Selain berguna, media sosial rupanya berpeluang menjadi perangkap bagi siapa pun. Era yang memberi peluang bagi siapa saja berlomba-lomba unjuk diri bisa jadi malah membuat kita kehilangan daya hidup. Kok bisa?
Di berbagai platform media sosial orang-orang bersaing untuk meneguhkan diri sebagai sosok populer. Memampang berbagai konten dengan keragaman problematika yang dihidangkan. Mulai dari yang sekadar hiburan sampai yang serius. Dari yang sekadar joget-joget sampai yang memancing pertengkaran.
Oh iya, jangan lupa, ada juga konten yang membuat air mata mengucur deras. Bahkan mengalahkan air terjun di Curug Sewu. Siapa pun yang menonton akan merasakan kesedihan yang sama. Ah! Ini kesannya kok hiperbolis ya?
Tapi, begitulah nyatanya. Fenomena menampilkan kesedihan di media sosial telah menjadi tren. Bahkan, boleh dibilang emosi kesedihan yang dimunculkan di media sosial punya pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan tayangan sinetron di tv.
Istilah populer fenomena ini adalah sadfishing. Istilah ini diambil dari dua kata, sad (sedih) dan fishing (memancing). Artinya, tujuan konten sadfishing memang untuk memancing kesedihan penikmatnya.
Tapi, siapa yang bikin konten beginian? Hm... ada banyak kemungkinan soal ini. Pertama, boleh jadi konten-konten sejenis dibikin oleh sebuah perusahaan. Tentu, kalau yang ini tujuannya untuk mendapatkan cuwan. Hanya, efeknya bisa ngeri bagi penikmat konten.
Kedua, kalangan pesohor. Pastinya konten sadfishing ala selebritas dimaksudkan untuk mendongkrak popularitas dong. Ia sengaja melibatkan emosi penontonnya, lebih-lebih penggemarnya. Syukur-syukur, penontonnya membenarkan apa yang dirasakan dan dilakukannya.
Ketiga, pengguna media sosial itu sendiri. Tujuannya bisa bermacam-macam. Akan tetapi, yang paling kerap dijumpai adalah untuk mendapatkan perhatian, simpati, maupun validasi. Syukur-syukur bermunculan komentar dari para pengguna lain yang menyatakan simpati.
Celakanya, komentar-komentar itu pula yang bisa saja berpeluang besar mendorong pembuat konten sadfishing jadi makin ketagihan. Ia akan memosting konten yang serupa ketika ia merasa punya masalah. Sampai-sampai tak sadar dan tanpa malu-malu malah membongkar aibnya sendiri.
Lalu, mengapa pengguna media sosial bisa melakukan hal itu? Bisa jadi, semula sekadar menjadi penikmat konten-konten sadfishing. Mungkin juga suka menikmati drama-drama pendek yang menampilkan fenomena sadfishing.
Lama-lama, mulailah batinnya meronta-ronta. Merasa dirinya sebagai sosok yang ada di dalam konten-konten itu. Merasa senasib sepenanggungan. Lantas, ketika ia memiliki momentum, ia akan mengunggah perihal serupa.