Lagu merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berfungsi sebagai wadah untuk meluapkan ekspresi dan perasaan. Ekspresi tersebut disampaikan
melalui lirik yang diiringi dengan musik, sehingga membentuk kesatuan makna dan suasana. Hampir serupa dengan puisi, lirik lagu juga menjadi representasi emosi dan perasaan penciptanya. Melalui pilihan kata dan susunan bahasa yang khas, lirik lagu menyampaikan pesan-pesan batin dengan gaya bahasa tertentu yang mencerminkan kepribadian, suasana hati, dan maksud pengarangnya.
Dalam hal ini, lagu yang akan dikaji gaya bahasanya adalah Taruh (2020) yang dinyanyikan oleh Nadin Amizah. Dirilis pada 28 Mei 2020, lagu ini menjadi salah satu karya populer dalam album Selamat Ulang Tahun. Taruh berkisah tentang perjalanan cinta yang penuh pertaruhan dan pengorbanan, sekaligus menggambarkan bahwa mencintai bukanlah perkara yang mudah, selalu diwarnai dengan kekecewaan dan luka yang menyertainya. Lima tahun sejak dirilis, lagu ini sukses merayu pendengar dengan lebih dari 92 juta streaming di Spotify dan sangat populer di kalangan pecinta musik indie. Bukan hanya itu, popularitasnya juga terlihat di YouTube, di mana video lirik Taruh telah ditonton lebih dari 12 juta kali melalui akun resmi Nadin Amizah.
Di balik karakter vokalnya yang khas dan gaya bernyanyinya yang unik, lagu-lagu Nadin Amizah seperti Taruh menyuguhkan lirik yang mampu menggugah perasaan dan emosi pendengar. Salah satu kekuatan dalam liriknya terletak pada penggunaan gaya bahasa, khususnya majas, yang membuat setiap kata terasa lebih hidup dan bermakna. Gorys Keraf (1998) menyebutkan bahwa majas adalah cara seseorang menyampaikan pikiran melalui bahasa yang khas, gaya yang mencerminkan kepribadian penuturnya. Mari kita lihat baris lirik ini:
“cinta dan jenisnya seperti seram”
Sekilas sederhana, namun ungakapan ini memuat majas Metafora, penyair membandingkan cinta dengan sesuatu yang menakutkan, bukan dengan penghubung seperti dalam arti sebenarnya, tetapi sebagai penegasan suasana. Di mata penyair, cinta tidak digambarkan sebagai sesuatu yang indah, melainkan sesuatu yang mengancam, dan penuh ketidakpastian.
“Melihat cinta berwarna keruh”
Di sini, cinta diberi sifat visual warna, yaitu keruh. Ini bukan hanya permainan kata, tetapi mencerminkan bagaimana cinta dilihat sebagai sesuatu yang buruk, mungkin karena adanya pengalaman buruk atau luka di masa lalu. Ungkapan ini meyakinkan pendengar bahwa tidak semua cinta datang dengan kebahagiaan, kadang cinta juga hadir bersama trauma.
“Rasa takut masih kugenggam nyaman”
Bayangkan rasa takut digambarkan sebagai sesuatu yang bisa digenggam dan bahkan terasa nyaman. Kalimat ini menyatakan betap akrabnya ketakutan itu dalam hidup si penyair, ia bukan lagi ancaman, melainkan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ini bentuk metafora yang menggambarkan keterikatan pada rasa tidak aman, namun secara paradoks malah terasa aman.
Selain metafora, lagu ini juga terdapat majas personifikasi, yaitu gaya bahasa yang memberi sifat hidup pada benda mati atau hal abstrak. Seperti pada lirik berikut:
“Berteriak di atas tenggorokan”
Dalam lirik ini, seolah-olah bukan manusia yang berteriak, melainkan tenggorokan itu sendiri yang menjadi pelaku. Ungkapan ini menggambarkan luka batin atau emosi yang begitu mendesak, sampai tubuh pun terasa ikut bersuara.
“Hujan serapah dan makian”
Biasanya, hujan merujuk pada air yang turun dari langit. Namun dalam lirik ini, hujan diibaratkan sebagai hujan kata-kata kasar serapah dan makian yang mengguyur secara intens. Walaupun bisa dianggap sebagai metafora, majas ini juga membawa unsur personifikasi karena kata-kata kasar digambarkan seolah turun seperti hujan dan menyerang pendengarnya.
“Yang akan melawan dunia”
Di sini, dunia diposisikan sebagai sosok yang bisa dilawan. Bukan dalam arti harfiah, melainkan sebagai simbol dari tekanan sosial, ekspektasi orang lain, atau norma-norma yang mengekang. Dunia dijadikan musuh imajiner, dan lirik ini menjadi gambaran kuat tentang perlawanan terhadap hal-hal yang membatasi kebebasan diri.
Majas lain yang juga muncul adalah simile, yakni perbandingkan sesuatu secara langsung, tetapi bukan dengan wujud yang sama.
“Seperti bertaruh apa kau dan aku akan jadi sama seperti itu”
Hubungan antara dua insan disamakan dengan sebuah pertaruhan yakni sebuah permainan yang penh risiko. Penyair menyiratkan bahwa mencinta bukan perkara pasti, ada rasa cemas, ragu, dan bayang-bayang kegagalan yang menghantui.
Selanjutnya terdapat majas penegasan yaitu repetisi. Repetisi adalah pengulangan kata atau frasa tertentu untuk menekankan pesan emosional.
“Kupelajari sedari kecil”
Baris ini diulang beberapa kali dalam lirik, Pengulangan ini menunjukkan bahwa pemahaman penyair terhadap cinta, ketakutan, dan luka tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk sejak lama. Ini seolah pengalaman hidup yang sudah lama mengendap dalam dirinya. Repetisi ini berfungsi sebagai pengingat bahwa luka masa lalu masih membentuk cara pandangnya hingga kini.
Menariknya, ada satu lirik yang bisa dilihat dari banyak sisi:
“Aku punya harapan untuk kita / Yang masih kecil di mata semua”
Sepintas, ini terdengar seperti litotes, yaitu gaya bahasa yang merendahkan diri. Namun sebenarnya, kalimat ini lebih teoat disebut sebagai ironi halus atau metafora sosial. harapan itu dianggap “kecil” bukan oleh si penyair, melainkan oleh lingkungan sekitar. Meski dipandang remeh, harapan itu justru menjadi satu-satunya hal besar yang ia genggam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI