Mohon tunggu...
Bloor
Bloor Mohon Tunggu... Lainnya - Masih dalam tahap mencoba menulis

Tertarik pada pusaran di sekeliling lapangan sepak bola. Belajar sejarah bukan untuk mencari kambing hitam

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Olimpiade 2020: Kejayaan Para Underdog di Bulutangkis

3 Agustus 2021   20:10 Diperbarui: 3 Agustus 2021   20:30 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momota setelah match poin kekalahannya (AP/Markus Schreiber )

Manusia selalu punya kecenderungan untuk memihakyang lemah ketika si lemah itu sedang berhadapan dengan yang kuat. Mungkin sifat ini sudah naluri di tiap hati nurani manusia, kita seolah rindu dengan fragmen ketika Goliath ditumbangkan oleh David dengan ketapelnya. Belum lagi balutan romantisme yang bakal mengiringinya ketika si lemah ini menang. Dalam ajang olahraga, hal inilah yang paling menarik, bumbu paling sedapnya.

Cabang bulu tangkis sudah berakhir setelah Axelsen menutup rangkaian pertandingan dengan merebut emas dari si empunya lima tahun lalu, Chen Long. Suatu hal yang menarik dicatatkan oleh semua nomor, hanya satu unggulan pertama yang meraih medali emas. Empat sisa medali emas disabet oleh para underdog, bahkan di ganda putra dan ganda putri diraih oleh pasangan non-unggulan.

Tentu tak ada yang lebih mengejutkan dibanding tersingkirnya andalan tuan rumah sekaligus yang sedang bertahta di no satu dunia, Kento Momota. Posisi di pot unggulan jelas menguntungkan, dia hanya segrup dengan pemain yang rangkinya jauh di bawah. Namun apa dikata, Momota yang hampir setahun tak bertanding di berbagai kompetisi ini justru gagal lolos fase grup. Setelah secara tragis dikalahkan Heo Kwanghee dari Korsel.

Tak ada satu pun pengamat bulu tangkis yang memprediksi Momota bakal undur diri secepat itu. Memang sebelumnya sudah ada kasus tiga kali Lee Chong-Wei hanya runner-up, tapi setidaknya Dato' Lee mampu melaju sampai final tiga kali. Entah mungkin tepengaruh atau tidak, setelah itu satu persatu wakil Jepang di bulu tangkis juga pulang dini. Hasil kontingen Jepang bisa dibilang mengecewakan di Olimpiade kali ini.

Momota setelah match poin kekalahannya (AP/Markus Schreiber )
Momota setelah match poin kekalahannya (AP/Markus Schreiber )

Upset selanjutnya tak lain tak bukan berasal dari kontingen Indonesia sendiri. Segenap masyarakat Indonesia pasti menggadang-gadang emas akan mudah saja disumbangkan dari sektor ganda putra. Wajar jika menengok rangking satu dan dua diduduki Minions dan Daddies, tapi sepertinya 2021 dan Olimpiade bukan jodohnya ganda putra Indonesia.

Justru pasangan non-unggulan asal Taiwan, Lee Yang/Wang Chi-Lin yang pulang berkalung medali emas. Dibanding pasangan lain memang harus diakui Lee/Wang sedang on fire di 2021. Sebelumnya Lee/Wang membabat Thailand Open I dan II dan World Toue Finals 2020 yang diadakan secara darurat di 2021. Dalam perjalanan mereka meraih emas, semua unggulan habis dibabat di tangan mereka. Mereka menjadi pesangan pertama di ganda putra non-unggulan yang meraih emas sekaligus penyumbang emas bulu tangkis pertama bagi Taiwan. 2021 adalah tahunnya Lee/Wang.

Cerita tentang yang tak diunggulkan juga melingkupi kontingen Indonesia di ganda putri. Bayangkan saja, pasangan Greysia/Apriyani adalah satu-satunya wakil Indonesia di cabor bulutangkis yang non-unggulan. Gregoria Mariska saja masih ditempatkan di unggulan ke-14 nomor tunggal putri. Tapi nyatanya Greysia/Apriyani mampu merebut juara grup A, mengangkagi unggulan pertama Fukushima/Hirota.

Selanjutkan kita tahu semua, Greysia/Apriyani bermain sangat solid hingga akhirnya menjemput medali emas pertama Greysia setelah tiga kali gelaran Olimpiade. Meski lama berlaga di kancah perbulutangkisan dunia, Greysia bukan sosok pemain yang bergelimang medali dan trofi turnamen mayor. Apriyani adalah partner keempatnya setelah Jo Novita, Melani Jauhari, dan Nitya Maheswari di ganda putri. Sempat akan pensiun setelah cedera menimpa Nitya, Greysia berhasil comeback dengan Apriyani yang terpaut 10 tahun. Perjuangan belasan tahunnya itu berbuah medali emas.

Kalau berbicara perjalanan bak dongeng tentu saja tak ada yang lebih mengharu-biru selain kisah Kevin Cordon. Sebagai cabor yang selalu didominasi oleh para atlet Asia, para wakil dari negara yang kurang populer biasanya hanya jadi pelengkap saja. Namun kali ini Kevin Cordon membuktikan bahwa dari Guatemala bisa ada atlet badminton kelas dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun