ini menunjukkan bahwa kesenjangan upah gender di Indonesia masih cukup besar. Utamanya dalam sektor-sektor publik, seperti tenaga usaha jasa yang mencapai 43% sementara sektor-sektor seperti tenaga profesional, teknis, dan tenaga lainnya menduduki peringkat selanjutnya. Padahal, dalam faktanya Undang-Undang di Indonesia telah menetapkan tentang upah yang sama dan kesempatan kerja yang sama bagi perempuan dan laki-laki.

Hal yang menarik dari kondisi ini ialah apakah yang menyebabkan kesenjangan upah gender masih terjadi di Indonesia dan negara-negara maju? Satu hal yang pasti ialah masih minimnya penghargaan yang diberikan kepada perempuan dalam pasar kerja. Kondisi ini tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan masih dianggap orang nomor dua dan keberadaannya di ruang publik tidak terlalu dibutuhkan. Perempuan hanya diharapkan hadir sebagai penyokong laki-laki dan tidak dihadirkan untuk menduduki jabatan-jabatan yang strategis.

Budaya patriarki masih cukup dominan di negara-negara Eropa maupun Indonesia. Sehingga, perempuan sulit untuk mengekspresikan dirinya termasuk untuk mendapatkan upah yang sepadan dengan laki-laki. Perempuan harus bekerja lebih keras bahkan dua hingga tiga kali lipat agar mendapatkan gaji yang setara. Satu fakta lainnya ialah laki-laki dianggap sebagai tulang punggung keluarga dan keberadaannya di kantor jauh lebih mulia dibandingkan di rumah. Padahal, banyak perempuan yang pun harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karena mengalami double burden atau beban ganda di keluarga.

Masalah lainnya ialah budaya masyarakat yang terbiasa mengagungkan laki-laki sebagai individu yang lebih unggul. Akibatnya, perempuan dianggap sebagai pihak yang tidak terlalu penting dan diharapkan hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Kelanjutannya? Perempuan turut terbiasa dengan hal ini dan menganggap kondisi yang terjadi pada dirinya ialah hal yang lumrah. Hal terburuknya ialah perempuan tidak memiliki kepercayaan diri dan menjadikannya budaya pada generasi selanjutnya.

Perhatian lain yang harus diberikan ialah pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat hadir untuk mendukung kaum perempuan mendapatkan upah yang layak dan setara dengan laki-laki. Pemerintah Indonesia telah menghadirkan aturan untuk kesetaraan upah, tetapi masih banyak perusahaan yang menetapkan upah tidak seragam antara laki-laki dan perempuan bahkan hingga saat ini.

Oleh karenanya, dibutuhkan peraturan pendukung yang mengatur terkait sanksi yang dapat ditetapkan pada perusahaan atau pihak-pihak yang melanggar aturan kesetaraan upah. Tujuannya ialah untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan contoh bagi perusahaan yang bermaksud melakukan pelanggaran untuk tidak melakukannya dan menyebabkan kerugian bagi pekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun