Mohon tunggu...
Revisa AyundaPutri
Revisa AyundaPutri Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa Fakultas Hukum yang sering melakukan kajian dan penelitian terhadap isu sosial politik dan menganalisis produk Hukum atau fenomena Hukum lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Unsur "Moord" dalam Tindak Pidana Studi Kasus Putusan 1474.B/Pid.B/2019/Pn.Dps

30 Desember 2022   19:36 Diperbarui: 30 Desember 2022   19:42 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Equality before the law menjadi salah satu asas yang seharusnya dilakukan dalam setiap proses peradilan. Hal tersebut merupakan bukti bahwa hukum tidak memandang sebelah mata seorang individu baik ia sebagai tersangka ataupun korban, hukum harus mendengar dan memberikan hak yang setara antara kedua belah pihak. Hal tersebut pun ada dan lahir untuk menjamin hak asasi manusia (“HAM”) setiap subjek hukum. 

Negara pun memiliki tanggung jawab untuk menjalankan setiap alur beracara yang sesuai dengan asas-asas hukum acara dan prinsip HAM yang mana hal ini ditugaskan kepada para aparat penegak hukum (“APH”) untuk mereka bisa menegakan hukum sebagaimana mestinya. Aparat penegak hukum di sini ialah setiap organ yang melakukan penanganan perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai memutuskan suatu perkara.

Utamanya dalam hal ini ialah diperlukan hakim yang bijaksana dan mengerti hukum secara keseluruhan sesuai dengan bunyi adagium ius curia novit yang berarti seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga putusan hakim haruslah berdasarkan pengetahuan paling baik dari hakim tersebut. 

Selain itu, hakim haruslah bersifat bebas aktif dalam memutus suatu perkara, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yaitu “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan” Pasal ini eksplisit menyebutkan bahwa hakim tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun karena hakim harus mandiri dalam membuat suatu keputusan.


Akan tetapi dalam praktiknya seringkali kasus yang rumit maka membutuhkan pembuktian dan analisa yang rumit pula baik bagi penyidik, jaksa, ataupun hakim. Hal ini lah yang akhirnya membuat beberapa putusan pengadilan baik di tingkat pertama, banding, kasasi, atau peninjauan kembali terjadi kesalahan yang mengakibatkan tidak tepatnya hakim dalam memutus perkara. 

Seperti contohnya dalam delik pidana mengenai pembunuhan berencana yang didakwakan kepada terdakwa, padahal seluruh bukti menunjukan bahwa pembunuhan tersebut bukan pembunuhan berencana akan tetapi pada akhirnya majelis hakim tetap memutuskan kasus tersebut sebagai pembunuhan berencana. 

Begitu pula sebaliknya, kasus yang didakwakan pembunuhan berencana dengan seluruh bukti menguatkan dakwaan, akan tetapi hakim justru memutus terdakwa dengan pembunuhan biasa.

Hal serupa terjadi pula pada Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1474/Pid.B/2019/PN dengan terdakwa yaitu Rudianto dan korban bernama Halimah yang dalam hal ini juga berstatus sebagai istri terdakwa. Kasus ini bermula pada terdakwa yang menduga bahwa Halimah telah berselingkuh dengan seorang laki-laki bernama Wawan yang mana hal tersebut diperkuat dengan bukti percakapan antara Halimah dengan Wawan yang menunjukan adanya hubungan asmara di antara kedunya. 

Hal tersebut tentunya membuat Rudianto marah dan berencana untuk membunuh Wawan, rencana tersebut diawali dengan tindakan Rudianto yang membeli pisau di Pasar Kembang Surabaya, Jawa Timur. Setelah itu, Rudianto berniat untuk menemui Wawan dengan membawa pisau tersebut ke Bali yang mana saat itu istrinya memang sedang tinggal di Bali begitu pula dengan Wawan yang menyewa kos di Bali. Saat tiba di Bali, Rudianto langsung menemui Halimah terlebih dahulu untuk menanyakan tempat kos dari Wawan, akan tetapi Halimah justru meminta uang kepada Rudianto dengan memaksa Rudianto memberikan dompetnya. Dompet tersebut pun diberikan kepada Halimah dengan isi uang di dalamnya sebesar Rp 1.700.000,00, setelah mendapatkan uang tersebut Halimah mengembalikan dompet Rudianto dan berkata “Sudahlah jangan urusin saya” lalu Rudianto menjawab “Jangan begitu kamu, saya cuman tanya di mana tempat kos kamu sekarang, kalau sudah punya suami bilang terus terang” Lalu Halimah kembali menjawab “Suami suami matamu” Karena Halimah yang terus menyangkal akhirnya Rudianto menunjukan bukti perselingkuhan antara Halimah dan Wawan yang ada di dalam percakapan, lalu Rudianto kembali bertanya “Di mana Wawan?” Halimah tidak menjawab dan justru mengusir Rudianto dengan berkata “Sudah-sudah kamu pulang saja tidak usah mengurusi saya” 

Hal ini tentu membuat Rudianto marah dan kesal karena Halimah justru emosi, mengusir dia, dan tidak memberi tahu di mana kediaman Wawan, akhirnya karena Rudianto tersulut emosi ia mengeluarkan pisau yang telah ia bawa lalu menusukanya ke dada Halimah, perut dan punggung Halimah sampai Halimah meninggal setelah itu ia menendang kepala Halimah.


Kasus ini didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan alternatif yang mana dakwaan primair menggunakan Pasal 340 KUHP, dakwaan subsider Pasal 338 KUHP, dan dakwaan subsider bertingkat Pasal 351 ayat (3). Dalam putusannya, majelis hakim pun mengabulkan gugatan primair JPU yaitu Pasal 340 KUHP dengan hukuman penjara selama 16 tahun. Dari putusan yang dijatuhkan tersebut pasal yang dikabulkan oleh majelis hakim dirasa tidak tepat sebab pasal yang digunakan ialah pasal pembunuhan berencana sedangkan seluruh bukti menunjukan bahwa tindakan terdakwa ialah pembunuhan biasa. Tentu saja dalam hal ini akan merugikan terdakwa padahal seharusnya hakim bisa mempertimbangkan seluruh bukti dan saksi guna mendakwa terdakwa menggunakan Pasal 338 KUHP.


Tulisan ini akan memberikan analisa terkait penggunaan Pasal 340 KUHP dan 338 KUHP beserta unsur-unsurnya. Selain itu, penulis akan memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan berencana dan bagaimana suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang berencana. Terakhir, penulis akan memberikan kritik terhadap putusan hakim yang telah dijatuhkan karena putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan bukti petunjuk serta keterangan-keterangan yang telah diberikan.

Salah satu jenis tindak pidana dengan hukuman berat yang ada di dalam KUHP ialah tindak pidana pembunuhan. Di dalam KUHP pula, terdapat dua jenis tindak pidana pembunuhan, yaitu tindak pidana pembunuhan pokok dan tindak pidana pembunuhan berencana. Tindak pidana pembunuhan berencana merupakan bentuk peningkatan pemberat di dalam delik tindak pidana pembunuhan yang ditujukan untuk menunjukan peningkatan keseriusan pelanggarannya serta peningkatan tingkatan moral yang harus dipertanggungjawabkannya. Selain untuk menunjukkan tingkat keseriusan kejahatan yang lebih tinggi, pelaku kejahatan pembunuhan berencana harus diperlakukan lebih bersalah dibanding dengan tindak pidana pembunuhan biasa sebab pembunuhan berencana telah dianggap sebagai pembunuh berdarah dingin yang berbeda dengan pembunuh karena tekanan emosional batin sesaat. Hal tersebut mempertegas bahwa pembunuh berencana memiliki tingkat kebahayaan yang jauh lebih tinggi pula dibandingkan dengan pembunuh biasa.


Untuk tindak pidana pembunuhan pokok diatur dalam Pasal 338 KUHP yang mana pasal tersebut mengatur tindakan yang dilarang ialah menghilangkan nyawa seseorang. Pasal 338 KUHP sendiri berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, yang diancam dengan maksimum hukuman lima belas tahun penjara” Unsur yang dianut dalam pasal ini merupakan tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga pasal ini harus merupakan jelis delik materiil yang mana pasal ini sempurna ketika ada akibat mati dari orang yang menjadi target. Sehingga, orang tidak dapat dikenakan delik pembunuhan apabila belum ada akibat meninggalnya orang lain yang hendak dibunuh.
Tindak pidana pembunuhan ini pun dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leven) sebab hal yang dilindungi oleh hukum dan diserang oleh sang pelaku ialah nyawa dari orang lain. Sehingga seluruh pasal mengenai pembunuhan selalu memiliki unsur menghilangkan nyawa orang lain dan dilakukan dengan sengaja. Maka dalam mendakwakan pasal pembunuhan, JPU harus bisa membuktikan kedua unsur tersebut terpenuhi. Akan tetapi apabila diperinci kembali sejatinya terdapat pasal mengenai pembunuhan yang menambahkan beberapa unsur tertentu sebagai pemberat dalam mendakwakan tersangka. Contoh dari delik dikualifisir ialah Pasal 339 KUHP yang menambahkan unsur diikuti, disertai, atau didahului oleh tindak pidana lain, lebih lengkapnya pasal tersebut berbunyi:
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana lain, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum, dengan pidana penjara seumur hidup atau sementara waktu, paling lama 20 tahun.
Apabila diperinci, maka unsur diikuti, disertai, atau didahului oleh tindak pidana lain ini ada untuk menambah beban hukuman pelaku yang melakukan pembunuhan dengan tujuan untuk mempersiapkan tindak pidana lain, untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain, untuk menghindarkan diri maupun pelaku lainnya dari pidana, atau untuk memastikan bahwa penguasaan atas suatu barang yang ia peroleh dengan melawan hukum. Akan tetapi, apabila seorang melakukan pembunuhan dengan rencana awal ingin melakukan tindak pidana yang lain akan tetapi ternyata ia tidak sempat atau tidak bisa melakukan tindak pidana yang lain tersebut maka ia tidak bisa dikenakan Pasal 339 KUHP ini sebab unsur diikuti, disertai, atau didahului oleh tindak pidana lain tidak terpenuhi secara actus reus maka ia hanya bisa didakwa menggunakan Pasal 338 KUHP saja.


Selanjutnya ialah tindakan pembunuhan berencana yang dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.seluruhnya
Dari bunyi pasal tersebut sudah jelas terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi  supaya tindakan tersebut sempurna untuk dikategorikan sebagai pembunuhan berencana, yaitu dimulai dengan unsur subjektifnya yaitu dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu. Selanjutnya untuk unsur objektifnya dari pasal ini ialah merampas nyawa dengan objek nyawa orang lain dan dilakukan dengan direncanakan  terlebih dahulu (direncanakan). Dalam menentukan apakah pembunuhan berencana ini dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku yang pertama ialah memutuskan kehendak dalam suasana tenang. Maksud dari memutuskan kehendak dalam suasana tenang ialah ia merencanakan membunuh seseorang tidak secara mendadak atau ia memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan segala skenario, cara membunuh, alat apa yang ia gunakan untuk membunuh, serta bagaimana ia bisa lari dari tindakannya tersebut setelah ia berhasil membunuh targetnya. Hal tersebut perlu dibuktikan sebab pembunuhan yang dilakukan sebab seringkali akhirnya kondisi emosional sesaat justru diartikan sebagai tindakan perencanaan, padahal perlu kondisi emosional dan kondisi tenang sangat lah berbeda secara psikologis sehingga dalam hal ini baik penyidik, JPU, serta hakim harus bisa mencari fakta yang benar sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya.
Selain berpikir dengan tenang mengenai bagaimana kejahatan itu akan ia lakukan, pelaku juga harus memperhitungkan makna dan akibat perbuatannya dalam suatu kejiwaan yang memungkinkan ia untuk berpikir. Apabila ia melakukan suatu hal yang ia rencanakan tetapi rencana tersebut bukan untuk membunuh, seperti contohnya ialah rencana tersebut ia lakukan untuk meracuni targetnya, akan tetapi karena ia tidak mengetahui kondisi kesehatan dan pelakunya dan ternyata racun tersebut justru memperburuk keadaan si korban dan membuat korban meninggal, maka ia tidak bisa dijatuhi pasal pembunuhan berencana. Sebab sedari ia memiliki mens rea untuk melakukan kejahatan, niat yang ia miliki bukanlah niat untuk membunuh tetapi niat untuk membuat orang tersebut pingsan saja, akan tetapi karena hal-hal yang diluar kuasa dia ternyata racun tersebut membuat korban meninggal sehingga dalam hal ini unsur niat membunuh tidak terpenuhi karena memang pada dasarnya berdasarkan niat korban memang bukanlah membunuh.
Frasa direncanakan dalam waktu yang tenang ini pun masih menjadi perdebatan antara ahli hukum satu dengan yang lainnya. Terdapat ahli hukum yang mendefinisikan waktu tertentu tersebut berdasarkan berapa lama ia memutuskan untuk membunuh seseorang, jangan terlalu lama dan jangan terlalu singkat. Ada juga ahli hukum yang berpendapat bahwa ketentuan mengenai berapa lama waktu itu tidak bisa menjadi patokan, yang terpenting ialah saat seseorang memikirkan akan membunuh dengan tindakannya terdapat jangka waktu yang mana saat itu ia bisa berpikir dengan tenang mengenai niatnya tersebut, bahkan dengan waktu tersebut ia bisa saja menggagalkan aksinya tetapi pada akhirnya tetap melakukannya.


Pendapat selanjutnya ialah menurut Chazawi yang menyebutkan bahwa tidak perlu dihitung berapa lama tindakan tersebut dilakukan setelah ia berpikir tetapi yang terpenting justru keadaan pada saat kejadian. Perlu dilihat dan dianalisis bagaimana keadaan yang terjadi saat kejadian berlangsung apakah ada hal-hal yang membuat pelaku akhirnya jadi untuk melakukan aksinya padahal ia aslinya tidak ingin membunuh orang tersebut atau memang tidak ada hal yang bisa memancing pelaku membunuh tetapi pelaku tersebut akhirnya membunuh berdasarkan niat yang sudah ada sebelumnya. Lamanya waktu tidak bisa menjadi validasi apakah orang tersebut berencana atau tidak yang terpenting ialah proses berpikir atas perbuatan yang akan ia lakukan.
Selanjutnya ialah mengenai suasana batin seseorang yang akan melakukan pembunuhan berencana dengan pembunuhan biasa tentu saja berbeda. Orang yang melakukan pembunuhan berencana dapat melaksanakan aksinya dengan tenang sebab ia telah memikirkan serta memperhitungkan hal-hal yang bisa membantu dia untuk membunuh seperti skenario saat membunuh atau pasca membunuh. Hal ini berbeda dengan seseorang yang membunuh orang lain tanpa adanya unsur berencana, seringkali mereka spontan membunuh seseorang karena ada tekanan secara emosional dan psikologis yaitu emosi, rasa amarah, tergesa-gesa, rasa takut yang berlebihan sehingga ia tidak bisa mengontrol tindakannya sendiri. Hal ini perlu dibuktikan dengan tepat di dalam pengadilan jangan sampai hanya karena salah dalam menilai kondisi emosional pelaku, tidak bisa mengidentifikasi suasana yang terjadi disaat kejadian, atau justru perubahan niat malah membuat pelaku diduga melakukan pembunuhan berencana.
Berdasarkan berbagai macam pendapat tersebut maka dapat disimpulkan dua poin untuk menentukan seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan yang terencana. Pertama, ia bisa berpikir dan menimbang atas tindakannya dengan waktu yang cukup hingga akhirnya pertimbangan tersebut menghasilkan keputusan akhir bahwa ia memang benar-benar akan membunuh dengan cara yang telah ia siapkan ketika ia berpikir. Kedua, ia telah harus memikirkan dan mengetahui dengan matang konsekuensi yang terjadi dari tindakannya tersebut, jangan sampai ternyata apa yang ia pikirkan berbeda dengan akibat nyata yang terjadi atas tindakan tersebut. Dengan begitu, harus ada keterkaitan antara tindakan tersebut dengan kemungkinan seorang mati karena tindakannya.
Dari syarat yang telah ada di atas, terdapat hal yang harus dipertegas mengenai sampai tahap mana suatu tindakan dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan Pasal 340 KUHP apakah ketika seseorang tersebut memiliki niat, apakah saat mempersiapkan niatnya, apakah saat suatu anggota tubuh digerakan, ataukah saat pelaku sudah melakukan tindakannya. Tentu saja hal ini harus diterapkan sebagaimana mestinya hukum pidana tidak boleh menghukum berdasarkan niat tetapi harus berdasarkan atas suatu tindakan sehingga yang dapat dimintai pertanggungjawaban ialah ketika orang tersebut telah melaksanakan niatnya dengan melakukan tindak pidana yang telah ia rencanakan.

Analisis Putusan 1474/Pid.B/2019/PN.Dps Terhadap Teori yang Telah Diuraikan

Apabila kita berkaca pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka pada Pasal 50 disebutkan bahwa:
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan sebagai sumber untuk mengadili.
Oleh sebab itu, seharusnya hakim dalam perkara ini seharusnya bisa menilai fakta yang ada dengan lebih bijak lagi sebab penulis merasa putusan yang diberikan oleh hakim masih kurang tepat apabila disesuaikan kembali dengan teori yang sudah disebutkan pada poin sebelumnya. Sebab pasal yang dijatuhkan pada terdakwa tidak sesuai dengan fakta hukum, kronologi, serta barang bukti yang ada. Putusan yang diberikan oleh Hakim terhadap Rudianto dirasa tidak tepat. Pada putusan tersebut, Rudianto diputus melakukan tindak pidana pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP dengan hukuman penjara selama 16 tahun.
Apabila kita melihat kembali kronologi dalam perkara tersebut, Rudianto tidak memiliki niat untuk membunuh Halimah, tetapi ia berniat untuk membunuh wawan sebab Wawan telah menjadi selingkuhan Halimah, apabila yang menjadi korban dalam kasus ini ialah Wawan maka tepat pasal ini digunakan sebab memang benar adanya Rudianto berniat untuk membunuh Wawan. Akan tetapi, pada faktanya yang menjadi korban dalam kasus ini ialah Halimah, istri dari pelaku sendiri, padahal Rudianto tidak mempersiapkan niatnya untuk membunuh Halimah. Rudianto membunuh Halimah karena ia merasa kesal dengan perilaku Halimah yang justru mengusir Rudianto setelah Halimah mengambil uang milik Rudianto. Rudianto merasa ditipu sebab sebelumnya Halimah berjanji akan memberi tahu alamat Wawan setelah Rudianto memberi Halimah uang, tetapi kenyataannya Rudianto justru diusir oleh istrinya sendiri. Halimah juga menunjukkan sikap dan perkataan yang kurang baik padahal Rudianto telah menuruti segala keinginan Halimah. Tentu saja hal ini membuat emosi rudianto semakin meningkat karena ia merasa ditipu dan merasa istrinya tidak mengindahkan kehadirannya. Karena emosi yang naik tersebut Rudianto pun membunuh Halimah menggunakan pisau yang akan ia gunakan untuk membunuh Wawan. Pada tindakan ini Rudianto telah menggugurkan niatnya untuk membunuh wawan dan secara impulsif ia justru membunuh Halimah dengan emosi. Emosi ini dapat terlihat dengan bagaimana cara ia membunuh Halimah yaitu menusukan pisau tersebut berkali-kali ke beberapa bagian tubuh Halimah dan menendang kepala Halimah. Apabila ia memang sudah berencana untuk membunuh Halimah, ia tidak akan menunjukan cara membunuh yang penuh emosi dan penuh amarah sebab yang terpenting ialah Halimah sudah mati.


Selain itu, hakim dirasa gagal menginterpretasikan niat untuk berencana membunuh. Dalam kasus ini rencana yang dibuat oleh Rudianto bukan lah rencana untuk membunuh Halimah,  tetapi untuk Wawan. Dalam hal ia membunuh Halimah ia dalam keadaan tidak stabil secara emosional sehingga ia tidak bisa berpikir secara jernih untuk mengendalikan emosinya sendiri, hal ini didukung dengan Rudianto yang telah memiliki alat untuk membunuh tersebut sehingga ia semakin terdorong secara emosional untuk membunuh Halimah. Hal ini diperkuat dengan Rudianto yang hanya merubah niatnya dalam hitungan detik yang dari awal berniat membunuh Wawan menjadi membunuh Halimah. Pada bagian ini, Rudianto secara emosional telah menggugurkan niatnya untuk membunuh objek awalnya. Halimah di sini pun tidak dapat dijadikan sebagai objek pembunuhan berencana karena memang sejak awal Rudianto tidak pernah menjadikan Halimah sebagai objek dari tindakannya. Halimah dalam hal ini telah menjadi objek dari tindak pidana baru yaitu pembunuhan dengan Pasal yang sepatutnya didakwakan ialah Pasal 338 KUHP.
Apabila benar Rudianto ingin membunuh Halimah dengan rencana maka ia akan memiliki niatan untuk kabur dan tidak kembali lagi karena ia pasti ingin terhindar dari proses hukum karena pasti ia sadar bahwa apa yang ia lakukan ialah tindak pidana, akan tetapi sesuai dengan keterangan saksi yaitu Bapak Robi Hartono, Rudianto memang awalnya ingin melarikan diri tetapi ia justru berbalik arah dan kembali ke tempat Halimah meninggal lalu menendang kepala Halimah, padahal ia tau perbuatan yang ia lakukan telah diketahui oleh warga sebab memang dari awal warga menyaksikan percekcokan tersebut. Akan tetapi, Rudianto justru tidak bisa mengendalikan emosinya dan kembali menendang kepala Halimah padahal ia tau ia pasti akan ditangkap ketika ia kembali lagi. Hal ini tidak akan dilakukan oleh seseorang yang membunuh karena rencana karena ia pasti tidak memedulikan emosi tersebut dan memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri supaya ia tidak ditangkap oleh para warga.
Memang benar berdasarkan keterangan terdakwa, bukti, dan hasil dari visum et repertum menunjukan bahwa terdakwa lah yang membunuh korban, akan tetapi hal tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Akan tetapi, hakim seharusnya bisa menganalisis kembali bagaimana emosi Rudianto dan keadaan korban saat meninggal. Emosi Rudianto dapat diibaratkan seperti orang yang telah menerima janji akan mendapatkan emas tetapi ia harus memberi uangnya terlebih dahulu lalu ternyata orang yang berjanji memberikannya makanan tersebut justru mengusir si pemberi uang. Tidak ada orang yang tidak emosi dan marah setelah ia ditipu, dibuang, dan dianggap tidak ada. Sehingga kembali lagi dapat disimpulkan bahwa hakim telah cacat dalam menilai fakta, bukti, hasil visum, dan seluruh keterangan terdakwa yang mengarahkan pada pembunuhan biasa dan bukan pembunuhan berencana.

Hukum seharusnya memang menggunakan alat interpretasi kondisi yang paling tepat. Hal tersebut bertujuan supaya hukum tidak bisa melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan fakta dan keadaannya. Pada dasarnya segala jenis kejahatan memang harus dihukum, tetapi perlu dipertimbangkan lagi bahwa terdapat prinsip keadilan dan kehati-hatian sebelum hakim memutuskan suatu perkara. Oleh sebab itu, diperlukan interpretasi yang tepat berdasarkan setiap unsur pasal yang ada di peraturan perundang-undangan.
Tulisan ini telah menganalisis unsur dua pasal yang terus menjadi perdebatan yaitu unsur Pasal 398 KUHP dan 340 KUHP. Kedua kejahatan ini memang sulit untuk dibedakan apabila keadaannya memang sekompleks dan serumit itu. Akan tetapi  ini memang sudah menjadi tugas majelis hakim untuk menggunakan pengetahuan hukumnya untuk menentukan pasal manakah yang tepat untuk digunakan. Unsur Pasal 340 KUHP yang menjadi perdebatan ialah mengenai apa itu rencana dan sejauh mana rencana bisa diartikan oleh para APH. Sejatinya unsur tersebut pun tetap harus memiliki unsur-unsur turunan lagi supaya tidak terjadi salah penginterpretasian unsur.
Unsur dengan rencana sulit untuk dianalisis sebab sangat rancu antara dengan rencana atau tindakan tidak terduga karena emosi semata yang kebetulan didukung dengan adanya barang-barang yang bisa membantu si pelaku membunuh korban. Seperti pada kasus yang dijelaskan penulis, pelaku secara jelas mengakui tindakan pembunuhan yang dilakukan kepada korban tetapi tindakan tersebut dilakukan bukan karena pelaku berencana tetapi karena pelaku marah dan didukung dengan niat awal pelaku yang ingin membunuh objek lain sehingga pelaku memiliki senjata yang memang sudah dipersiapkan. Majelis hakim perlu melihat lagi apakah dari bukti, saksi, keterangan terdakwa tersebut terdapat kemungkinan untuk pelaku berpikir dengan jernih untuk merencanakan pembunuhan, yang ada ialah pelaku hanya tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri. Hal ini pun tidak luput dilatarbelakangi dengan tindakan korban yang membuat pelaku marah sehingga pelaku melakukan tindakan-tindakan impulsif.
Putusan ini pada akhirnya menghukum terdakwa dengan Pasal 340 KUHP yang merupakan pasal pembunuhan berencana. Tetapi penulis merasa Pasal yang seharusnya dijatuhkan kepada pelaku ialah Pasal 398 KUHP mengingat seluruh keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan bukti yang mengarahkan tindakan tersebut pada pembunuhan biasa bukan pembunuhan berencana. Majelis hakim harus lebih cermat lagi dalam menentukan akan menggunakan pasal yang mana dalam memutus setiap perkara sebab putusan hakim lah yang akan menjadi tahap final dari setiap perkara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun