Mohon tunggu...
Renaldy Satio
Renaldy Satio Mohon Tunggu... Founder TBT English / Guru TBT English / Koordinator International Exam Preparation

A lifetime student who has been devoting his time and passion to learn and teach others. He believes that learning and teaching should be viewed as a process instead of goals and progress instead of scores

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Dunia Emosi di Dalam Diri (Terinspirasi dari Inside Out)

16 Oktober 2025   10:06 Diperbarui: 16 Oktober 2025   10:06 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karakter Inside out - Sumber: theknowfresno

Ketika kita masih kecil, dunia emosi kita sederhana. Kita mengenal lima rasa dasar: bahagia, sedih, marah, takut, dan jijik. Emosi-emosi ini bekerja seperti warna primer yang mewarnai pengalaman pertama kita tentang dunia. Seorang anak bisa menangis karena kehilangan mainan, tertawa karena es krim, atau menjerit karena suara petir. Dunia emosinya belum rumit, belum ada nuansa seperti rasa bersalah, malu, iri, atau cemas. Namun seiring bertambahnya usia, dunia dalam diri kita menjadi lebih kompleks---dan jumlah emosi yang kita miliki ikut bertambah.

Mengapa demikian? Karena setiap tahap kehidupan membawa pengalaman baru, dan setiap pengalaman menumbuhkan emosi baru. Ketika anak mulai tumbuh menjadi remaja, ia mulai mengenal hal-hal yang lebih abstrak: ekspektasi, hubungan sosial, nilai diri, dan pandangan orang lain tentangnya. Dari sinilah muncul emosi seperti malu, iri, khawatir, kecewa, bangga, dan rindu. Semakin luas dunia luar yang kita kenal, semakin dalam pula dunia batin kita terbentuk, tentu saja akan ada tambahan emosi baru saat kita berada fasa kehidupan selanjutnya.

Namun, pertumbuhan ini bukan sekadar penambahan warna---melainkan pembentukan keseimbangan. Tidak ada emosi yang sepenuhnya baik atau buruk. Marah bisa membuat kita berani membela diri, tetapi juga bisa melukai jika tidak dikendalikan. Sedih membantu kita memahami kehilangan dan empati, tetapi bisa menjadi beban jika dibiarkan berlarut. Takut melindungi kita dari bahaya, tapi juga bisa membatasi langkah kita jika terlalu besar. Emosi-emosi itu bekerja seperti anggota tim---masing-masing punya peran, dan semua penting bagi pertumbuhan kita sebagai manusia yang utuh.

Sayangnya, di tengah dunia modern yang serba cepat dan serba layar, banyak orang belajar untuk menekan sebagian emosi mereka. Seorang anak bisa merasa bahagia hanya ketika bermain gadget, dan menganggap emosi lain seperti bosan, cemas, atau kecewa sebagai hal yang harus dihindari. Satu hal yang paling kurasakan secara umum terjadi pada murid2ku sekarang adalah, bagaimana mereka menggunakan candaan dan rasa santai untuk menekan pertumbuhan emosi yang lain. Mudahnya berkata yang tidak baik kepada teman-temannya karena diselimuti dengan candaan (dan seringkali juga, mereka tidak tahu batasan dari candaan tersebut), termasuk ketidakseriusan dalam belajar dimana aku tidak meminta lama dari waktu mereka untuk bisa serius. Padahal, dengan menolak sebagian emosi itu, ia kehilangan kesempatan untuk memahami dirinya sendiri. Kebahagiaan yang diambil dari layar, candaan, ketidakseriusan mungkin instan, tapi dangkal; ia menutup ruang bagi rasa ingin tahu, empati, dan refleksi yang sebenarnya membentuk kebahagiaan yang lebih dalam.

Kita diajarkan untuk mengolah, bukan menyingkirkan emosi. Mengolah berarti memberi tempat bagi semua perasaan---mengenalinya, memahaminya, dan belajar dari setiap pengalaman yang dibawanya. Dalam hidup yang penuh warna ini, kebijaksanaan tidak lahir dari satu emosi yang dominan, melainkan dari kemampuan untuk mendengarkan semuanya, bahkan yang tidak nyaman sekalipun.

Karena pada akhirnya, menjadi manusia berarti memberi ruang bagi seluruh emosi untuk hidup berdampingan---marah yang bijak, sedih yang lembut, bahagia yang tulus, dan takut yang sadar. Dunia batin kita tumbuh bukan karena kita menghapus rasa tertentu, tetapi karena kita belajar berjalan bersama semuanya, dengan hati yang semakin luas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun