Mohon tunggu...
Rhein Iskandar
Rhein Iskandar Mohon Tunggu... -

Senang menatap hujan dan melukis kanvas

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berkedok “Penulis” Bermodal Rayuan

21 Oktober 2014   12:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:17 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_368004" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Foto: dok. pribadi"][/caption]

Saya terbilang baru di dunia tulis-menulis. Sebut saja, saya ini amatiran. Pekerjaan saya sehari-hari cuma mendesain busana skala kecil-kecilan. Katakan saja, saya ini perancang busana yang juga amatiran. Tapi di saat-saat senggang saya biasa sesekali mencoret-coret kalimat  curahan hati di sebuah diary. Saya sendiri kurang paham, itu bisa digolongkan puisi atau tidak. Tapi ya… hal itu cukup membuat saya terhibur dan memberikan kepuasan tersendiri.

[caption id="attachment_368006" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok. pribadi"]

14138448091573586096
14138448091573586096
[/caption]

Suatu hari, akun facebook saya di-hack seseorang. Memang tak jadi masalah, karena sebenarnya saya jarang aktif di medsos. Paling hanya sesekali, bila sedang kangen teman-teman lama. Tapi, entah mengapa, pada suatu hari saya ingin membuat sebuah akun baru. Meski susah payah (dulu akun saya dibuatkan oleh orang lain), akhirnya saya berhasil juga membuat akun itu. Iseng-iseng saya mencari komunitas yang sesuai dengan minat saya selama ini, menulis puisi. Tentu saja, saya ingin banyak belajar. Akhirnya, saya menemukannya.

[caption id="attachment_368007" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

14138448831704447902
14138448831704447902
[/caption]

Saat sedang melihat-lihat karya-karya yang hilir mudik di sana, saya menemukan beberapa puisi kolaborasi. Bapak Suko Waspodo memadu karya dengan beberapa perempuan penulis. Setelah saya baca, ternyata kata-katanya cukup romantis. Saya berpikir, mungkin beliau sudah berpengalaman di bidang tulis-menulis di Tanah Air. Tentu, sebagai seorang pemula saya tak segan-segan mencari seorang “guru”.

Alhasil, saya coba mengirimkan permintaan pertemanan dengan beliau. Wah, pucuk dicinta, ulam pun tiba. Beliau segera meng-inbox saya. Senangnya, pemula seperti saya “dilirik” seorang penulis puisi ulung. Tanpa basa basi, saya tanggapi dengan hormat perkenalan itu dan tanpa panjang lebar (seingat saya kurang dari setengah jam), maka kesepakatan untuk membuat puisi kolaborasi pun diketuk palu.

[caption id="attachment_368008" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

1413844947819875374
1413844947819875374
[/caption]

Sebisanya, saya membuat dua bait pertama puisi pertama saya yang menurut beliau akan dipublikasikan di Kompasiana. Kebetulan saya belum punya akunnya. Beliau menawarkan diri untuk mengedit dan mempostingnya dengan gambar di Kompasiana. Wah, lagi-lagi sungguh riangnya hati saya. Mimpi apa saya bisa semujur ini? Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan saja. Setelah beliau mempostingnya, maka beliau meng-inbox link-nya ke saya. Puisi kolaborasi kami berdua itu diberi judul Asmara Kujelang (bagi saya ilustrasinya sebenarnya cukup membuat “gerah”). Hidung saya sampai kembang kempis. Rasanya, saya sudah menjadi seorang penulis puisi kondang!

[caption id="attachment_368009" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

141384501419262587
141384501419262587
[/caption]

Hari pertama perkenalan kami cukup singkat, tapi sudah menghadirkan cukup banyak informasi. Mulai dari alamat, pekerjaan, dan hal-hal lainnya. Tapi, saat beliau meminta pin BB, saya memang tidak memberikannya. Soalnya, BB saya sedang dalam kondisi rusak parah. Sore itu, kami berpisah di inbox dengan sapaan “sayang” dari beliau. Saya masih berpikir biasa saja, mungkin penulis puisi romantis itu seromantis bait-bait puisi yang mereka ciptakan. Mungkin saja demikian. Bagi saya, yang penting saya bisa belajar mengasah kemampuan saya menulis puisi.

[caption id="attachment_368010" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

14138450721765152055
14138450721765152055
[/caption]

Keesokan harinya kami kembali berkomunikasi. Dan… lagi-lagi berujung pada kolaborasi yang berjudul Dambaan Hati. Kali ini bait-bait yang terangkai jauh lebih “hangat”. Saya juga tak menyangka akan sampai sedemikian. Nah, di hari kedua perkenalan kami inilah keheranan saya mencuat. Kata-kata Pak Suko Waspodo semakin menjurus ke hal-hal yang berbau (maaf) hubungan seksual. Saya terperangah, tapi saya tidak mungkin menjatuhkan prasangka terlalu dini (mengingat baru dua hari berkenalan di dunia maya). Rasa penasaran membuat saya menjajaki komunikasi lebih jauh. Tidak salah dugaan saya, ternyata beliau memang bermaksud “mengarahkan” saya untuk memenuhi hasratnya.

[caption id="attachment_368011" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

1413845130455667437
1413845130455667437
[/caption]

Sungguh saya amat kecewa. Ternyata niat saya untuk memulai menulis mendapat “sambutan” seperti ini dari seseorang yang menurut penilaian saya sudah lebih dulu aktif di dunia ini. Hingga akhirnya saya memutuskan membuat akun di sini, di Kompasiana. Lalu saya mencoba menelusuri akun beliau. Astaga, saya makin terhenyak. Ternyata begitu banyak perempuan penulis yang sudah diajak beliau untuk berkolaborasi dalam puisi. Jadi sekarang pertanyaannya, apakah mereka semua juga dirayu untuk memuaskan hasratnya dengan modus belajar membuat puisi seperti saya? Lalu, apakah beliau menjadikan dunia tulis-menulis (termasuk Kompasiana) sebagai “ladang berburu mangsa”?

[caption id="attachment_368012" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

1413845190830394067
1413845190830394067
[/caption]

Saya tidak tahu harus menyimpulkan apa. Yang pasti, kepada saya yang baru berkenalan dua hari saja, beliau sudah “mampu” menggoda sedemikian rupa. Apalagi yang berkolaborasi dengannya sampai berkali-kali! (mengingat ada perempuan penulis yang tercatat berulangkali berkolaborasi dengan beliau). Sungguh, saya tak mampu membayangkan apa yang telah terjadi! Padahal menurut saya, seharusnya proses menciptakan sebuah karya seni haruslah semurni karya itu sendiri. Tidak dicemari oleh hal-hal negatif, apalagi oleh hasrat sex murahan dari seorang penulis kepada rekan kolaborasinya.

[caption id="attachment_368015" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

1413845277592258077
1413845277592258077
[/caption]

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyebarkan fitnah (saya menyertakan screen shoot percakapan dengan beliau) atau melukai seseorang. Bisa saja yang bersangkutan sedang mengalami “gangguan” dan membutuhkan semacam terapi. Hanya saja lebih kepada kekecewaan saya terhadap dunia yang baru saja ingin saya tekuni. Semoga tidak ada lagi penulis pemula yang mengalami hal yang seperti yang saya alami. Maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Salam persahabatan.

[caption id="attachment_368016" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: dok.pribadi"]

1413845333100588228
1413845333100588228
[/caption]

***

*Jakarta, 22 Oktober 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun