Mohon tunggu...
Reza Tua H Sijabat
Reza Tua H Sijabat Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Saya hobi olahraga seperti futsal dan volly.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Menyelamatkan Masa Depan: Hentikan Eksploitasi Anak Sekarang"

8 Oktober 2025   08:00 Diperbarui: 7 Oktober 2025   14:20 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Anak Dipaksa Untuk Mengemis Demi Mendapatkan Uang.

Berangkat dari keresahan yang kerap kali terlintas dari penglihatan saya, melihat tawa kecil dari seorang anak di jalanan yang berusaha mendapatkan seperak uang. Seperak uang yang diharapkannyapun dari publik nyatanya bukan sebagai penjamin kehidupannya sendiri tetapi kehidupan orang lain. Anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah, justru menghabiskan waktunya di lampu merah untuk mengamen atau menjajankan barang dagangan kecil. Mereka bekerja demi menambah penghasilan keluarga, padahal usianya belum cukup matang untuk memikul bebam hidup. Begitulah keadaan saat ini yang sedang terjadi di negara kita tercinta Indonesia yang sungguh memprihatinkan dan menuntut perhatian serius dari semua pihak: baik itu keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Seperti yang sama-sama kita ketahui bahwa pada saat ini marak terjadinya eksploitasi terhadap anak yang mengecam masa depan bagi anak tersebut. Sejatinya anak merupakan karunia terbesar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya telah melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Riset Sosiologi Progresif Aktual (2020) sejatinya anak-anak merupakan harapan dan penerus bangsa, sehingga mendapatkan perhatian yang maksimal baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Sebagai harapan bangsa maka, kesejahteraan anak harus ditingkatkan dan mendapatkan perhatian yang lebih agar mereka dapat menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. 

Tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berisikan pengertian anak adalah 

"Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Tidak hanya itu, didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus bangsa yang akan menjamin kemajuan suatu bangsa didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus bangsa yang akan menjamin kemajuan suatu bangsa.


Dalam penelitian yang diterbitkan di Jurnal Of Law, Society, and Islamic Civilisation (2024) mengartikan eksploitasi sebagai berikut:
"Eksploitasi adalah perbuatan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,dan/atau organ reproduksi Anak, atau pemanfaatan Anak dengan cara lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi baik materiil maupun immateriil."

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) tahun 2025, lebih dari 15.600 kasus kekerasan terhadap anak telah tercatat, dengan eksploitasi seksual menjadi bentuk kekerasan terbanyak yang dialami sekitar 7.000 anak, mayoritas berusia antara 13 hingga 17 tahun (KemenPPPA, 2025). Kejadian ini sangat memprihatinkan mengingat banyaknya anak yang seharusnya berada dalam lingkungan aman dan nyaman justru menjadi korban di tempat yang seharusnya paling melindungi mereka, yaitu rumah sendiri.

Selain bentuk kekerasan fisik dan seksual, anak-anak zaman sekarang juga menghadapi ancaman eksploitasi di ranah digital. Menurut laporan dari ECPAT Indonesia pada Peringatan Safer Internet Day 2025, banyak anak yang menjadi korban pelecehan dan
perdagangan seksual melalui platform internet. Eksploitasi ini diperparah oleh kemudahan akses digital tanpa disertai pengawasan dan edukasi yang memadai bagi anak maupun orang tua (ECPAT, 2025). Fenomena ini menandakan bahwa eksploitasi anak bukan hanya persoalan fisik tetapi juga sudah merambah ke ranah baru yang kompleks dan memerlukan pendekatan hukum dan teknologi yang lebih canggih.

Untuk menghentikan ekspoiltasi anak, sekiranya kita harus memahami akar penyebabnya. Salah satunya adalah kemiskinan yang menjadi biang kerok utama. Keluarga miskin kerap kali "menjual" anak mereka untuk bertahan hidup, terutama yang terjadi di
daerah pedesaan Indonesia dimana akses untuk mendapatkan pekerjaan terbatas. Disisi lain kurangnya pendidikan juga berperan besar; orang tua yang tidak terdidik cenderung tidak menyadari hak anak mereka. Pun daripada itu konflik budaya dan norma sosial yang patriarkal memperburuk situasi, dalam hal pandangan bahwa anak perempuan harus bekerja rumah tangga sejak dini.

Akibat pemanfaatan anak secara tidak wajar memiliki konsekuensi yang sangat berat, meliputi cedera mental, hambatan dalam pertumbuhan sosial, serta kehilangan akses terhadap pendidikan yang pada ujungnya menghalangi peluang mereka di masa depan. Dalam perspektif jangka waktu panjang, fenomena semacam ini juga memengaruhi kemakmuran sosial dan ekonomi suatu negara secara menyeluruh.

Indonesia sudah memiliki fondasi peraturan yang solid guna menjaga hak-hak anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menjaga anak dari berbagai jenis kekerasan
maupun pemanfaatan yang merugikan. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 terkait Upaya Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Manusia pun menetapkan hukuman yang ketat bagi para pelaku perdagangan serta eksploitasi terhadap anak.

Akan tetapi, pelaksanaan regulasi ini masih dihadapkan pada sejumlah hambatan. Penerapan norma hukum kerap terganggu oleh pengawasan yang tidak memadai, keterbatasan fasilitas bagi petugas penegak, dan rendahnya sinergi di antara berbagai instansi.
Tak sedikit kasus di mana pelaku eksploitasi berhasil menghindari sanksi hukum akibat kekurangan bukti atau kurangnya aduan dari kalangan masyarakat. Eksploitasi anak adalah pencurian terbesar terhadap masa depan umat manusia. Ia merampas mimpi, kesehatan, dan potensi generasi muda yang seharusnya menjadi pilar bangsa. Dari buruh anak di ladang hingga korban online di dunia maya, setiap kasus adalah seruan darurat yang tak bisa diabaikan lagi. Dampaknya bukan hanya pada individu, tapi
pada seluruh masyarakat yang akan kehilangan inovator, pemimpin, dan warga yang produktif.

Namun, ada cahaya di ujung terowongan. Dengan memahami bentuk, penyebab, dan dampaknya, serta mengambil langkah konkret dari kebijakan hingga aksi harian, kita bisa membalikkan keadaan. Pemerintah, masyarakat, bisnis, dan individu semua harus bersatu.
Ingatlah kata-kata Nelson Mandela: "Tidak ada yang lebih penting daripada mengubah dunia demi anak-anak kita." Saatnya kita hentikan eksploitasi sekarang, agar masa depan yang cerah bukan lagi mimpi, tapi kenyataan. Mari bertindak hari ini untuk anak-anak kita, untuk Indonesia, dan untuk dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun