Mohon tunggu...
Fransiska Ria Aninda
Fransiska Ria Aninda Mohon Tunggu... -

Salah satu warga Jogja yang doyan wisata kuliner, bersepeda, baca buku, dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Apa Itu Still Photography?

17 November 2011   06:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 2831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_149600" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Pernahkah mendengar profesi seorang Still Photographer? Saya pikir, mungkin hanya sebagian orang saja yang tahu. Senin, 14 November lalu, Kelas Pagi Yogyakarta (KPY) yang dikenal sebagai komunitas belajar fotografi gratis untuk rakyat mengadakan sharing seputar Still Photography bersama Syamsul Hadi. Selama sesi pembahasan dan presentasi, dia begitu antusias menjelaskan apa itu Still Photo yang mungkin masih awam di telinga kita.

Sebagai seorang yang menggeluti profesi still photographer selama bertahun-tahun, membuat Hadi bisa dengan lugas menceritakan seluk beluk pekerjaan yang dia tekuni. Di dalam proses pembuatan film, tentu kita mengenal profesi seperti sutradara, produser, make up artist, lighting, dan sebagainya. Namun, profesi yang dipilih Hadi ini jarang ada orang yang tahu. Karya para still photographer biasanya dipublikasikan dalam bentuk buku yang memuat photo story atau behind the scene dari film itu, poster film yang terpampang di bioskop, iklan film di media massa, sebagai foto di website resmi film, bahkan merambah hingga dikemas dalam bentuk merchandise seperti mug, kaos, dan gantungan kunci.

Syamsul Hadi adalah salah satu still photographer yang sudah menangani beberapa produksi film baik berskala lokal maupun internasional. Salah satu karyanya yang telah dibukukan adalah film Berbagi Suami. Dalam menjalankan pekerjaannya, Hadi tetap mengutamakan prinsip selektif dalam memilih film yang akan dia garap. Banyak produser menawarinya menggarap film bergenre esek-esek. Namun, dengan tegas ditolaknya. Dia sadar bahwa dirinya sudah berkeluarga dan memiliki anak istri. Tentunya dia tidak ingin keluarganya menilai negatif jika dirinya menerima tawaran tersebut.

Pengalaman suka duka jelas mewarnai setiap jengkal pekerjaannya. Pernah ia terlibat dalam pembuatan film berjudul Lastri dibintangi Marcella Zalianty yang akhirnya batal tayang. Apa boleh buat, hal itu harus diterimanya secara ikhlas. Melihat profesinya tidak bisa dibilang sebagai profesi tunggal, dia lantas melebarkan sayap usahanya dalam bentuk usaha wedding photography dan usaha konveksi. Hadi sempat beberapa kali berucap, penghasilan sebagai still photographer tidak banyak. Namun, passion dia memang berada di bidang itu. Dan dia yakin, jika segala sesuatunya ditekuni, maka akan menghasilkan sesuatu yang baik.

Selama enam tahun terakhir ini, Hadi mulai dibantu oleh dua orang asisten. Kedua asisten itu tidak melakukan aktivitas memotret, tetapi mereka tetap harus paham mengenai fotografi. Asisten pertama mengurusi peralatan, asisten kedua bertugas menyimpan data. Kehadiran asisten sangat membantu Hadi dalam pekerjaannya, karena dalam satu hari pemotretan di lokasi film, Hadi bisa memakai 2-3 buah kamera dan membutuhkan peralatan banyak tentunya.

Hadi bercerita ketika menjalani profesinya, dia sempat beberapa kali mengalami kendala. Kendala itu bisa datang dari pihak kru film maupun pemain film itu sendiri. Ada artis yang susah diajak kerjasama. Kru film pun kadang bahkan merasa terganggu dengan kehadiran Hadi, karena boomer terlalu sensitif berakibat suara jepretan kamera masuk sound. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya dalam bekerja. Maka dari itu, Hadi menyarankan sebagai bagian dari pekerja film, still photographer harus memiliki kemampuan sosialisasi yang tinggi dan bisa melakukan tindakan persuasi secara baik dengan kru film bahkan para pemain filmnya.

Sepintas, pekerjaan Hadi terkesan mudah. Namun, banyak hal yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar sebagai seorang still photographer. Hadi hanya diperbolehkan memotret ketika pemain film dalam posisi berlatih supaya tidak mengganggu konsentrasi para pemain. Namun, hal ini tidak serta merta membuat Hadi kehilangan kesempatan mengambil gambar. Ketika pemain sudah siap untuk diambil gambarnya, hak sepenuhnya memang berada di tangan sutradara. Selain itu, still photographer juga dilarang menyebarluaskan (upload) dan meng-copy foto yang diambil di lokasi selama proses syuting berlangsung kecuali seizin publishes. Jika hal itu sampai terjadi, sutradara berhak memutus kontrak kerja tanpa ada pembicaraan lebih lanjut.

Bagi Hadi, hal terpenting dalam still photography adalah komposisi warna supaya foto yang dihasilkan paling tidak hampir sama dengan warna yang dihasilkan dari produksi film. Profesi ini juga menuntut si fotografer hafal teknik fotografi di luar kepala sehingga tidak ada istilah foto under atau over exposure. Hal ini akan sangat membantu karena fotografer dituntut bergerak cepat terutama ketika memotret adegan yang berlangsung sekejap seperti akting berkelahi. Hadi selalu menggunakan setingan manual untuk memotret. Setingan autofocus kadang juga dipakai. Dengan mobilitas dan frekuensi penggunaan kamera yang cenderung aktif dan berada di segala medan dan cuaca, membuat Hadi sangat intens memperhatikan kondisi kamera yang dipakainya itu. Pernah ada suatu kejadian ketika dia selesai memakai kamera untuk memotret produksi film selama dua bulan, teknisi kamera sampai mengatakan kalau kamera dipakai lebih dari jangka waktu itu, kemungkinan besar kamera sudah tidak akan bisa dipakai. Hal ini merupakan tantangan untuk para still photographer menjaga aset mereka.

Budget yang tidak sedikit untuk menambah varian peralatan memotretnya juga tidak diperoleh Hadi secara mudah. Sedikit demi sedikit dari penghasilannya dia tabung untuk membeli peralatan itu. Still photographer membutuhkan berbagai jenis lensa untuk mengantisipasi tempat pengambilan lokasi syuting yang bisa berubah-ubah. Selain lensa, Hadi menganjurkan untuk memiliki alat seperti light meter, spot meter, dan colour meter. Alat-alat itu diperlukan ketika berhadapan dengan masalah pencahayaan.

Hadi juga memberikan beberapa tips terkait dengan profesi ini. Still photographer harus membaca naskah film secara utuh agar nantinya bisa merancang konsep pemotretan. Kadang ada yang malas membaca naskah. Kondisi semacam ini akan menimbulkan kebingungan bagi still photographer sehingga hasil jepretannya tidak sama dengan yang diinginkan sutradara. Sebelum memotret, sebaiknya mendatangi lokasi lebih awal supaya bisa mencari ‘titik aman’ ketika memotret. Titik aman yang dimaksud disini adalah hal-hal teknis seperti ukuran ISO berapa yang akan digunakan di lokasi itu, sehingga nantinya saat persiapan dan syuting dilakukan tinggal memotret tanpa harus pusing memikirkan masalah teknis. Tips lain yang tak kalah penting adalah memasang tanda berupa lakban hitam atau apa pun yang menunjukkan posisi si fotografer ketika akan mengambil gambar. Hal ini penting, mengingat saat syuting, tentunya ada banyak kru film yang tersebar di berbagai sudut lokasi syuting dan ini akan memudahkan still photographer untuk menjalankan tugasnya supaya tidak mengganggu pekerjaan kru lain.

Supaya memudahkan tugasnya, Hadi menyarankan still photographer bertindak cepat dan efisien. Dari sekian foto yang diambil, tentu tidak semuanya diserahkan pada produser. Hanya foto-foto yang dianggap penting dan mewakili proses syuting saja yang diserahkan. Untuk itu, fotografer harus rajin membuat folder foto setiap hari. Kalau tidak, pekerjaan akan menumpuk belakangan. Selain itu, still photographer juga harus pintar mengatur suasana hati. Produksi film jelas memakan waktu lama. Still photographer bergelut dengan  pekerjaaan memotret sepanjang hari selama waktu syuting yang bahkan sampai berbulan-bulan. Untuk menyiasati, Hadi berpesan bersikaplah profesional, dan tidak menghabiskan tenaga di awal-awal pengambilan gambar. Biasanya still photographer yang masih amatir terlalu bersemangat di awal syuting dan merasa kehabisan tenaga saat mendekati hari terakhir syuting. Mereka harus memiliki kemampuan mengolah suasana hati supaya tidak cepat bosan.

Menurut Hadi, bagian yang lumayan sulit ketika menjalankan pekerjaannya adalah memotret departemen artistik dan wardrobe. Kedua departemen itu paling sulit diambil karena tidak berada di lokasi syuting. Keberadaan mereka terpisah dengan kru film yang lain. Untuk menyiasatinya, Hadi langsung mendatangi ruang make up dan mencuri waktu selama masih ada kesempatan untuk memotet.

Di akhir sesi tanya jawab, Hadi berpesan bahwa jika ingin serius menggeluti profesi sebagai still photographer, seseorang harus memiliki semangat juang tinggi. Melihat kondisi ketika kru film sudah selesai bekerja dan bisa santai, Hadi masih harus mengolah dan mengedit foto untuk dimasukkan ke dalam folder yang nantinya akan ditujukan kepada produser untuk dipilih yang terbaik dari sekian banyak foto. Profesi yang melelahkan sekaligus menantang bukan. Anda tertarik?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun