Mohon tunggu...
Retya Elsivia
Retya Elsivia Mohon Tunggu... -

Saya yang masih belajar merangkai kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Aksesibilitas dalam Rupiahku

30 Desember 2017   14:26 Diperbarui: 31 Desember 2017   13:39 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Blind code yang hadir di sisi samping Rupiah (dok: Retya Elsivia)

Untuk setiap insan bernyawa yang hidup di Indonesia, apakah Anda cinta Rupiah? Mungkin saya hanya akan 'melirik' mereka yang tidak menjawab iya. Terlepas dari apapun alasannya, saya yakin setiap kita tidak mungkin ada yang tidak cinta Rupiah karena hampir semua lini kehidupan saat ini membutuhkannya.  Rupiah diibaratkan seperti darah yang dapat menopang tubuh manusia. Tak heran jika ada pepatah yang mengatakan ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.

Sebagai alat tukar dan pembayaran yang sah, tidak ada satupun manusia modern di Indonesia yang bisa hidup tanpa Rupiah. Tapi pernakah terpikir oleh kita bagaimana dengan teman-teman penyandang tunanetra? Tentu tidak mudah mengenali Rupiah begitu saja. Butuh perjuangan dan kesabaran dari penyandang tunanetera dalam menggunakan Rupiah saat melakukan kegiatan bertransaksi sehari-hari. Keterbatasan penglihatan membuat mereka sering menjadi korban penipuan seperti ditipu dengan uang palsu atau dikecoh dengan pengembalian uang yang jumlahnya tidak sesuai.

Berlatar belakang keprihatinan terhadap kondisi penyandang tunanetra dan sebagai bentuk perwujudan amanat UU Nomor 19 tahun 2011 tentang Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, maka pemerintah melalui Bank Indonesia pada tanggal 19 Desember 2016 secara resmi menerbitkan 11 pecahan uang Rupiah baru yang terdiri dari 7 uang rupiah kertas dan 4 uang rupiah logam. Sama seperti huruf Braille, pecahan uang kertas tahun emisi 2016 banyak membantu penyandang tunanetra karena dilengkapi dengan kode tunanetra (blind code) berupa efek rabaan (tactile effect) yang dicetak timbul sehingga dapat diraba dan dirasakan. Blind code terletak pada sisi samping kiri dan kanan uang dengan maksud jika kode di salah satu sisi samping sulit diraba maka pengguna bisa meraba kode di sisi samping yang lain.

Adapun tanda yang dapat membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengidentifikasi pecahan uang kertas emisi 2016 yaitu melalui garis arsir yang berbeda untuk setiap pecahannya. Dalam satu garis arsir terdapat dua garis di dalamnya. Untuk uang kertas pecahan Rp. 1.000 terdapat tujuh buah garis arsir yang terletak penuh dari pinggir atas hingga pinggir bawah. Untuk uang kertas pecahan Rp. 2.000 terdapat enam buah garis arsir yang terletak dari pinggir atas hingga pinggir bawah. Untuk uang kertas pecahan Rp. 5.000 terdapat lima buah garis arsir yang terletak di bagian pinggir bawah. Begitupun dengan uang kertas pecahan Rp. 10.000 dan Rp. 20.000 juga memiliki garis arsir di bagian pinggir bawah. Hanya saja terdapat perbedaan pada jumlah garis arsirnya, uang kertas pecahan Rp. 10.000 memiliki empat buah garis arsir dan uang kertas pecahan Rp. 20.000 memiliki tiga buah garis arsir. Lain halnya dengan uang kertas pecahan Rp. 50.000 dan Rp. 100.000 yang sama-sama memiliki garis arsir di bagian tengah pada samping kiri dan kanan uang, bedanya uang kertas pecahan Rp. 50.000 memiliki dua buah garis arsir sedangkan uang kertas pecahan Rp. 100.000 memiliki satu buah garis arsir. Jadi semakin besar nilai pecahan uang maka semakin sedikit jumlah garis arsir yang ditemukan.

Kehadiran blind code dapat lebih mudah diakses oleh penyandang tunanetra di seluruh Indonesia.  Hal ini dirasakan oleh Ebnovrio Hanesti, seorang penyandang tunanetra yang juga merupakan Sekretaris Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Sumatera Barat. Pemuda yang akrab disapa dengan Rio ini mengaku lebih banyak terbantu dengan keluaran uang kertas emisi 2016. 'Ya, saya sedikit terbantu dengan uang Rupiah cetakan baru, kalau dulu mungkin sekitar 20% baru bisa mengenal Rupiah, namun sekarang sudah mencapai 50% karena ada blind code yang bisa diraba itu'. Dalam kesehariannya, Rio tidak pernah lepas dari Rupiah terutama saat melakukan mobilisasi sebagai mahasiswa Program Studi Magister Bimbingan Konseling di Universitas Negeri Padang saat ini. Namun, di sisi lain Rio juga mengaku sedikit kesulitan dalam menghafal setiap jumlah garis timbul yang berbeda dalam setiap pecahan sehingga ia masih melakukan pemisahan uang sebelum keluar rumah.

Tidak hanya Rio, aksesibilitas dalam Rupiah emisi 2016 juga dirasakan oleh Suherman. Sebagai Plt Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Pesisir Selatan, Suherman pernah terlibat sebagai panitia dalam sosialisasi Rupiah emisi 2016 yang dilakukan Bank Indonesia di Panti Sosial Bina Netra Tuah Sakato, Padang. Responden yang terdiri dari anak-anak penyandang tunanetra diperkenalkan dengan uang rupiah kertas dengan jumlah pecahan yang berbeda. Dalam sosialisasi saat itu memang terbukti bahwa responden dapat lebih mudah mengidentifikasi setiap pecahannya. Sebagai penyandang tunanetra yang kehilangan fungsi penglihatan secara penuh (totally blind), Suherman mengaku bahwa kehadiran blind code dalam pecahan uang kertas emisi 2016 memang lebih banyak membantu meskipun belum sepenuhnya dapat mengakomodir kebutuhan penyandang tunanetra. 'Untuk uang kertas yang masih baru, blind code dapat lebih mudah untuk diraba, namun tidak demikian halnya jika uang kertas itu sudah mulai lusuh atau lecek sehingga hampir sulit dibedakan karena ukuran dan bahan yang juga relatif sama untuk beberapa pecahan'.     

Penjelasan yang sama diberikan oleh Yuliana. Yuliana merupakan penyandang tunanatera total yang masih aktif bekerja sebagai guru Sekolah Luar Biasa Nomor 1 Painan, Sumatera Barat dan telah mendedikasikan diri selama 20 tahun di sekolah tersebut. Menurut beliau, blind code berupa garis timbul di sisi samping kiri dan kanan Rupiah memang lebih membantu penyandang tunanetra untuk dapat mengidentifikasi pecahan Rupiah, namun tidak semua Rupiah dapat dengan mudah diraba dan dirasakan apalagi jika kondisi uang kertas sudah tidak lagi dalam keadaan baru, sehingga akan lebih baik jika Rupiah dilengkapi dengan tambahan tanda khusus yang lain. Selama ini Yuliana mengenal Rupiah melalui ukuran kertasnya, setelah diketahui nominalnya lalu Rupiah tersebut dikelompokkan sesuai nominal masing-masing dan diberi tanda untuk memudahkan seperti dengan cara membedakan bentuk lipatan atau menggunakan penanda lain seperti karet gelang.

Ibu Yuliana sedang meraba blind code yang terdapat dalam uang kertas emisi 2016 (dok: Retya Elsivia)
Ibu Yuliana sedang meraba blind code yang terdapat dalam uang kertas emisi 2016 (dok: Retya Elsivia)
Sebelumnya Bank Indonesia melakukan pembedaan pecahan uang kertas melalui variasi ukuran dan tanda yang berbentuk bulatan atau segitiga yang tercetak dalam uang. Namun itupun tidak terdapat dalam semua pecahan. Berbeda dengan uang rupiah emisi 2016, blind code hadir pada semua pecahan uang kertas mulai dari Rp.1.000 hingga Rp.10.000 sehingga lebih mudah diakses oleh penyandang tunanetra. Semoga upaya peningkatan aksesibilitas Rupiah terhadap penyandang tunanetra ini semakin dapat mewujudkan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Untuk Rupiah yang dicintai, terimakasih karena telah aksesibel.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun