Mohon tunggu...
Rian Hilmawan
Rian Hilmawan Mohon Tunggu... -

Rian lahir di Balikpapan. Menggemari diskusi tentang ekonomi, sosiologi, hukum, sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradoks Kemakmuran

15 Juni 2011   13:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:29 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SETIAP pagi, kalau saya menuju kampus pusat di Universitas Brawijaya, saya kerap berpapasan dengan pria-pria pendek, berbadan kekar. Mereka adalah kuli sekop. Nasib kuli sekop sangat menyedihkan. Mereka berdiri di jembatan jalan arteri kota besar. Bukan mengemis, mereka menunggu kalau-kalau ada yang membutuhkan tenaga mereka: menyekop pasir, atau melakukan pekerjaan kuli. Para kuli sekop itu, baru kembali tengah malam. Tidak ke rumah, melainkan kolong jembatan. Mereka tidur di sana. Tanpa alas, tanpa atap, tanpa harapan masa depan. Kita terkadang dihadapkan pada suatu paradoks kemakmuran di negeri Indonesia ini. Ketika kita memandang ke “pinggir”, betapa banyak penderitaan. Kuli sekop yang bekerja “jungkir balik” membantu truk-truk pasir menurunkan pasir dari bak, satu truk penuh pasir, biasanya dikerjakan dua orang kuli sekop, upah mereka antara Rp 20-25 ribu/orang. Fakta betapa sulitnya mencari uang untuk mempertahankan hidup (survival). Di lain sisi, pejabat-pejabat pemerintah umumnya hidup mewah bergelimang harta. Bahkan seorang mantan pegawai pajak ecek-ecek yang cuma golongan III/a, Gayus Tambunan, “konon” mampu mengumpulkan uang hingga ratusan miliar cuma dalam tempo 10 tahunan? Anda yang sedang belajar Ilmu Ekonomi, dan setiap hari berkutat dengan buku-buku ekonomi selalu didoktrin bahwa ekonomi dan mekanisme pasar, akan membawa kita kepada kemakmuran. Itu janji yang indah sekali, dan terbukti benar. Di negara maju, standar hidup mereka sangat jauh berbeda dengan masyarakat di negara berkembang. Kemakmuran itu memang benar-benar dirasakan. Tetapi mengapa hingga hari ini, di negara kita tercinta ini, sulit merasakan kemakmuran itu tercipta, bagi semuanya. Tidak hanya segelintir orang. Apa yang salah? Apa karena faktor manajemen dan kelembagaannya (perangkat, regulasi, undang-undang, hukum) yang lemah? Apa sistem ekonomi kita yang salah? Atau karena moral kita sudah sedemikian bejatnya, sehingga gemar sekali mengambil hak orang lain? Sangat riskan saat ini mendambakan janji kemakmuran dari pemerintah. Yang ada hanyalah potret paradoks kemakmuran. Pemerintah terkadang sibuk dengan kebahagiaannya sendiri. Lebih-lebih, kita sekarang sedang mengalami krisis figur. Kita kesulitan mencari role model, atau suri tauladan. Sementara orang-orang miskin banyak dilupakan dalam hiruk pikuk pembangunan atau angkuhnya kota. Seorang tokoh seniman jalanan, Anto Baret, pernah mengatakan: “Jadilah pejuang, jangan minta diperjuangkan.” Kata-kata ini selalu terngiang-ngiang di benak saya. Suatu ungkapan ksatria, bahwa perubahan dalam hidup hanya bisa dilakukan dengan tangan kita sendiri, inisiatif kita sendiri. Seperti para kuli sekop yang setiap pagi mengadu nasib, lalu terlelap di malam hari, dan ketika matahari terbit kembali di pagi hari, mereka melanjutkan kehidupannya dengan tangannya sendiri….;


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun