Mohon tunggu...
Revinna cristyasokawati
Revinna cristyasokawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Don't Expect More

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Supremasi Hukum dan Etika Pers Dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual terhadap Anak di Media Massa

18 Juni 2021   19:04 Diperbarui: 18 Juni 2021   19:15 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Maraknya kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu permasalahan utama bagi keadilan sosial dan hak asasi manusia. Hal tersebut juga secara tidak langsung menjadi bukti yang menunjukkan kurangnya penanganan terhadap permasalahan advokasi untuk hak asasi manusia dan supremasi hukum di seluruh dunia termasuk Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dan untuk membentuk kembali fungsi pemerintahan dan hukum dalam masyarakat berkembang, diperlukan juga partisipasi pihak-pihak terkait selain penegak hukum, seperti masyarakat dan juga pers. Media massa sebagai bagian dari pers diketahui memiliki peran besar dalam penegakan hukum dan sosial didalamnya (Zulham, 2012). Dan dari hal tersebut, penulis berpandangan bahwa benar pers merupakan bagian besar dalam upaya penegakan hukum. Namun di sisi lain, tidak menutup kemungkinan bahwa pers juga dapat menjadi pelanggar dalam penegakan hukum itu sendiri.

Pada semester pertama 2020, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa terdapat kasus kekerasan seksual pada anak sejumlah 1.848 kasus, 60 persen dari jumlah keseluruhan kasus kekerasan terhadap anak pada periode tersebut (Kemenpppa, 2020). Jumlah tersebut tentunya bukan sebuah jumlah yang kecil. Dan hal ini semakin menambah deretan alasan mengapa supremasi hukum tentang tindak kekerasan terhadap anak di Indonesia masih lemah.

Pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang sering terjadi di lingkungan masyarakat ini tentu juga menjadi berita yang perlu untuk diliput oleh media massa baik berupa media cetak maupun media online. Namun biasanya media online menjadi media yang paling cepat dalam melakukan pemberitaan karena tidak adanya keterbatasan ruang, waktu, dan media. Dan dalam pemberitaan tersebut, media massa sebagai salah satu bagian dari jurnalistik khususnya jurnalistik di Indonesia memiliki sebuah kode etik yang bersifat mengikat. Dimana kode-kode etik ini harus dipenuhi dan diterapkan dalam setiap proses yang melibatkan jurnalistik didalamnya (Afridah, 2014).

Beberapa pendapat mengutarakan bahwa apabila kekerasan seksual diberitakan, maka korban akan menjadi korban untuk kedua kalinya. Namun, kasus pemberitaan mengenai kekerasan seksual saat ini masih marak diberitakan dengan cara yang tidak sesuai. Dan pemberitaan semacam itu menunjukkan bahwa media belum melakukan fungsinya secara tepat sebagai salah satu bagian dalam penegakan hukum. Pernyataan ini juga didukung oleh pendapat dewan pers dalam Konvensi Media Massa Nasional sebagai rangkaian acara Hari Pers Nasional (HPN) 2021 pada 9 Februari lalu. Dewan Pers melalui perwakilannya menyebutkan bahwa pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh media belum sepenuhnya tepat dan justru masih sering salah sasaran, dan menyalahi aturan serta etika jurnalistik dengan tidak menyajikan dalam sudut pandang korban, atau dengan menggunakan penjelasan yang vulgar (Antara, 2021).

Kode Etik Jurnalistik yang mengatur mengenai kekerasan seksual terhadap anak sendiri diatur didalam dua pasal. Yaitu pasal 4 tentang berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul; dan pasal 5 tentang identitas korban kejahatan asusila dan identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur. Dimana apabila terjadi pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut, pelanggaran yang dimaksudkan termasuk dalam pelanggaran dalam level teks dan isi berita dalam jurnalistik dan media, serta hanya bersifat mengikat bagi jurnalis, dengan hanya sedikit jaminan bagi korban.

Dan apabila terdapat kasus pelanggaran kode etik jurnalis ini, supremasi hukum tetap harus dilakukan, diluar keterikatan KEJ dengan para jurnalis media yang terlibat. Supremasi hukum menyiratkan ketaatan pada aturan yang diketahui dan prosedur untuk menjalankan otoritas pemerintah (Tamahana, 2004). Supremasi hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dikaitkan dengan akuntabilitas untuk mematuhi prinsip-prinsip substantif, seperti yang terkandung dalam Bill of Rights, peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945, dan peraturan-peraturan lainnya yang mengikat, serta ketaatan terhadap aturan tersebut.

Pada pasal 4 tentang berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Indikasi pelanggaran kode etik ini misalnya mengenai kasus kekerasan seksual yang menimpa murid SMP di Padang Panjang pada bulan Juni 2021 (Wahyono, 2021). Kasus kekerasan seksual ini melibatkan guru korban sebagai pelaku yang naasnya juga melibatkan kasus pelecehan terhadap sesama jenis. Dalam pemberitaan tersebut menyangkut kode etik pemberitaan sadis dan vulgar, penulis menemukan beberapa poin kekurangan dalam beberapa pemberitaan. Misalnya penggambaran detail kejadian serta penggambaran kegiatan yang dilakukan misalnya dengan penggambaran aktivitas onani dan oral sex yang diberitakan. Penggambaran kejadian seperti ini tentunya memang berdasarkan fakta, namun sifat vulgar dalam pemilihan katanya melanggar Pedoman Pemberintaan Ramah Anak yang juga dikeluarkan oleh Dewan Pers. Dimana dalam pedoman tersebut, pemberitaan yang faktual tidak boleh menggambarkan deskripsi dan rekonstruksi peristiwa yang sifatnya seksual atau sadis (Lismartini & Afrida, 2020). Sehingga hal tersebut termasuk pelanggaran hukum dan etika pers yang dilakukan oleh jurnalis.

Kemudian terkait pasal 5 tentang identitas korban kejahatan asusila dan identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur. Selain mengacu pada Kode Etik Jurnalistik pasal 5, perlindungan terhadap identitas korban, khususnya anak dalam kasus pemberitaan ini juga diatur didalam Pasal 64 butir (i) UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pada undang-undang ini, diatur bahwa anak yang tengah berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan khusus berupa penghindaran dari publikasi atas identitasnya. Perlindungan terhadap identitas korban yang masih dibawah umur tentunya harus dipenuhi oleh media dalam menangani kasus pemberitaan kekerasan seksual tersebut. Selain itu, perlindungan akan identitas ini berguna untuk menghindarkan efek buruk terhadap kesehatan anak korban kekerasan seksual baik untuk masa sekarang atau untuk kedepannya (Muslimah, 2019).

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa supremasi hukum harus tetap memegang kendali didalam kasus pelanggaran etika jurnalistik ini, diluar KEJ yang berlaku. Dijelaskan pada UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, terdapat dua hak yang dapat diklaim masyarakat mengenai pemberitaan pers. Yaitu hak jawab dan hak koreksi untuk menyanggah atau membenarkan pemberitaan yang disangka memiliki indikasi pelanggaran. Kemudian masyarakat tersebut juga dapat mengajukan pengaduan dibawah Dewan Pers agar dapat ditindak lanjuti dalam lingkup profesi tersebut. Kemudian jalan terakhir apabila pengaduan tidak berhasil adalah dengan menggunakan UU Pers Pasal 18 ayat 2 tentang denda pidana yang harus ditanggung jurnalis yang terlibat, yaitu sebesar paling banyak Rp.500.000.000. Kemudian apabila ada indikasi terjadinya pelanggaran, KUHP yang dipakai adalah KUHP 310 tentang pencemaran nama baik, dan UU Pers itu sendiri. Yang menandakan bahwa KEJ tidak terlalu bersifat mengikat dalam hal tindakan hukum pelanggaran pemberitaan.

Kekerasan seksual pada anak merupakan pemberitaan yang sering disajikan dalam berbagai media di Indonesia. Mengacu pada Kode Etik Jurnalistik yang telah ditetapkan, yang berarti hal ini juga harus dipenuhi oleh para jurnalis, maka dalam penulisan berita para jurnalis juga harus lebih berhati-hati khususnya dengan topic sensitif ini. Jurnalis harus menemukan bagaimana cara terbaik untuk melakukan pendekatan untuk dapat menghormati korban, tetapi di sisi lain juga dapat menyajikan berita yang akurat dan berimbang. Selain itu, dalam kasus kekerasan seksual, jurnalis memiliki tanggung jawab ganda, yaitu untuk korban dan di sisi lain juga bertanggung jawab untuk public yang membaca berita tersebut. Sehingga, berita yang disajikan harus sebisa mungkin tidak melanggar kode etik jurnalis ataupun hukum yang berlaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun