Di salah satu sudut Kulon Progo, Yogyakarta, setiap sore hari, aroma kuah bakso hangat menyebar dari sebuah gerobak sederhana yang menempel pada motor tua. Di balik gerobak itu, berdirilah Giyar, pria paruh baya yang sejak 2019 mengandalkan usaha Salome, sebutan akrab untuk bakso pentol tusuk kuah, sebagai sumber penghidupannya.
Salome yang dijual Giyar bukan sekadar camilan jalanan. Bagi warga sekitar, dagangan itu adalah bagian dari keseharian, makanan pengisi sore yang murah dan nikmat. Sementara bagi Giyar, gerobak kecil ini adalah bentuk nyata perjuangan dan ketekunan dalam menjaga api semangat sebagai pelaku usaha mikro.
Dari Kalimantan Kembali ke Tanah Kelahiran
Sebelum menetap kembali di Kulon Progo, Giyar sempat merantau ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Di kota itu, ia mencoba peruntungan dengan berjualan bakso keliling, menyusuri gang-gang dan kawasan padat penduduk demi menyambung hidup. Usahanya sempat berjalan, namun kerinduan pada kampung halaman dan rasa tanggung jawab sebagai anak membuatnya mengambil keputusan besar, pulang ke Yogyakarta.
Giyar bersama istrinya ingin merawat orang tuanya yang mulai menua, sekaligus membangun kehidupan mandiri di tanah kelahiran. Dengan tekad itu, ia kembali ke Kulon Progo dan memulai usaha dari nol. Tahun 2019, ia membuka warung bakso dan mie ayam di daerah Wates. Warung tersebut awalnya cukup ramai, namun seiring waktu dan semakin ketatnya persaingan, perlahan pengunjung berkurang. Hingga akhirnya, warung itu harus ditutup.
Namun kegagalan itu tidak mematahkan semangatnya. Giyar beralih strategi. Ia merancang gerobak kecil yang menempel di bagian samping motor, lalu menetapkan satu titik strategis di wilayah Kulon Progo sebagai tempat berjualan. Sejak saat itu, gerobak Salome miliknya menjadi teman setia warga sekitar yang ingin menikmati camilan sore yang lezat dan terjangkau.
Jualan Tetap, Pelanggan Datang
Berbeda dari pedagang keliling lainnya, Giyar memilih berjualan di satu tempat saja. Setiap hari, ia memarkir motornya di titik yang sama, sebuah lokasi ramai di tepi jalan, dekat dengan permukiman, sekolah, dan jalur lalu lintas warga. Lokasi ini sudah ia tempati selama beberapa tahun dan perlahan menjadi bagian dari keseharian warga sekitar.
Ia mulai berjualan pukul 16.00 sore dan biasanya bertahan hingga pukul 21.00 malam. Dalam waktu lima jam itu, Giyar melayani siapa saja yang datang, anak-anak pulang sekolah, pekerja sepulang kerja, hingga remaja yang sekadar nongkrong di sekitar lokasi. Mereka datang bukan hanya karena rasa pentol yang nikmat, tapi juga karena keramahan penjualnya.
Setiap pagi, Giyar tak bekerja sendiri. Ia dibantu oleh istrinya yang menyiapkan bahan utama dagangan. Istrinya menggiling daging, membentuk adonan pentol, dan menyiapkan tahu isi, sementara Giyar fokus menyiapkan kuah dan membereskan gerobak.
Cita rasa kuah yang khas menjadi daya tarik utama tidak hanya itu pentol yang ia racik sendiri, empuk, gurih, dan hangat, selalu disajikan dengan kuah pilihan. Bagi yang suka pedas, tersedia sambal khusus yang siap menggoyang lidah. Selain itu, ia juga menyediakan variasi tusukan seperti bakso isi telur dan tahu isi agar pelanggan punya lebih banyak pilihan. Rasa khas inilah yang membuat pelanggan terus kembali.
Meski tempat jualannya sederhana, suasana akrab selalu tercipta. Di sela menyajikan pesanan, Giyar tak segan mengobrol dengan pelanggan. Ia tahu nama-nama anak kecil yang datang hampir setiap hari, dan hafal kebiasaan para langganan tetapnya. Interaksi inilah yang membuat gerobaknya tidak hanya menjadi tempat membeli makanan, tetapi juga tempat berbagi cerita.
Usaha kecil seperti milik Giyar memang tidak lepas dari tantangan. Salah satu yang paling berat adalah fluktuasi harga bahan baku. Harga daging, bumbu dapur, dan gas elpiji seringkali naik turun tanpa kepastian, sementara ia berusaha keras untuk tetap menjaga harga jual tetap terjangkau bagi pelanggan. Hal ini kerap membuatnya harus pintar-pintar menyesuaikan porsi dan kualitas, agar tetap kompetitif namun tidak merugi.
Selain itu, Giyar juga belum memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan usahanya. Ia belum mendaftarkan dagangannya di layanan pesan antar online seperti GoFood atau GrabFood. Semua masih berjalan secara konvensional. Ia tahu peluang itu ada, namun keterbatasan perangkat, waktu, dan kemampuan teknis membuatnya belum sempat menjajaki pasar digital. Ia pun masih mengandalkan promosi dari mulut ke mulut.
"Saya tahu sekarang zamannya online, tapi belum sempat ngurus. HP juga biasa aja, jadi masih promosi dari mulut ke mulut," kata Giyar.
Namun Kini, usaha Giyar juga mulai menunjukkan perkembangan yang membanggakan. Selain berjualan setiap sore, ia juga mulai menerima pesanan dalam jumlah besar untuk berbagai acara, seperti pengajian, hajatan keluarga, hingga pesta pernikahan. Pesanan itu datang dari pelanggan tetap yang puas dengan rasa baksonya, lalu merekomendasikannya ke keluarga atau tetangga.
"Kalau ada acara besar, biasanya mereka pesan duluan. Kadang sampai puluhan tusuk, saya siapkan dari pagi bareng istri," ujar Giyar sambil tersenyum.
Permintaan semacam ini menjadi penambah semangat tersendiri baginya. Meski gerobaknya kecil dan cara jualannya masih sederhana, usaha yang ia tekuni ternyata mampu menjangkau lebih banyak orang dan kepercayaan pelanggan pun makin tumbuh.
Usaha yang dijalankan Giyar adalah potret nyata dari semangat UMKM Indonesia, khususnya di wilayah Kulon Progo. Ia bukan bagian dari industri besar, tetapi usahanya menjadi bagian penting dalam perputaran ekonomi rakyat. Dari gerobak yang sederhana, ia mampu menghidupi keluarganya, menyekolahkan anak-anak, dan membangun relasi sosial dengan masyarakat sekitar.
"Selama masih kuat berdiri dan motor ini masih bisa jalan, saya akan terus jualan. Tantangan itu pasti ada, tapi selama kita mau usaha, pasti ada jalan," ujarnya mantap.
Kisah Giyar adalah kisah ribuan pelaku UMKM lainnya, bertahan dalam keterbatasan, tumbuh dalam kesederhanaan. Dan di balik setiap tusuk Salome yang dijualnya, tersembunyi kerja keras, ketulusan, dan harapan untuk hari esok yang lebih baik. Dalam keterbatasan itu pula, tercermin kekuatan sejati dari sektor informal yang justru menjadi penopang ekonomi nasional di saat krisis.
Giyar mungkin hanya satu dari sekian banyak pedagang kecil di Jogja, namun kisahnya menyimpan pelajaran besar tentang ketekunan, adaptasi, dan ketulusan dalam bekerja.