Mohon tunggu...
revaliana hidayati
revaliana hidayati Mohon Tunggu... mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Kalah di Pace, Menang di Kedamaian: Cerita Gen Z dan FOMO Lari

4 Oktober 2025   12:37 Diperbarui: 4 Oktober 2025   12:37 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun terakhir, olahraga lari jadi makin populer. Bukan cuma karena ingin sehat, tapi juga karena satu hal yang nggak bisa dihindari: *Strava.*
Aplikasi ini bukan sekadar alat pelacak jarak dan waktu, tapi semacam "panggung digital" bagi pelari modern. Setiap langkah, setiap pace, bahkan setiap detik bisa jadi cerita yang diunggah ke media sosial.

Dulu, orang berlari untuk melepas penat atau menjaga tubuh tetap bugar. Sekarang, banyak yang berlari supaya tidak tertinggal.
"Teman-teman udah lari 10K, masa aku cuma 3K?"
"Dia pace-nya 5 menit per kilometer, aku 7. Aduh..."

Perlahan, olahraga yang seharusnya jadi ajang healing malah berubah jadi ajang pembuktian.
FOMO muncul bukan karena ingin sehat, tapi karena ingin dianggap keren dan produktif.

Di Strava, ada semacam "kompetisi diam-diam" yang tak tertulis. Siapa yang paling rajin, siapa yang paling jauh, siapa yang paling cepat.
Padahal, tubuh dan motivasi setiap orang berbeda.

Gen Z dan Tekanan untuk Selalu Eksis

Generasi Z tumbuh di era di mana eksistensi digital sama pentingnya dengan realita.
Kita terbiasa membagikan setiap pencapaian --- termasuk hal-hal kecil seperti waktu tidur, makanan sehat, atau rute lari pagi.

Tidak salah, tapi terkadang hal ini membuat kita kehilangan esensi:
berlari bukan lagi tentang menikmati langkah, tapi tentang siapa yang terlihat paling disiplin.

Beberapa pelari muda bahkan mengaku merasa bersalah kalau melewatkan satu hari tanpa aktivitas di Strava. Seolah-olah nilai diri mereka diukur dari seberapa sering mereka berlari.

Namun, semakin lama, banyak juga yang mulai sadar:
kesehatan mental dan kedamaian jauh lebih penting daripada angka pace atau total kilometer.

Ada yang mulai lari tanpa Strava. Ada juga yang tetap memakai aplikasi, tapi memilih tidak mengunggah hasilnya.
Bukan karena malas, tapi karena ingin kembali ke makna awal --- berlari untuk diri sendiri, bukan untuk validasi.

Berlari tanpa tekanan membuat napas terasa lebih lega, dan setiap langkah menjadi bentuk syukur.
Kita mungkin kalah di angka, tapi menang di kedamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun