Tersebab itu, seorang penyiar radio, sebelum melakukan wawancara perlu membuat riset terlebih dahulu tentang pribadi narasumber. Tujuannya, menghindari kesalahpahaman atau pula ketersinggungan. Jangan sampai seorang penyiar radio mengajukan pertanyaan yang bisa menciderai perasaan narasumber.
Lain dari itu, penyiar radio juga wajib hukumnya mempelajari ihwal yang hendak dibahas dalam wawancara itu. Ia perlu membaca berita-berita atau artikel-artikel yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Kemudian, membuat analisis dan kajian tentang ihwal itu. Dengan cara itu, penyiar radio dapat menguasai materi secara optimal. Syukur, apabila penampilannya meyakinkan, tidak hanya bagi narasumber, melainkan pula bagi pendengar setia. Alhasil, kesan yang dimunculkan menjadi elegan.
Jadi, seorang penyiar radio, sesungguhnya bukan sekadar orang yang jago bicara atau memiliki suara yang merdu saat berbicara. Akan tetapi, idealnya, ia juga memiliki kemampuan berliterasi yang baik. Ia juga mesti punya beragam model dan pendekatan saat melakukan wawancara, disesuaikan dengan tema, narasumber, dan format acara. Lain dari itu, juga perlu memperhatikan segmen pendengar yang dibidik.
Saya masih ingat, ungkapan seorang penyiar radio senior, mendiang Errol Jonathans, bahwa seorang penyiar radio yang baik adalah penyiar yang terdengar cerdas. Artinya, pekerjaan sebagai penyiar radio bukan pekerjaan asal-asalan. Akan tetapi, merupakan pekerjaan yang juga membutuhkan keluasan wawasan, cara berpikir yang baik, kedalaman pengetahuan, dan tentu saja kecakapan berbahasa yang baik pula. Dengan kata lain, penyiar radio sesungguhnya pekerjaan yang tidak sembarangan. Apalagi, sekadar asal bunyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI