Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pandemi dan Selubung yang Terungkap

1 September 2020   05:38 Diperbarui: 1 September 2020   13:48 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : kompas.com

Pandemi korona yang terjadi saat ini telah menelanjangi banyak hal. Topeng yang selama ini digunakan untuk menutupi "wajah" yang asli, sudah tidak berguna. Kepalsuan menjadi pemandangan yang nyata. Virus yang tak kasat mata ini telah menunjukkan sistem yang rusak secara vulgar.

Menurut hasil penelitian, virus SARS Cov-2 yang menyebabkan korona, berasal dari hewan liar yang diperdagangkan di Wuhan, Tiongkok. Sebenarnya, ini bukanlah hal yang baru. 

Beberapa masyarakat, khususnya di Asia, gemar mengonsumsi hewan- hewan yang "aneh". Bahkan, beberapa diantaranya adalah hewan yang dilindungi. Tak hanya di Tiongkok, negara- negara seperti Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, bahkan beberapa daerah di Indonesia punya kegemaran untuk mengolah hewan- hewan eksotis menjadi menu makanan.

Kebiasaan buruk tersebut menghasilkan konsekuensi yang mematikan. Ekosistem alam menjadi tidak seimbang. Virus yang seharusnya berada di alam liar telah berpindah ke dunia manusia. 

Sejarah mencatat, virus SARS, HIV, MERS, Ebola dan lainnya, juga bermula dari kerusakan alam. Jauh sebelum pandemi terjadi, para ilmuwan sudah memperingatkan akan dampak yang buruk, bila alam terus menerus dieksploitasi dan hewan liar diperdagangkan. Namun, peringatan itu selalu dihiraukan. 

Watak manusia ini mengingatkan kita dengan pernyataan filsuf George Santayana; orang yang tidak pernah belajar dari masa lalu akan mengulanginya.

Wabah yang kita alami sekarang, juga semakin membuka kebobrokan pemimpin atau pejabat negara. Banyak pemimpin negara menghadapi pandemi dengan mengabaikan sains. Indonesia adalah salah satu contohnya. 

Di awal- awal wabah pemerintah malah menggunakan jasa influencer untuk menangkal dampak korona terhadap pariwisata. Pemimpin kita menyangkal dengan sikap yang meremehkan covid-19. Lebih menyedihkan lagi, pemimpin kita ada yang menggunakan sentimen agama untuk meredam kepanikan masyarakat.  Contoh- contoh tersebut menunjukkan kepada kita bahwa para pemimpin kita tidak mengerti dengan persoalan yang sedang terjadi dan tidak paham bagaimana menanganinya. Dengan kata lain, pemimpin negeri ini anti-sains.

Selain kepemimpinan yang anti sains, covid-19 juga menunjukkan kepada kita, bahwa para pemimpin di negeri ini bekerja hanya untuk kepentingan sendiri. Daripada menerapkan UU karantina Kesehatan, pemerintah malah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dengan keputusan tersebut, negara lepas tangan untuk menanggung biaya hidup rakyat selama pandemi. Anehnya, korporasi BUMN mendapat subsidi yang fantastis. Kalaupun ada bantuan sosial, penanganannya amburadul dan kacau. Tidak ada sinergi dan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.

Dana 5,6 triliun rupiah malah digunakan untuk kursus- kursus online yang kurang bermanfaat. Malahan, proyek tersebut diduga memperkaya kroni- kroni penguasa. Tidak cukup dengan itu, para pemimpin malah bernafsu untuk menyelesaikan undang- undang yang bermasalah dan tidak transparan, seperti Omnibus Law dan Minerba. Mereka melakukannya untuk melanggengkan kepentingan oligarki. BPJS Kesehatan yang sebenarnya sangat dibutuhkan rakyat dalam kondisi pandemi, justru dinaikkan iurannya oleh pemerintah dengan alasan untuk menaikkan pendapatan negara.

Perilaku pemimpin tanah air ini, mengingatkan kita bagaimana PEMILU beberapa waktu yang lalu. PEMILU yang tidak hanya menghabiskan dana yang besar dan menimbulkan polarisasi ditengah masyarakat, tetapi juga menghasilkan pemimpin eksekutif dan legislatif yang bertolak belakang dengan janji manis mereka saat kampanye. Wabah ini menujukkan wajah sesungguhnya politisi di negeri ini. Jumlah kematian akibat covid-19 yang terus meningkat setiap hari, tidak juga membuat mereka membuat keputusan yang tepat dan cepat. Keputusan yang diambil masih saja keliru dan tak jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun