Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kabar dari Gunung

31 Agustus 2021   01:17 Diperbarui: 31 Agustus 2021   01:53 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam dinding di studio menunjukkan pukul 19.00. Artinya, saya dan Opix mesti bersiap-siap kedingingan di dalam ruangan ber-ac itu. Mengawal perjalanan program siaran Wedangan yang sudah dinanti-nanti para pendengar setia. Ini kali kedua kami mengumandang di jam siar yang lebih awal, sejak diberlakukannya aturan Jam Malam per 1 April.

Seperti biasa dan sudah menjadi lazimnya sebuah acara, kami buka dulu acara Wedangan sambil mengingatkan kembali kepada pendengar, bahwa acara ini menjadi ajang dongengan alias obrolan santai. Jadi, siapa pun boleh ikut gabung. Baik via telepon maupun sms. Setelah itu, dua lagu kami putarkan sebagai penyela. Ya, namanya juga acara hiburan kecil. Jadi, lagu menjadi penting untuk siaran kami. Selain, mungkin saja ada informasi yang perlu disebarluaskan pula.

Nah, saat lagu pertama kami putarkan, rupanya telepon di ruang gatekeeper meraung-raung. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Berkali-kali. Agaknya, acara ini memang sudah ditunggu-tunggu betul kehadirannya. Handphone saya bergetar. Sebuah pesan pendek yang disampaikan melalui WA saya baca. Oh! Ternyata WA dari istri saya. Ia mengabarkan, kalau salah seorang pendengar setia Wedangan sejak tadi ingin menelepon. Tapi, belum terangkat.

Ya, kabar itu didapat istri saya lewat grup WA warga Wedangan. Grup yang dibikin sebagai wadah berkumpulnya para pendengar setia Wedangan. Selain sebagai ajang bersilaturahmi, grup ini juga cukup efektif untuk menyampaikan kritik dan saran. Terutama, mengenai acara Wedangan. Kadang juga ada pula yang menyampaikan informasi tentang kualitas tangkapan suara radio. Bahkan, ada juga yang menginformasikan hal-hal penting lainnya. Atau, sekadar meminta konfirmasi atas informasi yang didapat tentang hal-hal yang diperlukan. Pokoke rahat. Satu sama lain saling dukung. Menjadi keluarga besar warga Wedangan.

Yang membedakan grup WA ini dengan grup-grup WA yang saya ikuti adalah keguyubannya. Tidak ada postingan-postingan yang bikin mumet. Tidak ada postingan-postingan yang bikin pikiran jadi serba rusuh. Sekalipun tak pernah ada aturan main yang diterapkan, seluruh anggota grup WA ini dengan sendirinya memahami dan melakukan hal-hal yang tidak membuat gaduh grup. Isu politik, SARA, dan hal-hal lain yang bikin kisruh sama sekali tak muncul di grup ini. Yang ada, postingan-postingan yang bikin sama-sama tertawa. Segar.

Lagu kedua menyusul. Telepon di ruang gatekeeper kembali berdering nyaring. Berkali-kali. Sebentar kemudian terhenti. Telepon pun bernapas lega sejenak. Tetapi, begitu lagu itu memasuki nada-nada penghujung, telepon kembali merengek minta diangkat.

Usai lagu, segera telepon pertama kami angkat. Benar saja. Rupanya Pakdhe Soleh. Pendengar setia yang sejak awal acara dibuka ingin menelepon.

Pertanyaan basa-basi awalnya kami lontarkan. Bertanya kabar, sekarang ada dimana, dan sebagainya. Disusul kemudian cerita dari Pakdhe Soleh. Ya, belakangan Pakdhe Soleh tak kemana-mana. Bukan karena taat anjuran pemerintah yang menyarankan agar tinggal di rumah di saat gempuran wabah yang sedang viral seantero jagat itu. Akan tetapi, karena usahanya juga tidak seramai sebelumnya. Keadaan sedang serba sulit. Maka, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah tabah menerima kenyataan dan sabar di dalam menjalani masa-masa sulit ini.

Yang penting, ungkap Pakdhe Soleh, semua masih bisa saling berkomunikasi dan tidak medot tali persaudaraan satu sama lain. Ia berharap, kesulitan yang dihadapi saat sekarang ini justru menjadi sarana yang tepat untuk sama-sama bangkit. Mempererat hubungan persaudaraan antar anak manusia untuk saling menguatkan. Bukan mencari siapa yang mesti dipersalahkan. Sebab, barangkali yang salah adalah diri kita juga.

Ia bersyukur masih ada acara semacam Wedangan ini di radio. Apalagi dengan gaya yang nyantai, bisa membuat semua lapisan masyarakat merasa ikut terlibat di dalamnya. Bisa ikut guyon tanpa harus merasa teraniaya gara-gara guyonnya. Baginya, Wedangan bisa menjadi sarana melatih diri untuk berlapang dada dan menerima pandangan orang lain serta sarana untuk menertawakan diri sendiri.

Wah, sebuah pesan yang dalam. Saya suka! Lebih-lebih jika ingat ketika kali pertama Pakdhe Soleh ikut siaran di Wedangan beberapa waktu yang lalu. Ia grogi. Sampai-sampai nggak tahu apa yang mau diomongkan. Tetapi, sekarang ia sudah berani berbicara cukup panjang dan jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun