Ketika sosial media seperti Facebook, Instagram, dan Twitter pertama kali hadir, tujuannya sederhana yakni untuk mempertemukan teman lama, berbagi cerita, dan mengekspresikan diri. Pada tahap ini media sosial terasa seperti ruang bermain baru yang menyenangkan dimana kita bisa berbagi tanpa banyak tekanan.
 Tapi bagi sebagian orang, nampaknya media sosial kini bukan lagi sekedar  tempat berbagi cerita melainkan arena pembentukan identitas dimana "view" dan "like" menjadi semacam alat validasi sosial seseorang agar bisa  diakui keberadaannya.  Tentu Hal ini akan memberi tekanan secara psikologis bagi banyak orang untuk terus update hanya demi diakui eksistensinya, terutama bagi generasi muda yang tumbuh dan berkembang dengan smartphone ditangannya.
Pergeseran tempat ruang berbagi pribadi menjadi panggung publik tidak selamanya berdampak buruk, Contohnya, Instagram yang melahirkan budaya informasi visual, Twitter (kini X) yang berkembang menjadi ruang berbagi opini, LinkedIn yang berfungsi layaknya CV digital, dan TikTok yang menghadirkan konten hiburan singkat dan cepat viral. Transformasi ini membuka peluang besar bagi siapa pun untuk dapat tampil sebagai content creator, influencer, bahkan entrepreneur melalui personal branding yang dibangun.
Namun, sisi negatif dari evolusi sosial media ini perlu untuk diperhatikan secara seksama. Pasalnya, penggunaan media sosial yang tidak dapat di kontrol pada kalangan remaja dapat mempengaruhi kesehatan mental. Remaja yang kecanduan media sosial sering mengalami depresi, stress, kecemasan, bahkan kesepian. Gangguan jiwa seperti stress dan depresi yang dialami remaja dapat berdampak pada kesehatan fisik, termasuk tekanan darah yang dapat menyebabkan hipertensi.
Lalu bagaimana sosial media bisa berpengaruh bagi kesehatan mental? Setidaknya ada 3 kategori risiko yang berkaitan antara sosial media dan kesehatan mental.
- Dampak Terhadap Gejala Psikologis
Doomscrolling sosial media dapat memberikan gejala yang gak main-main, misalnya gejala kecemasan dan depresi yang disebabkan oleh perbandingan sosial dengan orang lain dan perasaan isolasi sosial.
Algortitma seringkali membuat kita untuk melihat kehidupan "sempurna" orang lain dan menimbulkan efek rasa "kurang berharga" pada diri sendiri, minimnya interaksi secara tatap muka dengan orang lain juga memberikan rasa kesepian yang luar biasa dan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan sesama.
- Paparan Interaksi Negatif atau Permusuhan
Tidak bisa dipungkiri, sifat sosial media yang terkesan anonymous membuat banyak orang mengekpresikan Alter Ego yang dimilikinya dengan sangat nyaman apalagi disaat kehidupan sebenarnya orang-orang cenderung "memakai topeng" dalam interaksi sosialnya, hal ini yang menjadikan sosial media sebagai tempat yang "aman" untuk seseorang tersebut mencurahkan hal-hal yang tidak bisa Ia tunjukan dimuka umum.
Platform media populer seringkali menciptakan potensi terjadinya keadaan dimana seseorang menjadi korban dari komentar atau postingan buruk yang ditujukan secara khusus kepada pihak tertentu. Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan istilah seperti Cyberbullying itu lahir.
Cyberbullying di media sosial secara konsisten menunjukkan dampak merugikan pada kesehatan mental dalam bentuk peningkatan gejala depresi serta memperburuk gejala kecemasan bahkan bisa berujung tindakan menyakiti diri sendiri.
- Konsekuensi terhadap kehidupan sehari-hari
Meskipun tidak tercatut secara ekplisit tetapi penggunaan sosial media nampaknya juga dapat mempengaruhi interaksi di kehidupan nyata. Adanya potensi ketersebaran informasi pribadi, penyebaran konten hoax atau minim sumber kredibel, munculnya rasa rendah diri serta rasa takut terhadap stigma dan penilaian orang lain dapat berakibat buruk pada hubungan pribadi, kekhawatiran terhadap pekerjaan, serta rentan menghadapi permusuhan atau perasaan terluka.
Media sosial seakan menjadi paradoks. Ia bisa menjadi sumber koneksi, inspirasi, dan peluang. Namun, di saat bersamaan, ia juga bisa menjadi sumber tekanan, perbandingan, dan kecemasan. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa tetap memanfaatkan manfaatnya, tanpa tenggelam dalam sisi gelapnya.
Maka dari itu diperlukan adanya mindfulness atau kesadaran penuh dalam bermedia sosial. Misalnya, menerapkan batasan waktu penggunaan media sosial agar dapat mengurangi kecanduan terhadap penggunanya sehingga bisa menghabiskan waktu dengan teman dan keluarga (digital detox).
Kebijaksanaan dalam beraktivtas di media sosial dalam hal menulis, membaca, dan memposting sesuatu, serta jika mengalami cemas dan stres yang terasa sulit dihadapi, jangan ragu untuk mencari bantuan dari psikolog atau konselor. Dengan dukungan mereka, langkah kecilmu bisa jadi awal menuju pulih.
Pada Intinya saat di balik layar, kita semua hanya manusia yang ingin dilihat, didengar, dan dimengerti. Media sosial memang bisa jadi panggung semu, tapi juga bisa jadi jendela untuk memahami satu sama lain. Semua tergantung bagaimana kita menggunakannya. Dengan membatasi waktu, bijak menulis dan berbagi, serta tetap hadir untuk kehidupan nyata, kita bisa menjadikan media sosial bukan sekadar kebisingan, melainkan ruang yang penuh makna.
Rujukan