Khusus tukang babar, Ilyas mengungkapkan, pekerjaan ini tergolong unik. Sebab, kedudukannya berada di antara buruh dan pengusaha. Alih-alih bertahan dari gempuran industrialisasi batik yang mulai masif pada pertengahan abad ke-18, keberadaan tukang babar boleh dibilang menjadi cara untuk menutupi kelemahan mereka dalam memenangi persaingan dagang batik.
"Pekerjaan sebagai tukang babar semula bukanlah pilihan. Tetapi, sebuah keterpaksaan. Mereka memiliki keterampilan untuk memproduksi batik, namun tidak memiliki kecakapan yang cukup dalam menjual produk mereka. Maka, mereka menyerahkan sepenuhnya proses perdagangan itu kepada para pengusaha yang jelas-jelas memiliki pasar," ungkap pemerhati budaya Kota Pekalongan itu.
Lalu, apa yang membuat mereka tidak cukup cakap memasarkan produk?
Lelaki yang sehari-harinya disapa dengan Pak Amak---dalam tayangan berdurasi 19 menitan itu---mengungkapkan, mekanisme pasar yang tercipta tidak memungkinkan mereka dapat menjual langsung produk mereka.
"Namun, mereka ini memiliki keuntungan di balik kedudukan mereka yang demikian. Yaitu, mereka tak perlu memikirkan bagaimana mereka harus menjual produk mereka," ungkapnya.
Hanya, ada konsekuensi yang mesti mereka tanggung. Yaitu, masalah buruh dan dampak lingkungan. Tidak lain, karena pekerjaan mereka berhubungan langsung dengan proses produksi. Seperti diurai Ahmad Ilyas, dalam proses produksi itu melibatkan banyak tenaga kerja, mulai dari proses awal, pewarnaan, dan proses akhir.
Umumnya, para buruh yang bekerja pada para tukang babar ini bekerja berdasarkan permintaan. Diawali dari permintaan pengusaha yang ingin membuat produk batik dalam skala massal, lantas para tukang babar ini mencari tenaga kerja sesuai yang dibutuhkan dalam proses produksi batik yang dipesan pengusaha.
Dari sinilah, seorang tukang babar mempertaruhkan kemampuannya dalam mengelola kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan. Ia mesti mampu mendistribusikan pengerjaan proses produksi batik itu dengan mempertimbangkan pula jenis-jenis pekerjaan yang diperlukan.
Apalagi dalam proses produksi batik terdapat beragam jenis pekerjaan. Ada tukang sungging, tukang mopok, tukang colet, kuli keceh, dan lain-lain.
"Jadi, di sini terjadi apa yang dinamakan sub-kontrak antara buruh dengan tukang babar. Para pekerja ini tidak langsung bekerja kepada pengusaha. Akan tetapi, mereka hanya menjual jasa atas keterampilan mereka kepada tukang babar. Makanya, mereka itu diupah oleh tukang babar. Upahnya ya tidak seberapa memang," tutur lelaki berkacamata tebal itu.
Kendati demikian, Ahmad Ilyas melihat, kemunculan jenis pekerjaan dalam industri batik yang beragam ini telah melahirkan ekosistem industri batik yang baik.