Dakwah merupakan jantung dari gerakan Islam yang hidup. Ia bukan sekadar aktivitas menyampaikan ajaran agama, melainkan sebuah proses komunikasi yang sarat nilai, strategi, dan tanggung jawab moral. Dalam menyampaikan dakwah, tidak cukup hanya menguasai materi keislaman, tetapi juga harus dibarengi dengan etika dan etos yang kuat. Etika dan etos dalam berdakwah menjadi fondasi yang menentukan apakah pesan yang disampaikan akan diterima dengan hati terbuka atau justru ditolak karena cara penyampaiannya yang keliru.
Etika dalam berdakwah merujuk pada sikap, perilaku, dan cara penyampaian yang mencerminkan nilai-nilai Islam itu sendiri: sopan, santun, penuh kasih, dan menghargai perbedaan. Seorang pendakwah adalah cerminan dari ajaran yang ia sampaikan. Maka, jika ia menyeru pada kejujuran, ia harus menjadi yang paling jujur; jika ia mengajak pada kasih sayang, maka tutur katanya harus lembut dan menenangkan. Etika bukan sekadar pelengkap, melainkan ruh dari dakwah itu sendiri.
Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 125: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik." Ayat ini menjadi landasan utama dalam membangun etika dakwah. Hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang santun adalah tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi oleh setiap dai. Tanpa etika, dakwah bisa berubah menjadi alat pemecah, bukan pemersatu.
Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam hal etika berdakwah. Beliau tidak pernah memaksakan kehendak, tidak mencela keyakinan orang lain, dan selalu mengedepankan kelembutan. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan." (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan ketika menghadapi penolakan atau permusuhan, beliau tetap menjaga adab dan tidak membalas dengan kekerasan.
Etika dakwah juga mencakup kejujuran dalam menyampaikan informasi, tidak memanipulasi dalil, serta tidak menyebarkan kebencian atau fitnah. Seorang dai harus menjunjung tinggi integritas ilmiah dan tidak menggunakan dakwah sebagai alat untuk kepentingan pribadi, politik, atau ekonomi. Dakwah yang etis adalah dakwah yang murni karena Allah, bukan karena ambisi duniawi.
Sementara itu, etos dalam berdakwah berbicara tentang semangat, konsistensi, dan profesionalisme dalam menjalankan tugas dakwah. Etos adalah energi batin yang mendorong seorang dai untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan tidak mudah menyerah meski menghadapi tantangan. Etos dakwah mencerminkan kesungguhan dalam menunaikan amanah sebagai penyampai risalah.
Dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat memiliki etos dakwah yang luar biasa. Mereka berdakwah dengan penuh kesabaran, bahkan ketika dihadapkan pada siksaan, pengusiran, dan ancaman nyawa. Mereka tidak pernah berhenti menyampaikan kebenaran, karena mereka yakin bahwa dakwah adalah jalan hidup, bukan sekadar aktivitas sesaat.
Etos dakwah juga tercermin dalam kerja keras seorang dai dalam menggali ilmu, memahami konteks sosial, dan menyesuaikan metode dakwah dengan kebutuhan masyarakat. Seorang dai sejati tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga rajin membaca, berdiskusi, dan terus memperbarui wawasannya. Ia sadar bahwa zaman terus berubah, dan dakwah harus mampu menjawab tantangan zaman dengan cara yang relevan.
Dalam konteks masyarakat modern, etika dan etos dakwah menjadi semakin penting. Masyarakat kini lebih kritis, lebih terbuka, dan lebih sensitif terhadap cara penyampaian. Sebuah pesan yang benar bisa ditolak jika disampaikan dengan cara yang kasar atau merendahkan. Sebaliknya, pesan yang sederhana bisa diterima dengan baik jika disampaikan dengan penuh kelembutan dan ketulusan.
Etika dan etos juga sangat dibutuhkan dalam dakwah digital. Di era media sosial, banyak dai yang menyampaikan pesan melalui video, tulisan, atau siaran langsung. Namun, tidak sedikit pula yang terjebak dalam gaya komunikasi yang provokatif, menyudutkan kelompok tertentu, atau bahkan menyebarkan ujaran kebencian. Di sinilah pentingnya menjaga etika dan etos agar dakwah digital tetap menjadi cahaya, bukan bara api.
Dalam Surah Ali Imran ayat 159, Allah SWT berfirman: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." Ayat ini menegaskan bahwa kelembutan adalah kunci keberhasilan dakwah. Tanpa kelembutan, pesan yang disampaikan akan kehilangan daya sentuhnya.