Alihfungsi lahan setu menjadi perumahan, memang menjadi sumber pendapatan daerah berupa pajak dan retribusi bagi pemerintah, maupun sumber pendapatan bagi investor ataupun developer perumahan.Â
Namun, setu dan sungai sejatinya memiliki jasa lingkungan (ecosystem services) yang kalau divaluasi pasti lebih besar dari pendapatan yang diterima oleh pemerintah maupun investor/developer.Â
Kurangnya pengawasan dan penertiban dari BBWSSCC, Pemda Jawa Barat dan Pemkot Depok selaku lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaan sumber daya air (Pasal 5 Permen PUPR No.4 Tahun 2015), merupakan faktor terbesar yang menyebabkan hilangnya dan berkurangnya luasan setu.Â
Namun sepertinya lembaga-lembaga tersebut tidak mau dianggap sebagai penyebab hilangnya dan berkurangnya luasan setu di Kota Depok. Begitu juga halnya terkait berkurangnya luasan sungai di Kota Depok.
Berkurangnya jumlah setu dan luasan setu Di Kota Depok juga diikuti dengan berkurangnya kualitas air setu akibat akumulasi limbah, sehingga menjadi isu yang perlu dipikirkan oleh Pemerintah sebagai pengelola dan warga sipil sebagai rakyat.Â
Berkurangnya jumlah dan luasan setu, serta luasan sungai erat kaitannya dengan rencana tata ruang dan wilayah. Disinilah warga berperan sebagai social control terhadap dinamika rencana tata ruang dan wilayah, terutama kalangan "brahmana" (orang yang punya ilmu).
"Brahmana" memang harus proaktif menjadi penasehat pemerintah. Ini bukan soal kasta, bukan soal mulia dan bukan soal hina. Memang hanya dengan kombinasi ilmu (brahmana) dan kekuasaan/power (raja/ksatria), keadilan bisa diwujudkan. Dalam konteks ini, kita tarik kepada keadilan terkait pengelolaan sungai dan setu di Kota Depok.
"Brahmana" hanya bicara benar dan ketika tidak didengar oleh raja/ksatria, kebenaran hanya akan jadi "kebenaran", tidak akan mencapai keadilan. Apalagi kalau "brahmana" telah punah/tidak bisa berbicara lagi, raja/ksatria tinggal bersiap-siap menggali makamnya sendiri. Kehancuran akan segera tiba.Â
Memang warga sekitar setu dan sungai juga berperan dalam penjagaan luasan setu dan sungai, namun secara konstitusional pemerintah adalah pengelola (pemimpin) yang memiliki legitimasi terkuat dalam negara.
Untuk apa ada pemerintah dan struktur organisasi pemerintah, kalau bukan untuk mengatur dan memberdayakan warganya dalam konsep republik, trias politica, demokrasi, dan kedaulatan rakyat?Â
Apakah konsep-konsep tersebut sudah tidak efektif dan efisien dalam konteks pengelolaan sumber daya air sungai dan setu?