Mohon tunggu...
REZAWAHYA
REZAWAHYA Mohon Tunggu... PNS -

Penulis dengan multi-interest Ingin berbagi ilmu dan kebahagian kepada orang lain terutama kaum muda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Harus THR?

24 Juni 2016   06:26 Diperbarui: 24 Juni 2016   07:20 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada hari mendekati lebaran seperti sekarang, trending topic yang dibicarakan oleh para kayawan di instansi pemerintah maupun swasta adalah Tunjangan Hari Raya (THR). Dalam perspectif penggajian karyawan, THR dikategorikan bonus yang diberikan kepada karyawan yang sudah bekerja di suatu unit usaha atau instansi. Sedangkan secara normative hukum, THR sudah diatur oleh Permenaker No.6/2016. Dan secara logis hal ini wajar saja diberikan kepada seseorang yang sudah berkorban dan berjuang untuk kemajuan suatu perusahaan, dan sebagai imbalannya perusahaan memberikan upah lebih (bonus) dalam bentuk THR.

Yang  menjadi masalah adalah ketika berita tentang THR ini di-blow up secara berlebihan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapatkan THR mencari cara untuk mendapatkan uang bonus ini kepada orang yang dianggap berduit.

Sebenarnya di bulan Ramadhan memang sebagian orang kaya akan mengeluarkan sebagian hartanya dalam bentuk Zakat, Ifaq dan Shodaqoh. Tapi, yang menjadi kendala adalah ketika orang yang merasa berhak memperoleh Shodaqoh malah memanfaatkan moment akhir Ramadhon dengan meminta uang kepada Berpunya dengan cover Shodaqoh ataukah THR. Saya sangat setuju dengan Mas Heri Yan yang  meng-istilahkan  orang yang suka meminta  THR kepada  orang kaya dengan orang yang bermental pengemis. 

Dibalik semua itu saya coba sajikan beberapa alasan kenapa orang banyak yang menuntut THR  atau shodaqoh di akhir Ramadhon sekarang ini, antara lain :

1. Budaya Konsumtif

Pada saat hari raya Idul Fitri, sebagian besar masyarakat ingin memiliki makanan yang enak, baju baru, ngecat rumah hingga kendaraan baru. Budaya konsumtif seperti itu tidaklah murah bagi masyarakat Indonesia kebanyakan, terutama pada saat kondisi ekonomi kiita yang belum stabil. Cobalah tengok di Mall-mall atau pasar tradisional pada saat  h-10 hingga h-1 lebaran, semua tempat tersebut penuh sesak dengan pembeli. Mereka mencari bahan makanan serta pakaian yang akan disajikan atau dipakai pada saat hari raya.

Tidak ada yang salah dalam hal memenuhi keinginan makan makanan enak dan berbaju bagus di saat silaturahmi lebaran. Tapi, yang menjadi kendala apabila semuanya itu secara berlebihan dan dibeli pada saat peak demand seperti sekarang ini. Semua pada mahal, dan kebanyakan barang yang dicari langka seperti telur cenderung naik dua kali lipat, daging sapi  hampir tiga kali  lipat, pakaian menjadi supeeer mahal walaupun pakai diskon yang sudah didongkrak terlebih dahulu harganya.

Coba kalau kita tidak banyak membeli bahan makanan di akhir Ramadhan ini,  sudah pasti kebutuhan pengeluaran kita tidak akan terlalu besar. Dan juga kita akan banyak menghemat uang kalau  kita belanjanya di  luar harga tinggi seperti sekarang ini. Untuk pakaian sebaiknya dibeli ketika sebelum Ramadhan, atau kalau bahan makanan yang tidak mudah busuk bisa distock terlebih dahulu di bulan sebelum Ramadhan, dan juga hanya membeli segala sesuatu  yang benar-benar dibutuhkan (bukan mubadzir).

2. Mental tangan Di Bawah

Akibat besarnya kebutuhan finansial untuk menghadapi lebaran, dan masyarakat cenderung berpikir praktis, maka sebagian besar mereka mencoba menyebarkan proposal kepada pengusaha untuk meminta bantuan THR, shodaqoh ataupun dana sosial lainnya. Apapun nama permintaan tersebut mental tangan di bawah ini memang banyak berlaku di belahan bumi Indonesia. Kita masih ingat,  salah seorang yang meninggal akibat antrian dana zakat dari pengusaha Makassar beberapa  tahun lalu, belum lagi beberapa ibu-ibu rela membawa balitanya hingga si dedek susah bernapas, semua hanya untuk uang seratus ribu Rupiah. Hal ini menunjukkan, bagi orang yang tidak punya (red: miskin) menunggu atau mengajukan THR kepada orang kaya adalah suatu keniscayaan.

Mental seperti ini muncul ketika adanya kebutuhan yang tidak sesuai dengan supplai keuangan pribadi. Kalau seandainya masyarakat tersebut bermental mau hidup sederhana dan ingin bekerja keras sebelum memasuki Ramadhan, sudah bisa dipastikan akan ada uang cadangan untuk menghadapi Hari Raya sehingga tidak perlu lagi meminta kepada orang yang berpunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun