Pendahuluan
"Perang adalah neraka." Kalimat ini pernah diucapkan oleh Jenderal William Tecumseh Sherman dalam masa Perang Sipil Amerika. Ungkapan sederhana namun menggambarkan betapa mengerikannya kenyataan yang terjadi di medan perang.
Dari waktu ke waktu, peradaban manusia terus diwarnai konflik. Rekonsiliasi dilakukan, perundingan dibentuk, namun perdamaian yang terwujud kerap bersifat sementara. Mudah dikhianati, mudah dilupakan. Martabat kemanusiaan seakan kehilangan nilainya.
Lihatlah dunia hari ini. Di berbagai belahan bumi, rakyat menjadi korban keserakahan dan ambisi kekuasaan. Dari Afrika hingga Timur Tengah, penderitaan adalah bahasa sehari-hari. lantas Pemimpinnya? Sedang duduk dibangku hangat dengan kudapan lezat yang memenuhi meja panjang sembari berdiskusi tentang keuntungan yang bisa diraih dan berapa banyak lagi nyawa yang masih bisa dikorbankan.
Perang hadir seperti semut hitam di atas batu hitam pada malam yang gelap. Sulit terlihat, tetapi keberadaannya sangat nyata. Namun anehnya, perang masih sering dianggap sebagai lambang kejayaan. Padahal tebalnya buku sejarah sudah memberikan bukti bahwa perang hanya berisi penderitaan dan luka yang berkepanjangan.
Realitas Perang: Neraka di Bumi
Tidak mengherankan memang, sebab di era hiburan digital, perang diromantisasi lewat film dan video game yang menggambarkan sebuah aksi non-stop dimana pemeran utama berjuang menghadapi musuh, menembus markas, dan kembali sebagai pahlawan yang membawa kejayaan negara di pundaknya. Membanggakan? Memang, tapi kenyataannya? perang nyata tidak punya tombol "respawn", tidak ada checkpoint, semua rasa sakit dan kehilangan yang dirasakan tidak akan hilang hanya karena animasi healing atau cutscene berdurasi 1-15 detik.
Perang merampas segalanya. Rumah, pekerjaan, keluarga, kehidupan, bahkan senyuman pun bisa hilang seketika. Menurut data dari OurWorldinData.org (2024), lebih dari 37 juta tentara tewas dalam berbagai perang sejak tahun 1800 – 2011. Angka ini belum mencakup korban sipil, kelaparan, atau penyakit yang muncul akibat konflik.
Dalam dua puluh tahun terakhir, konflik di Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, Kongo, Sudan, dan Ukraina telah menewaskan jutaan orang (Britannica, 2023).
Dan hari ini, dunia menyaksikan tragedi yang terus berlangsung di Gaza. Sejak Oktober 2023, lebih dari 55.000 warga sipil Palestina terbunuh dalam agresi Israel, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak (Middle East Eye, 2025).
Banyak dari kita sering mengeluh tentang hal-hal kecil. Tugas yang menumpuk, sinyal internet yang buruk, atau makanan yang tidak sesuai selera. Tapi coba bandingkan dengan anak-anak di Gaza, di Ukraina, atau di Sudan. Yang mereka inginkan hanyalah sepotong roti, sekotak susu, atau kesempatan untuk bermain bersama orang tua dan saudaranya. Tidak ada permintaan akan mainan mahal, pakaian baru, atau liburan. Yang mereka rindukan adalah hal-hal yang bagi sebagian dari kita dianggap sepele.
Kerusakan Lingkungan dan Budaya
Perang tidak hanya menghancurkan nyawa, tetapi juga bumi tempat manusia tinggal. Conflict and Environment Observatory (2025) mencatat bahwa aktivitas militer seperti pembakaran kilang minyak dan serangan terhadap infrastruktur energi menyebabkan pencemaran udara, air, dan tanah. Di Irak dan Suriah, asap dari kilang yang terbakar menyebarkan bahan kimia berbahaya ke atmosfer dan lingkungan sekitar.
Hutan juga menjadi korban. Dalam konflik di Vietnam dan Kamboja, hutan dihancurkan dengan bahan kimia. Kebakaran besar akibat perang melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Pada tahun 2020, emisi dari kebakaran di daerah konflik bahkan setara dengan hampir separuh emisi tahunan negara Inggris.
Kerusakan tidak berhenti di situ. Kota yang hancur menyisakan jutaan ton puing yang sulit dikelola. Proses membangun kembali memerlukan bahan seperti semen yang menghasilkan emisi tinggi dan memperburuk krisis iklim.
Lebih dari itu, identitas budaya pun ikut hilang. Laporan dari Human Rights Watch mengungkap bahwa penggunaan senjata peledak di wilayah padat penduduk telah menghancurkan situs-situs bersejarah seperti masjid, museum, dan bangunan warisan budaya. Di Gaza, sejak Oktober 2023, setidaknya 41 situs budaya telah rusak atau hancur, termasuk Masjid Agung Omari (Destroying Cultural Heritage, 2024).
Penutup
Perang bukan sekadar tentang peluru dan ledakan. Ia adalah rangkaian panjang penderitaan, kehilangan, dan kehancuran yang tak mudah dipulihkan. “War is hell” bukan hanya metafora, itu kenyataan. Dan selama manusia terus memuja konflik sebagai jalan menuju kemenangan, maka kita hanya sedang menyiapkan generasi berikutnya untuk masuk ke neraka yang sama.
Referensi
Bastian Herre, Lucas Rodés-Guirao, and Max Roser (2024) - “War and Peace” Published online at OurWorldinData.org. Retrieved from: 'https://ourworldindata.org/war-and-peace' [Online Resource]
Ray, M. (2023, April 18). 8 Deadliest Wars of the 21st Century. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/list/8-deadliest-wars-of-the-21st-century
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI