Mohon tunggu...
Riani
Riani Mohon Tunggu... Mahasiswa Aktif di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi program studi Hukum Keluarga di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tertarik dengan kepenulisan yang berkaitan dengan hukum, sosial, dan lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Payung Hukum, Hak Cipta, dan Orisinalitas Karya AI

5 Oktober 2025   16:18 Diperbarui: 5 Oktober 2025   16:18 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Artificial Intelligence (AI) menjadi teknologi yang sedang gencar dikembangkan dan banyak digunakan manusia. Berdasarkan data tahun 2023, dijelaskan bahwa ChatGPT yang menjadi aplikasi AI mencapai 14,6 miliar pengguna di seluruh dunia termasuk Indonesia menempati urutan ke-3 dengan 1,4 miliar kunjungan (Databoks, 2024). Bukan hanya memudahkan pekerjaan manusia, AI kini mampu membuat, menggambarkan, bahkan menirukan karya manusia dalam waktu yang cukup singkat. Dengan hadirnya pelbagai AI seperti Gemini, ChatGPT, dan Perplexity, orang-orang tidak lagi kesusahan mengerjakan pekerjaan sulit. Hanya saja di balik kemudahan itu, muncul kekhawatiran baru ketika AI berani menghadirkan fitur yang seolah-olah menirukan karya orisinal manusia. Bahkan, beberapa waktu lalu, tren edit foto ala animasi Ghibli sempat viral dan langsung memicu kontroversi dan kecaman dari para seniman, termasuk kreator Studio Ghibli yaitu Hayao Miyazaki dan Isao Takahata.

            Tidak diragukan lagi kecanggihan AI, tetapi sering kali teknologi ini disalahgunakan. Banyak orang mulai bergantung pada AI untuk membuat gambar, mengolah data, bahkan menulis skripsi. Dikutip dari Kumparan, ada pula orang yang berani mengklaim karya buatan AI sebagai karya orisinal miliknya. Sempat ramai kasus Boris Eldagsen, seorang fotografer yang memenangkan lomba fotografi dengan karya buatan AI tahun 2023, namun ia justru menolak penghargaannya karena ingin membuktikan bahwa gambar AI tidak sepantasnya bersanding dengan jepretan fotografer manusia. Sebaliknya, Jason M. Allen pernah memenangkan Colorado State Fair Fine Arts Competition tahun 2022 dengan karya hasil bantuan AI dan bersikukuh menyebutnya sebagai karyanya sendiri. Dua kasus tersebut menunjukkan betapa tipisnya batas antara karya manusia dan mesin, sekaligus mempertegas kerentanan sistem perlindungan hak cipta yang ada.

            Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dalam Pasal 1 ayat 2 dengan tegas menyebutkan bahwa pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Artinya, hak cipta ini adalah karya yang hanya diciptakan oleh manusia, bukan hewan maupun mesin. Jadi, karya buatan AI sudah jelas tidak memenuhi kriteria ini, sebab mesin AI bekerja dengan mengumpulkan seluruh data yang ada di internet dan meramunya sehingga sering kali tanpa kejelasan sumber dari mana tulisan atau karya tersebut dikutip ataupun didapatkan.

            Kondisi ini menimbulkan grey area karena karya buatan AI tidak bisa dikategorikan sebagai ciptaan yang memiliki hak cipta, tapi berpotensi diklaim dan diperdagangkan sembarangan. Hal ini jelas mengancam perlindungan hak cipta dan orisinalitas karya manusia. Hingga kini, belum ada payung hukum yang secara spesifik mengatur masalah tersebut. Freddy Harris, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual menegaskan bahwa perlunya diskusi serius antar ahli hukum berkumpul untuk merumuskan aturan yang jelas dan tegas terkait perlindungan hak cipta karya manusia yang melibatkan bantuan AI.

            Maka dari itu, perlu adanya regulasi hukum yang lebih tegas dan baru karena tanpa mekanisme yang ketat, AI akan terus bebas meniru dan mengambil karya orang lain, begitupun karya manusia hasil buatan AI berpotensi disalahgunakan tanpa perlindungan hukum. Jika dibiarkan, bukan hanya orisinalitas karya yang runtuh karena ketidakjelasan, tetapi juga kredibilitas sistem hukum hak cipta di Indonesia.

            Oleh karena itu, hukum harus mampu beradaptasi cepat merespons perkembangan zaman agar tidak selalu tertinggal oleh teknologi maupun kebutuhan manusia yang terus berubah. Jika regulasi ini tidak segera dihadirkan, maka sewaktu-waktu hak cipta manusia berisiko terkubur di balik karya mesin AI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun