Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kemiripan Rezim Sir Alex Ferguson dan Orde Baru

28 Oktober 2021   07:05 Diperbarui: 28 Oktober 2021   07:10 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mungkin semarah inilah beliau kalau timnya dicukur lima gol nirbalas di kandang sendiri (Matthew Peters/Manchester United)

Sir Alex Ferguson (SAF) telah menjadi integral dalam perbincangan mengenai Manchester United (MU) semenjak bergabungnya pada 1986 dari Aberdeen. Pria Skotlandia yang pada masa sebelumnya menjadi pemilik pub ini telah mentransformasi MU menjadi raksasa diantara klub-klub Inggris lainnya. Total 49 trofi telah digondol selama 26,5 tahun SAF berkuasa di Old Trafford, sederetan bintang lapangan, dan kemasyuran digapainya selama itu. 

Tapi sepeninggal SAF dari bench, MU seakan hanya kuda limbung yang disorientasi mana garis finis arena pacu dan mana lorong menuju istal.

Seperti yang dikutip dari pundit kondang cum penggembala domba Pangeran Siahaan, hal yang paling membuat SAF diingat sebagai manajer hebat tak lain adalah kestabilannya (longetivity) berada di papan atas kompetisi dan rutin memboyong trofi lah yang ditawarkannya. 

Taktik SAF tak bisa disebut fantastis nan luar biasa meski di kesempatan yang sama juga haram disebut biasa saja apalagi buruk, tapi tengok lah kembali apa yang paling diingat dari SAF?

Tentu saja hairdryer treatment darinya, atau hobinya menunjuk-nunjuk jam tangan ketika pertandingan mau usai tapi timnya belum menang, atau malah keteguhan hatinya menyingkirkan para bintangnya ketika mengusik pengaruhnya di ruang ganti.

Fragmen-fragmen itu menegaskan beberapa kemiripan gaya kememimpinan rezim SAF dengan Orde Baru. Masa jabatan yang panjang, man management kelas atas, dan ketidakraguan mendepak kaki tangan yang berpotensi mengikis pengaruhnya. Dalam hal menyiapkan pemain untuk laga selanjutnya pun, SAF punya pembisik sendiri dalam diri meneer Ren Meulensteen. 

Tak perlu lah SAF mengotori jemarinya hanya demi menunjuk mana saja pemain yang siap untuk turun tanding, beliau hanya perlu mengambil keputusan akhir taktik secara holistik. Sedangkan untuk latihan sehari-hari, pemimpin latihan lebih diserahkan pada asisten kepercayaannya, Mike Phelan yang konon memegang separuh rahasia tim. Mungkin bila film The Irishman yang mengisahkan para mafia keturunan Irlandia diremake dengan judul The Scottishman, SAF bisa menjadi tokoh yang cocok.

Tapi tak seperti Soeharto yang perlu desakan segenap warganya agar berkenan mengundurkan diri, SAF dengan legowo mengakhiri rezimnya sendiri setelah 1500 laga dalam 26,5 tahun masa jabatannya. Seperti halnya Soeharto yang sempat memperpanjang masa jabatannya sendiri, SAF juga pernah menunda masa pensiunnya sendiri dua kali. 

Pertama kali ketika musim berjalan 2001/2002, SAF kepikiran pensiun setelah MU gagal mempertahan juara dan kalah saing dengan Arsenal dan Liverpool dan kedua kalinya ketika musim 2011/2012 sebelum gol injury time Aguero membuatnya murka dan menunda pensiunnya semusim.

Sebagai seorang kepala kepelatihan jelas seperti halnya Soeharto yang tetap di pucuk dan wakil presiden silih berganti, SAF punya deretan nama asisten selama masa baktinya. 

Mulai dari Archie Knox yang ia boyong dari Aberdeen, Brian Kidd yang membersamai awal karir Class of '92, Carlos Queiroz yang entah bagaimana secara ajaib pernah melatih Real Madrid, hingga The Wally with Brolly Steve McClaren. Semua deputi SAF punya persamaan, gagal naik karir sebagai pelatih jempolan.

Tak membiarkan pengaruh menyaingi suaranya di ruang ganti jelas sudah mejadi mazhab bagi SAF. Ampun bukanlah menjadi opsi ketika ada pemain Paul Ince yang ia bilang saking arogannya "ia bisa berpikir mampu naik ke puncak Everest dengan bertelanjang kaki", jelas opsi hanya menendang Ince yang banyak oleh para pendukung MU kala itu kelewat kejam karena Ince tak lain adalah nafas lini tengah dan penggantinya hanyalah Nicky Butt yang masih begitu muda. 

Tapi bukan SAF kalau tak berurat baja dan bernapaskan otoriterisme, bahkan ketika Ince berkesempatan kembali ke MU setelah kegagalannya di Inter dua musim berselang SAF tak memilih memulangkannya. Hasilnya Ince malah bergabung Liverpool.

Serta yang paling penting adalah romantisasi yang tiada usai baik Orde Baru maupun rezim SAF. Sungguh pun meski sudah disodorkan berbagai hal ini itu, tak sulit menemukan 'simpatisan' romantisme Orde Baru di tiap sisi kehidupan kita beserta tagline ampuhnya, piye kabare, enak jamanku toh?. Begitu pula yang dialami segenap pendukung MU di segala usia dan kalangan, kerinduan akan rezim SAF.

Tak berlebihan bila selama 26,5 tahun itu MU adalah SAF dan SAF adalah MU. Mengusik kenyamanannya bisa berujung disingkirkan, tak peduli ia adalah John Mangier yang kala itu pemegang saham mayoritas hanya gara-gara rebutan kuda pacu. Seperti yang diketahui juga kedatangan Glazer tak menggoyahkan kakinya dari Old Trafford.

Terakhir seperti halnya Indonesia yang bahkan sampai sekarang belum selesai dalam menemukan bentuk stabil terbaiknya selepas bubrahnya Orde Baru, sepeninggal SAF juga kedigdayaan MU seakan ikutan menguap dalam rutinitasnya mengangkat trofi. 

Ini eranya Reformasi di Kabupaten Manchester, sudah saatnya MU move-on dari nostalgianya jika tak mau Cuma berlabel banter club. Ya kalau MU tak kembali digdaya, mungkin benar juga SAF lebih dari MU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun