Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Penyiar Radio

19 Juli 2025   12:54 Diperbarui: 20 Juli 2025   12:38 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi penyiar radio di studio (dok.pribadi)

Mewawancarai tokoh-tokoh publik, bagi seorang penyiar radio boleh jadi merupakan kebanggaan. Apalagi, tokoh yang dimaksud seorang pejabat atau selebritis. Tak heran, kalau saat itu penyiar radio akan bersusah payah mengabadikan momentum itu. Bidikan kamera hp menjadi senjata andalan.

Maklum, kesempatan langka! Juga, tidak semua orang dapat menemui kesempatan serupa. Demi alasan itu, jeprat-jepret foto bersama sang narasumber pun akan dilalui dengan hati riang gembira. Saya tidak tahu, analogi yang tepat untuk menggambarkan suasana hati sang penyiar saat itu.

Mungkinkah perasaannya nyaris sama dengan luapan emosi seseorang yang menang lotre? Atau, apakah luapan emosi itu setara dengan ekspresi seorang tukang parkir yang menemukan segepok uang di lahan parkir yang ia tunggui? Mungkinkah pula, sebagaimana perasaan seorang penjual nasi goreng yang tiba-tiba nasi gorengnya diborong orang kaya?

Saya kira, semua analogi itu tak cukup mampu menggambarkan rasa gembira itu. Malahan, bisa saja terlalu berlebihan. Atau, justru kurang benar-benar mewakili perasaan penyiar radio itu. Saya tidak tahu.

Berdasarkan apa yang saya alami sebagai penyiar radio, kegembiraan yang saya rasakan agaknya masih dalam tahap wajar. Tidak terlalu meluap-luap, apalagi sampai menghasilkan detonasi yang sampai merobohkan tembok tebal kegabutan atau kegalauan. Salah seorang senior saya waktu bekerja di Radio Trijaya Network, mas Khrisna, pernah mengatakan, "Perasaan gembira itu jangan sampai mendaifkan sikap profesional seorang penyiar radio."

Mengapa? Karena, penyiar radio---khususnya radio berita---mesti memosisikan narasumber sebagai partner. Ia adalah sumber informasi penting yang harus digali secara mendalam informasi-informasinya. Makanya, kalaupun mengagumi ya mesti pada batas wajar saat wawancara.

Senior saya, mas Avi juga berkata demikian. Malahan, ia mengimbuhi, "Kalau sudah merasa kagum, ati-ati. Sebab, kekaguman kita kepada sosok narasumber bisa jadi bumerang. Kita bisa saja kehilangan sikap objektif saat wawancara karena terhanyut keterpesonaan kita terhadap narasumber."

"Lalu, bagaimana mestinya saya menempatkan diri?" tanya saya kemudian.

"Kamu mesti memosisikan diri sebagai orang yang setara dengan narasumber," kata mas Avi, juga mas Khrisna. Maksudnya, seorang pewawancara mesti pandai-pandai mengelola jarak dengan narasumber. Sekalipun di luar berteman baik bahkan sangat akrab, atau mungkin saja menjadi seorang pengagum berat, seorang pewawancara mesti pandai bermain peran.

Di hadapan sosok yang dikagumi, seorang penyiar radio wajib menunjukkan sikap objektif. Ia tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan kagumnya, sehingga merasa kikuk apalagi takut untuk menanyakan ihwal yang memang diperlukan. Akan tetapi, sikap objektif itu bukan berarti menghilangkan rasa hormat kepada narasumber. Artinya, sikap hormat itu tidak dimaksudkan untuk merendahkan diri, melainkan sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa penyiar radio juga menjadi sosok yang dibutuhkan narasumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun