Tak kan tergoyahkan lagi
Oleh empat angin duniawi.
Lalu ia menitipkan perkamen itu kepada pelayan pengantar pasokan, untuk diserahkan pada kepala biara.
***
Minggu berikut, pelayan kembali datang, dan menyerahkan perkamen itu padanya.
"Dari Kepala Biara" kata pelayan itu.
Pertapa muda segera membuka perkamen.
Wajahnya pucat, matanya terbelalak bagai bulan purnama.
Bagaimana tidak, itu adalah perkamen karyanya, yang ditulis dengan kaligrafi yang seindah mungkin. Namun dengan seenak udelnya Kepala Biara menuliskan kata 'Kentut' di setiap akhir bait puisinya. Dengan tinta merah pula !
Dalam kegeramannya pertapa muda itu berkata kepada pelayan "Antarkan aku ke kepala biara sekarang juga"!!!!!
Untuk pertama kalinya, selama tiga tahun terakhir pertapa muda itu meninggalkan 'pulaunya'.