Mohon tunggu...
Revani AyuNabila
Revani AyuNabila Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pelajar

SMAN 1 Padalarang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sepak Terjang Kehidupan

23 Februari 2020   22:43 Diperbarui: 23 Februari 2020   22:36 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setiap hari hujan turun begitu deras. Sederas air mata yang jatuh di kedua pipiku. Entah mengapa seakan hidup ini begitu melelahkan untuk dijalani, tapi kaki ini masih bisa untuk terus melangkah. Begitu bosan telinga ini mendengar ocehan kedua orangtua yang selalu menuntutku untuk melakukan ini dan itu, dengan alasan yang selalu sama. Ya, Demi masa depanku. Apa mungkin ini sebuah keegoisanku? Aku tak pernah mau tahu dengan apa yang diinginkan oleh kedua orangtuaku terhadapku. Namun di dalam hatiku aku selalu berkata dan berjanji, "Bersabarlah Ayah dan Bundaku, aku sedang berusaha meraih citacitaku dengan caraku sendiri. Aku membangkang kepada kalian buka karena aku tak patuh, tapi aku ingin menunjukkan kepada ayah dan bunda bahwa aku ini akan sukses untuk membanggakan kalian dengan caraku sendiri." Ku langkahkan kaki ini pergi meninggalkan rumah, untuk menenangkan hati dan pikiranku.

Terkadang aku bingung dengan apa yang ku lihat. Orang jahat selalu bahagia, kenapa orang baik tidak? Orang jahat selalu di atas, kenapa orang baik ditindas? Apa hidup tak seadil yang aku kira? Hidup ini memang sulit. Ya, sulit bila kita terus mencari sebuah keadilan. Bukankah kita hidup memang untuk melewati semua kesulitan itu? Tuhan tahu bagaimana karakter kita. Bersabarlah, itu kuncinya. "Sabar itu bukan hal yang mudah!" mungkin itu yang selalu aku dengar dari orang-orang di sekitarku, "Memang benar. sabar itu tidak mudah. Tapi selagi kita masih sanggup untuk bersabar kenapa tidak? Ya, kan!" Gerutuku dalam hati.

Sabar itu ibaratkan pohon, biarpun angin terus merontokkan daunnya namun pohon tak menyalahkan angin dan masih kuat untuk menjulang tinggi. Biarpun kita terus-terusan disakiti, ikhlaslah karena Tuhan maha mengetahui segalanya, semua ada waktunya ketika burung hidup dia makan semut. Tetapi ketika burung mati, burung itu akan habis oleh semut. Satu buah pohon bisa membuat jutaan korek api, tapi satu batang korek api bisa membakar jutaan pohon. Bukankah itu sudah adil? Kita hadir di bumi ini sebagai pemain dan Tuhan-Lah yang menyutradarainya. Jalan saja sesuai jalan yang ingin kita lalui. Selagi itu benar jalannya, jika pun jalan yang telah kita lalui itu salah maka pasti ada cerita tersendiri nantinya.

Ku berjalan terus menyusuri jalan kehidupan ini, banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang ku dapat. Di lorong jalan ku temui seorang gadis kecil berusia 10 tahun bersama adik laki-Iakinya yang masih berusia 5 tahun. Ku Iangkahkan kaki ini menuju mereka, ku bertanya kepada gadis kecil itu. "Apa yang kamu cari di lorong yang sepi ini? Kasihan adikmu. Di mana orangtua kalian?" Namun gadis kecil itu diam membisu, tak menjawab pertanyaanku. Ku lihat wajahnya yang mulai bersedih, air matanya tiba-tiba tertumpah. Berlari mereka kepadaku, tiba-tiba memelukku dan aku mulai berkata. "Hei, kenapa kalian menangis? Katakan saja kepadaku, jangan takut." Tanyaku kembali, dengan mengusap air matanya.

"Kami di sini mencari Ayah dan Ibu, kami pergi dari panti karena kami rindu Ayah dan Ibu." air matanya kembali mengalir, begitu pun denganku. Ternyata mereka tinggal di sebuah Panti Asuhan yang tak begitu jauh dari lorong yang mempertemukan kita. Mereka pergi mencari ayah dan ibunya, mereka merindukan orangtuanya tetapi mereka tak pernah tahu harus ke mana mencarinya. "Yuk, ku antarkan kalian pulang ke panti. Ibu panti pasti sudah khawatir dengan kalian." Ku alihkan pembicaraan dan ku ajak mereka kembali. Karena aku tak tahu apa yang harus aku katakan lagi. Aku sangatlah paham dengan perasaan mereka, namun aku tak ingin membuat mereka semakin bersedih karena semua pertanyaanku nanti.

Setibanya di panti memang benar, ibu panti kesusahan mencari mereka berdua. Ku lihat kegelisahan di raut wajahnya yang sudah menua. "Maaf Ibu, apa mereka anak panti asuhan ini?" sapa dan tanyaku, kepada ibu panti.

"Ya Tuhan, Rani dan Reno." sembari memeluk mereka berdua. "Alhamdulillah kalian kembali Nak." Ucapan syukur dari perempuan tua yang sangat mengkhawatirkan putra dan putri asuhnya. "oh, namanya Rani dan Reno." ucapku dalam hati.
"Siapakah dirimu, Nak?" tanya ibu panti kepadaku. "Saya Santi Bu, saya temukan Rani dan Reno menangis di lorong simpang jalan situ." Ibu panti tersenyum kepadaku.

"sebentar, saya antarkan Rani dan Reno ke kamar dulu."

"Terima kasih kakak baik." ucap Rani dan Reno kepadaku dengan berlari menuju kamar mereka Rani dan Reno, tersenyum kepadaku.

Tak terasa air mataku menetes ketika aku melihat senyuman mereka. Betapa pilunya kehidupan mereka ini, mereka masih bisa tersenyum ketika hatinya mempertanyakan di mana ayah dan ibunya berada. Dan ketika itu aku menangis dan hatiku begitu sakit "Tak bersyukurnya aku. Yang masih punya ayah dan bunda yang begitu memperhatikan aku, namun aku masih saja menyakiti hati mereka dengan keegoisanku. Ahhh bodohnya aku." Sesal ku dalam hati. Ku lihat ibu panti kembali berjalan ke arahku. Ku usap air mataku, ibu panti duduk di sampingku dan berkata kepadaku
"Santi, terima kasih kamu sudah mengantarkan Rani dan Reno pulang. Ibu khawatir dengan mereka, takut terjadi apa-apa." Tersenyum dan aku mulai berkata.

"Apa yang telah terjadi dengan mereka Bu? Di mana orangtuanya?" menghela napas dan menjawab pertanyaanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun