Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Setahun Jokowi-Ma'ruf: Menurunnya Kebebasan Sipil dan Kepercayaan Publik

25 Oktober 2020   18:43 Diperbarui: 25 Oktober 2020   21:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin. Sumber: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG

Kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja telah menguras energi dan perhatian kita akhir- akhir ini. Perdebatan tentang Omnibus Law Cipta Kerja telah membelah suara publik. Banyak yang kontra, tetapi tidak sedikit yang mendukung. Dalam demokrasi, kebebasan berekspresi, entah itu pro atau kontra terhadap Pemerintah adalah sesuatu hal yang wajar.

Dinamika itu harus dirawat dalam rangka kedewasaan dalam berdemokrasi. Lalu, bagaimana kualitas demokrasi Indonesia saat ini?. Kalau merujuk hasil dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang dikutip dari CNN Indonesia, indeks demokrasi Indonesia tahun 2019 mengalami peningkatan menjadi 74,92 persen.

Lembaga Freedom House dalam laporannya Freedom in the World 2020, seperti dilansir Tempo, Indonesia masuk dalam kategori "bebas sebagian" dengan 61 poin.

Dilansir dari The Jakarta Post, tanggal 22 Januari 2020, The Economist Intellegence Unit (EIU) menempatkan Indonesia pada posisi 64. Untuk pertama kalinya sejak 2015, indeks demokrasi Indonesia meningkat. Lembaga thinktank asal Inggris raya itu juga memberikan catatan khusus tentang kebebasan sipil yang belum membaik sejak 2018.

Darurat Kebebasan Sipil

Menarik untuk membaca dan menelaah laporan tiga lembaga itu. Secara keseluruhan, demokrasi Indonesia tidak buruk. Namun, penilaian itu meninggalkan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Tiga lembaga itu memberikan catatan khusus untuk kebebasan sipil.

Kebebasan sipil mengalami penurunan, khususnya dalam 5 tahun belakangan ini. Artinya, penurunan itu juga terjadi dalam rentang waktu Jokowi menjabat sebagai Presiden. Setelah meningkatnya indeks demokrasi tahun 2019, apakah untuk tahun 2020 ini akan ada peningkatan lagi?. Saya agak ragu. Bisa jadi stagnan atau malah semakin menurun. Ini bisa diprediksi dengan melihat peristiwa penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja akhir- akhir ini.

Hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia mungkin bisa menjadi acuannya. Survei ini dilakukan pada 24 September sampai 30 September 2020. Dikutip dari Tempo, hasil survei Indikator Politik Indonesia menyatakan sebanyak 79,6 persen publik semakin takut untuk menyuarakan pendapatnya. Dan sebanyak 73,8 persen mengatakan rakyat semakin sulit berdemonstrasi. Bagaimana dengan sikap aparat yang semakin represif?. Hasilnya, 57,7 persen publik setuju aparat makin semena- mena menangkap orang yang memiliki preferensi politik yang berbeda. Dari hasil survei ini dapat disimpulkan kebebasan sipil semakin terancam dan ini merupakan alarm bagi demokrasi kita.

Hasil survei itu sebenarnya tidaklah mengejutkan. Orang- orang yang menyuarakan kritik atau penolakan melalui media sosial dibungkam dengan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang- Undang ini telah bermetamorfosa menjadi senjata untuk membunuh suara kritik. Selain dibungkam, akun media sosial yang menolak dan mengkritik Pemerintah juga diretas. Bahkan, baru- baru ini ada wacana dari Pemerintah untuk membuat aturan pemblokiran akun media sosial, yang diduga imbas dari demo Omnibus Law Cipta Kerja.

Ketika terjadi demo besar- besaran menolak Omnibus Law Cipta Kerja, polisi cenderung bersikap represif terhadap demonstran. Banyak demonstran yang ditahan dan dianiaya. Para wartawan yang meliputpun turut menjadi korban kekerasan oknum polisi.

Memang harus diakui merusak halte yang dilakukan oleh beberapa demonstran adalah tindakan yang sangat keliru dan disayangkan. Tindakan itu tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.

Secara khusus, saya melihat penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja adalah cerminan betapa kecewanya sebagian besar rakyat terhadap kinerja Pemerintah dan DPR. Kekecewaan demi kekecewaan terakumulasi dan termanifestasi lewat demonstrasi.

Saya rasa sangat wajar bila rakyat kecewa dan marah. Pemerintah dan DPR bukan hanya tidak mendengar aspirasi rakyat tetapi juga hanya mementingkan dirinya sendiri. Kita patut curiga mengapa Pemerintah dan DPR begitu antusias membahas dan mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja tetapi tidak serius menangani pandemi Covid-19.

Sampai hari ini penanganan pandemi Covid-19 masih amburadul dan tak jelas. Sebaliknya, Pemerintah malah menjadikan vaksin sebagai candu untuk meninabobokan kesadaran rakyat. Sehingga rakyat bisa melupakan kegagalan Pemerintah.

Omnibus Law Cipta Kerja adalah produk cacat. Mulai dari prosedurnya yang tidak transparan, minim partisipasi publik, naskah akademik yang masih misterius, jumlah halaman yang berubah- ubah hingga dugaan pesanan revisi dari Istana. Sudah cacat, Pemerintah dan DPR malah ngotot pula mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja. Segala cara dipakai mulai dari dengungan di media sosial hingga mendekati kelompok yang kontra, seperti mengirim utusan ke NU, MUI, dan Muhammadiyah.

Celakanya, bukannya memberikan kesempatan untuk berdialog atau berdiskusi, Pemerintah dan DPR malah menuduh rakyat keliru tentang Omnibus Law Cipta Kerja karena termakan berita hoaks. Pemerintah berdalih kerusuhan menolak Omnibus Law Cipta Kerja karena ada penumpang gelap. Pemerintah menutup telinganya dengan berbagai alasan.

Krisis Kepercayaan

Kekecewaan rakyat terhadap penguasa adalah puncak dari ketidakpercayaan. Kepercayaan rakyat kepada Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sudah mengalami degradasi.

Menurunnya kepercayaan rakyat terhadap Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf terlihat pada hasil terbaru survei Litbang Kompas. Survei Litbang Kompas dalam setahun Jokowi-Ma'ruf menunjukkan sebanyak 52,5 persen tak puas dan hanya 45,2 persen yang menyatakan puas. Ketidakpuasan muncul pasti karena rasa kecewa. Dari kekecewaan timbul rasa tidak percaya.

Pemimpin yang tidak lagi dipercaya adalah persoalan yang sangat serius. Kepercayaan adalah modal penting bagi seorang pemimpin. Konsekuensi dari menurunnya kepercayaan terhadap pemimpin sangat besar. Apapun yang diucapkan atau yang dilakukan pemimpin pasti sulit diterima apalagi diikuti.

Membangun kepercayaan tidak mudah, apalagi memulihkannya. Dalam pengamatan saya, menurunnya kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Jokowi bermula dari dugaan membangun dinasti politik, yaitu majunya anak dan menantu Jokowi dalam Pilkada. Ini diperburuk dengan kebijakan yang tidak mau menunda Pilkada.

Tersanderanya Jokowi oleh kepentingan orang sekitarnya turut mempengaruhi menurunnya kepercayaan publik. Praktik balas jasa adalah salah satunya. Misalnya, baru- baru ini salah satu tim sukses Jokowi-Ma’ruf, yaitu Ulin Yusron diangkat menjadi Komisaris Independen PT Pengembangan Pariwisata Indonesia.

Memang benar tidak ada larangan, akan tetapi praktik ini tidak sehat. Praktik balas jasa adalah salah satu sumber masalah dari betapa salah urusnya negeri ini. Parahnya lagi, kita dipaksa untuk percaya sama penguasa.

Saya mengamati sebenarnya Pemerintah sudah menangkap gelagat kepercayaan publik yang terus menurun. Ini dibuktikan dengan semakin masifnya pergerakan para pendengung (buzzer) pro Pemerintah di media sosial.

Setiap ada kebijakan Pemerintah, para influencer dan buzzer dengan cepat dan masif mempromosikannya. Perhatikanlah media sosial kita. Hampir setiap saat timeline dan trending topic di media sosial dihiasi dengan dukungan terhadap Pemerintah, meskipun Pemerintah membuat kebijakan yang keliru.

Saya sering bertanya-tanya, mengapa penguasa yang punya kapasitas dan kekuasaan yang besar masih menggunakan jasa buzzer dan influencer?. Barangkali Pemerintah mau repot- repot dan menggelontorkan uang untuk buzzer atau influencer untuk mempengaruhi publik, karena sudah tidak punya pengaruh (kepemimpinan) lagi.

Diskursus yang kerap kali terjadi, khususnya di media sosial, selalu pertarungan untuk mempengaruhi sebanyak mungkin orang tetap percaya kepada Pemerintah. Kalau kita tidak percaya atau kontra, apa yang terjadi?. Mudah menebaknya. Kalau anda punya pengikut banyak, mungkin akun media sosial anda diretas. Tetapi kalaupun tidak, anda pasti diberi label kadrun, kaum intoleran ataupun SJW.  

Bisa jadi yang melakukan itu bukan dari Istana. Tetapi saya melihat ada pembiaran dari pihak Istana. Kalau pendukung Jokowi terus memberikan stigma kepada orang yang kritis, bukankah citra Jokowi juga buruk?. Saya pikir Pemerintah tidak patut berdiam diri. Karena, polarisasi akibat stigmatisasi masih terasa dan semakin memburuk.

Harus diingat juga memberikan stigma ataupun membungkam suara kritis tidak akan mengembalikan kepercayaan publik kepada Pemerintah. Kita bisa melihat dan mendengar betapa frustasinya Pemerintah. Saking frustasinya Pemerintah karena menurunnya kepercayaan publik, mungkin puncaknya adalah pernyataan Johnny G Plate beberapa waktu yang lalu dalam acara Mata Najwa. Dari pernyataannya itu tersirat makna sumber kebenaran informasi harus dari Pemerintah. Apakah Pemerintah berniat untuk memonopoli sumber kebenaran?.

Menjadi pemimpin apalagi sekelas Presiden memang tidak mudah. Sebagai negara Pancasila dan menjunjung demokrasi, merawat perbedaan itu mutlak diperlukan. Para pemimpin dan kita semua perlu merenungkan perkataan filsuf asal Prancis, yaitu Voltaire. Dalam hal kebebasan sipil, khususnya berpendapat, Voltaire mengatakan; saya tidak setuju dengan apa yang kamu katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak kamu untuk mengatakan itu.

Sejatinya kita tidak perlu tips dan trik bagaimana caranya merawat perbedaan. Ya, kita sudah punya panduannya, yaitu Pancasila. Tapi sayang sekali, kita hanya sebatas menghapal Pancasila tetapi kurang menghidupinya.

Salain itu, menurut saya yang tidak kalah pentingnya Jokowi-Ma’ruf perlu memulihkan kepercayaan publik. Itu kunci untuk menjalankan pemerintahan yang baik selama empat tahun kedepan. Tentu saja, itu tidak mudah. Kepercayaan tidak bisa dibuat atau dibentuk tetapi harus dibangun. Memulihkan kepercayaan publik juga tidak bisa dengan kata- kata ataupun memanipulasi suara publik.

Kepercayaan hanya akan pulih bila pemimpin memperbaiki integritasnya dan bersikap negarawan. Apakah Jokowi-Ma’ruf bisa?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun