Mohon tunggu...
Padri Hans
Padri Hans Mohon Tunggu... Insinyur - Rohaniwan, jurnalis, dan pemerhati masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, seni, dan lingkungan hidup.

Rohaniwan, jurnalis, dan pemerhati masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, seni, dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diam Bukan Emas Tapi Maut

4 Januari 2017   11:34 Diperbarui: 28 April 2017   13:18 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bacalah cerita Dietrich Bonhoeffer ini!

 

Sangat memilukan hati ketika kita melihat kondisi kekinian bangsa kita. Di mana secara terbuka caci maki kepada simbol negara, Pancasila disebut Pantat Cina, Presiden Jokowi dengan sebutan Jokodok bahkan disebut nama anjing dan babi, menghina proklamator kita, ancaman pembunuhan kepada umat yang tidak seagama yang secara terang-terangan diucapkan dalam demo-demo yang dipimpin para rohaniwan, upaya menggulingkan pemerintah yang sah, dan politisasi agama demi memuaskan syahwat politik kekuasaan. Sendi-sendi kehidupan masyarakat sedang diruntuhkan melalui taktik adudomba saat ini. Pemerintah dan aparat hukum seolah dibikin tak berdaya oleh tekanan massa. Hukum rimba seolah sedang merajalela.

 

Apa yang bisa kita petik dari kisah seorang Bonhoeffer dalam konteks kekinian Indonesia yang sedang dilanda gelombang intoleransi dan radikalisme serta hukum yang bisa diatur oleh tekanan massa? Hanya satu kata, "Peduli." Ya, kita harusnya peduli dan aktif menjaga Indonesia jangan jadi bangsa bar-bar yang seenaknya sendiri memangsa sesama anak bangsa berdarah-darah dan terluka-luka. Kita orang-orang berpendidikan dan beragama yang berTuhan tidak semestinya diam membisu seribu bahasa. Jangan pikir yang penting zona nyaman saya masih oke. Persetan dengan perilaku intoleransi. Persetan dengan tindakan radikalisme. Itu semua urusan pemerintah. Hukum diputar balik, penzoliman merebak di mana-mana. Itu semua bukan urusan saya.

 

Bila Anda umat beragama yang benar, dan khususnya umat Kristus sejati, pastilah sikap apatis, cuek, masabodoh, dan tidak peduli bukanlah sikap yang elok. Itu tidak dikehendaki Tuhan Yesus yang kita sembah. Sadarkah kita bahwa Tuhan jijik dengan dosa. Tuhan muak dengan manusia arogan, sombong, bak keledai liar tanpa aturan hukum. Tuhan mau muntah ketika melihat ada orang yang memakai agama dan nama Tuhan untuk memenuhi ambisi pribadi. Sangat memalukan dan memilukan orang-orang yang manipulatif, nirintegritas, hipokrit bin munafik. Apakah umat beragama, kaum berpendidikan, dan orang-orang melimpah harta yang benar dan baik akan diam dan tetap diam membisu melihat kenyataan Indonesia kekinian? Ya kalau mau memilih diam, itu hak Anda. 

 

Namun saya perlu mengingatkan kita semua pesan Bonhoeffer demikian. Ketika itu Bonhoeffet kuatir akan dipaksa mengambil sumpah setia kepada Hitler atau ditangkap, maka ia meninggalkan Jerman dan menuju ke Amerika Serikat pada bulan Juni 1939. Kurang dari dua tahun kemudian, ia kembali ke Jerman karena merasa bersalah telah mencari kenyamanan perlindungan, dan tidak memiliki keberanian untuk melakukan apa yang dikhotbahkannya. Dia berkata, "Aku menyimpulkan bahwa aku telah membuat kesalahan dengan datang ke Amerika. Orang-orang Kristen di Jerman harus menghadapi alternatif mengerikan, yaitu bersedia menerima kekalahan negara mereka supaya peradaban Kristen dapat bertahan, atau bersedia menerima kemenangan negara mereka dan dengan demikian menghancurkan peradaban. Aku tahu alternatif mana yang harus harus kupilih, tetapi aku tidak bisa memilihnya dari suatu kenyamanan." Ketika sebagian kecil orang Kristen di Jerman menentang kebijakan politiknya, Hitler memanggil Pdt. Niemoller dan berkata kepadanya, "Aku mengurusi politik, Anda mengurusi agama. Aku tidak akan mencampuri urusan Anda dan saya minta Anda tidak mencampuri urusan saya." Waktu itu banyak orang Kristen setuju dengan Hitler. Tapi akibatnya, ada enam juta orang Yahudi yang tidak bersalah menjadi korban mengerikan. Ini akibat gereja tidak peduli dengan menyuarakan suara kenabiannya. Dalam kondisi Indonesia kini dihujat habis-habisan, Pancasila dinista, orang-orang Kristen dan para pendeta diancam untuk dibunuh oleh seseorang pemimpin agama tertentu, agama dipolitisir demi tujuan fana yaitu jabatan gubernur DKI Jakarta yang sejatinya hanyalah jabatan sementara, di manakah kepedulian orang-orang beragama dan kaum terdidik? Di manakah suara orang muda yang cinta damai bagi NKRI? Di manakah suara kenabian kita yang menggelegar demi keselamatan dan keutuhan NKRI yang kita cintai ini?

 

Ester 4:13-17 berkata, "maka Mordekhai menyuruh menyampaikan jawab ini kepada Ester: "Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu." Maka Ester menyuruh menyampaikan jawab ini kepada Mordekhai: "Pergilah, ....." Peringatan Mordhekai kepada Ester ini sangat relevan dengan kekinian Indonesia. Khususnya keoada orang-orang berkedudukan, orang-orang berpendidikan, orang-orang beragama yang tulus, dan orang-orang berharta. "Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja (baca: zona nyaman), hanya engkau yang akan terluput ... engkau dengan kaum keluargamu akan binasa." Bila karena dengan diamnya kelompok orang-orang ini, lantas Indonesia dikuasai oleh manusia-manusia beragama yang beringas, intoleran, dan radikalis sadis, maka kelompok diam seribu bahasa ini juga yang akan dilibas habis oleh para agamawan bersama dengan tuhannya yang bengis sadis. Jangan pikir kelompok yang diam ini akan terluput dari nekadnya manusia-manusia intoleran yang hatinya penuh angkara murka yang haus darah. Ahmed Rashid, penulis buku "Taliban" menyebut kaum fanatik itu berhasil merebut kekuasaan berkat "jasa" kaum terpelajar memilih untuk diam. Ketika Taliban menang, kelompok pertama yang dihabisi adalah kelompok kelas menengah yang terpelajar yang diam tadi. Karena mereka adalah musuh potensial. Jadi, kalau Anda diam ketika melihat kekerasan, caci maki, dan hukum diatur oleh tekanan massa beringas di sekitar, artinya Anda sedang membuka pintu kemenangan bagi "Taliban" di NKRI yang kita sama-sama cintai ini. 

 

Awas, jangan meremehkan fenomena intoleransi dan radikalisme yang sedang bergelora di bumi pertiwi ini. Jika terlambat, negeri ini bukan tidak mungkin akan menjadi seperti Suriah, Allepo. Porak-poranda tinggal puing-puing. Rakyat hidup penuh ratapan kesengsaraan sampai hari ini. Manusia saling memangsa satu dengan yang lain. Tentu kita tidak mungkin lagi dapat menyanyikan bersama lagu kebangsaan kita, "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa kita." Dan tentu pula lagu, "Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia" sudah tidak mungkin kita nyanyikan bersama lagi....

 

Saya teringat sebuah cerita. Sepasang suami istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Seekor tikus rumah memerhatikan makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar?" Ternyata, adalah perangkap tikus. Sang tikus rumah sangat kaget bukan kepalang. Ia pun segera berlari menuju kandang dan berteriak, "Ayam, ada perangkap tikus!!!" Sang Ayam dengan tenang berkata, "Tuan tikus, aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh apa pun padaku." Sang tikus lalu pergi menemui seekor kambing sambil berteriak. Sang kambing pun berkata, "Aku turut simpati, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membantumu." Tikus lalu menemui sapi. Ia mendapat jawaban sama, "Maafkan aku tikus, tapi perangkap tikus otu tidak berbahaya buat aku sama sekali, mungkin buat yang tubuhnya kecil aja kali. Ia lalu lari ke hutan dan bertemu dengan ular kobra. Sang ular kobra berkata dengan sombongnya, "Perangkap Tikus yang kecil tidak akan dapat membunuh aku." Akhirnya sang tikus kembali kerumah. Dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahayanya sendiri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular kobra yang berbisa. Buntut ular kobra terperangkap membuat ular kobra semakin ganas dan menyerang istri pemilik rumah. Walaupun sang suami berhasil membunuh ular kobra, tapi istri tetap harus di bawa ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian istrinya demam. Ia lalu minta dibuatkan sop obat ceker ayam kepada suaminya. Dengan segera ia menyembelih ayamnya untuk dimasak. Tetapi sakit sang istri tak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing.Ia lalu menyembelih kambing untuk mengambil hatinya. Istrinya belum juga sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman sehingga sang petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan para pelayat yang datang ke rumahnya. Dari kejauhan sang tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat perangkap tikus tersebut sudah tidak dipergunakan lagi.

 

Ketika Anda melihat kondisi Indonesia mulai disesaki dengan manusia-manusia intoleran, radikal, bengis, dan buta tuli pada nilai-nilai kasih dan kemanusiaan, dan suka menipu dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan, apakah Anda bersikap seperti ayam, kambing, sapi, dan ular kobra dalam cerita di atas yang sama sekali tak peduli sebab Anda berpikir itu bukan masalahku, itu tak mungkin merugikanku? Kalau itu sikap Anda, ya, saya hanya bisa berharap, semoga nasib Anda tidak berakhir dengan tragis seperti ayam, kambing, sapi, dan ular kobra tadi. Semuanya jadi korban mengenaskan karena diam tak peduli. Diam itu bukan emas tapi maut. Firman Tuhan berkata dalam Yakobus 4:17, "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa." "Sebab upah dosa ialah maut...." (Roma 6:23a). Apakah kita masih mau tetap diam atau menyuarakan suara kebenaran Allah meskipun ada risiko yang harus kita bayar? Pilihan ada pada Anda! Tapi kalau boleh saya sarankan, bertindaklah seperti Ester. Demi keselamatan bangsanya dari niat dan perilaku jahat Haman, Ester bertindak dengan caranya sendiri. Demi keselamatan bangsanya, Ester berkata, "kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati." Satu komitmen perjuangan yang amat mulia demi sebuah misi menyelamatkan bangsa dari kebengisan Haman si penjahat tingkat dewa. Mari kita menjadi Ester-Ester demi keutuhan NKRI harga mati dari manusia-manusia intoleran radikalis yang mau matikan harga NKRI harga mati!

[Padri Hans, Tegal, Rabu, 4 Januari 2017, pukul 11.11 WIB].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun