Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kemiripan Rezim Sir Alex Ferguson dan Orde Baru

28 Oktober 2021   07:05 Diperbarui: 28 Oktober 2021   07:10 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mungkin semarah inilah beliau kalau timnya dicukur lima gol nirbalas di kandang sendiri (Matthew Peters/Manchester United)

Mulai dari Archie Knox yang ia boyong dari Aberdeen, Brian Kidd yang membersamai awal karir Class of '92, Carlos Queiroz yang entah bagaimana secara ajaib pernah melatih Real Madrid, hingga The Wally with Brolly Steve McClaren. Semua deputi SAF punya persamaan, gagal naik karir sebagai pelatih jempolan.

Tak membiarkan pengaruh menyaingi suaranya di ruang ganti jelas sudah mejadi mazhab bagi SAF. Ampun bukanlah menjadi opsi ketika ada pemain Paul Ince yang ia bilang saking arogannya "ia bisa berpikir mampu naik ke puncak Everest dengan bertelanjang kaki", jelas opsi hanya menendang Ince yang banyak oleh para pendukung MU kala itu kelewat kejam karena Ince tak lain adalah nafas lini tengah dan penggantinya hanyalah Nicky Butt yang masih begitu muda. 

Tapi bukan SAF kalau tak berurat baja dan bernapaskan otoriterisme, bahkan ketika Ince berkesempatan kembali ke MU setelah kegagalannya di Inter dua musim berselang SAF tak memilih memulangkannya. Hasilnya Ince malah bergabung Liverpool.

Serta yang paling penting adalah romantisasi yang tiada usai baik Orde Baru maupun rezim SAF. Sungguh pun meski sudah disodorkan berbagai hal ini itu, tak sulit menemukan 'simpatisan' romantisme Orde Baru di tiap sisi kehidupan kita beserta tagline ampuhnya, piye kabare, enak jamanku toh?. Begitu pula yang dialami segenap pendukung MU di segala usia dan kalangan, kerinduan akan rezim SAF.

Tak berlebihan bila selama 26,5 tahun itu MU adalah SAF dan SAF adalah MU. Mengusik kenyamanannya bisa berujung disingkirkan, tak peduli ia adalah John Mangier yang kala itu pemegang saham mayoritas hanya gara-gara rebutan kuda pacu. Seperti yang diketahui juga kedatangan Glazer tak menggoyahkan kakinya dari Old Trafford.

Terakhir seperti halnya Indonesia yang bahkan sampai sekarang belum selesai dalam menemukan bentuk stabil terbaiknya selepas bubrahnya Orde Baru, sepeninggal SAF juga kedigdayaan MU seakan ikutan menguap dalam rutinitasnya mengangkat trofi. 

Ini eranya Reformasi di Kabupaten Manchester, sudah saatnya MU move-on dari nostalgianya jika tak mau Cuma berlabel banter club. Ya kalau MU tak kembali digdaya, mungkin benar juga SAF lebih dari MU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun