Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam kearifan lokal yang melekat. Dari Aceh hingga Papua, mempunyai tradisi dan budaya yang beraneka ragam. Tidak hanya mempunyai bahasa lokal yang berbeda, mereka juga mempunyai keyakinan yang berbeda.
Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Fakta ini memang tidak bisa dibantah. Namun, fakta bahwa keberagaman di Indonesia sudah ada jauh sebelum Islam masuk di Indonesia, juga merupakan hal yang bisa dibantahkan.
Tidak perlu memperdebatkan siapa yang ada terlebih dulu, tidak perlu juga memperdebatkan mayoritas minoritas, semuanya mempunyai hak yang sama. Karena Indonesia mengakui semuanya. Semua masyarakat Indonesia, apapun agamanya, apapun latar belakangnya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dalam beberapa pekan kebelakang, dibalik hiruk pikuk politik nasional, media masa ramai memberitakan mengenai polemik cadar. Hal ini menyusul adanya kebijakan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang meralang mahasiswanya menggunakan cadar.
Larangan yang ditandatangani oleh rektor ini muncul, setelah adanya foto mahasiswi yang mengenakan cadar dan menghibarkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia. Sebagai bentuk pencegahan, kampus pun mengeluarkan larangan untuk mencegah masuknya organisasi yang telah dibubarkan oleh pemerintah ini. Hal ini pun kemudian menimbulkan pro dan kontra.
Jika semangat kampus untuk mencegah masuknya bibit radikalisme di lingkungan kampus, tentu patut diapresiasi. Bahwa memakai cadar di Indonesia tentu tidak salah, karena ini merupakan bagian dari hak masyarakat itu sendiri. Namun juga harus diingat, bibit radikalisme bisa menyasar siapa saja. Karena radikalisme berpotensi melahirkan eksklusivisme, dan tindakan intoleran.
Bahkan, dalam tahap tertentu radikalisme juga bisa melahirkan terorisme. Beberapa bulan sebelum polemik cadar ini mencuat di Yogyakarta, kota ini juga menjadi perhatian publik dengan adanya penyerangan yang dilakukan oleh mahasiswa di gereja St Lidwina, Sleman. Ironisnya, pelaku adalah seorang mahasiswa.
Hal ini menunjukkan bahwa radikalisme bisa mengarah pada tindakan teror. Mari kita sudahi polemik cadar ini. Karena radikalisme terbukti terus melakukan berbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Berbagai fakta menunjukkan bahwa radikalisme bisa menyasar semua kalangan, termasuk mahasiswa.
Jika kampus mempunyai cara sendiri untuk membendung radikalisme, bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan keluarga? Atau masyarakat? Sudahkah mempunyai cara efektif untuk membendung penyebaran radikalisme? Melawan radikalisme harus dilakukan secara bersama oleh semua pihak, tidak bisa dilakukan oleh pihak kampus saja.
Ingat, Indonesia adalah negera yang penuh keberagaman. Semestinya keberagaman ini tetap terjaga, kerukunan antar umat tetap terjaga, tidak ada eksklusivisme dan tidak boleh merasa benar sendiri. Salam.