Fenomena tingginya jumlah golput dalam Pilkada Serentak kali ini menjadi perhatian berbagai kalangan, mulai dari akademisi, pengamat politik, hingga masyarakat umum. Angka partisipasi yang rendah menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sistem politik dan demokrasi Indonesia. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah golput kali ini merupakan bentuk penolakan masyarakat terhadap proses politik atau hanya disebabkan oleh faktor lain seperti kejenuhan.
Istilah golput pertama kali muncul pada Pemilu 1971, ketika rezim militer Orde Baru mengendalikan dinamika politik nasional. Saat itu, aktivis mahasiswa mengkampanyekan golput sebagai bentuk protes terhadap pembatasan politik dan manipulasi partai politik. Dalam konteks Pilkada Serentak kali ini, kampanye golput tidak sekeras era tersebut. Namun, angka golput tetap tinggi, menimbulkan spekulasi tentang penyebabnya.
Salah satu faktor yang dianggap berkontribusi adalah kejenuhan masyarakat terhadap proses pemilu yang dimulai sejak akhir 2023 dan memuncak pada Pemilu 14 Februari 2024. Proses panjang ini, yang melibatkan kampanye intensif, debat publik, dan pemberitaan media yang terus-menerus, mungkin membuat sebagian masyarakat merasa lelah dan kehilangan minat untuk kembali berpartisipasi di Pilkada.
Di sisi lain, ada juga dugaan bahwa golput merupakan bentuk protes diam-diam terhadap sistem penentuan calon kepala daerah yang terlalu didominasi oleh kepentingan partai politik. Dalam banyak kasus, calon yang diusung sering kali tidak mencerminkan aspirasi masyarakat lokal, melainkan kepentingan elit parpol. Hal ini menciptakan rasa apatis di kalangan pemilih, yang merasa suara mereka tidak memiliki dampak signifikan.
Kenyataan ini diperkuat oleh survei yang menunjukkan bahwa banyak masyarakat tidak merasa terwakili oleh calon-calon yang ada. Mereka menganggap kandidat yang maju tidak memiliki rekam jejak atau visi yang jelas untuk memperbaiki kondisi daerah mereka. Akibatnya, mereka memilih untuk tidak memberikan suara sama sekali daripada mendukung calon yang mereka anggap tidak kompeten.
Selain itu, minimnya kampanye pendidikan politik juga menjadi penyebab utama. Banyak masyarakat, terutama di daerah pedesaan, tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang pentingnya partisipasi dalam pilkada. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya sosialisasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun pemerintah daerah.
Fenomena ini menimbulkan implikasi serius bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Tingginya angka golput menunjukkan bahwa ada jarak yang semakin lebar antara masyarakat dan institusi politik. Jika tidak segera diatasi, hal ini dapat mengancam legitimasi kepala daerah yang terpilih.
Dari sisi akademik, fenomena ini memunculkan urgensi untuk mengkaji kembali Undang-Undang Politik. Salah satu aspek yang perlu diperbaiki adalah mekanisme penentuan calon kepala daerah. Proses ini harus lebih inklusif dan memberikan ruang bagi calon independen atau non-partai untuk maju, sehingga masyarakat memiliki lebih banyak pilihan yang sesuai dengan aspirasi mereka.
Partai politik juga perlu mereformasi diri agar lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan melibatkan masyarakat dalam proses seleksi calon kepala daerah melalui mekanisme yang lebih transparan. Dengan demikian, masyarakat akan merasa memiliki hubungan yang lebih dekat dengan calon yang diusung.
Selain itu, pemerintah dan KPU harus meningkatkan upaya pendidikan politik kepada masyarakat. Kampanye pendidikan ini harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, sehingga masyarakat memahami pentingnya partisipasi politik dan bagaimana suara mereka dapat memengaruhi kebijakan publik.