Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Networking South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demonstrasi sebagai Ruang Politik Generasi Muda: Antara Romantisme Reformasi dan Disrupsi Digital

6 September 2025   10:49 Diperbarui: 6 September 2025   10:49 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seruan Historis dan Ironi Kekinian

Demonstrasi selalu menjadi salah satu ruang politik paling ikonik dalam sejarah bangsa Indonesia. Tahun 1998, misalnya, menjadi momen ketika mahasiswa tampil sebagai simbol perubahan, menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru. Jalanan kala itu tidak hanya berfungsi sebagai ruang publik fisik, tetapi juga sebagai mimbar moral di mana generasi muda mewarisi etos perlawanan. Dalam pandangan filsafat politik, ruang demonstrasi tersebut dapat dipahami sebagai bentuk konkret dari "public sphere" Habermasian, yaitu arena di mana warga negara memperjuangkan kepentingan umum melawan dominasi negara dan oligarki kekuasaan (Habermas, J., 1989).

Namun, dua puluh tujuh tahun setelah reformasi, lanskap protes mengalami transformasi yang mendalam. Di tahun 2025 ini, demonstrasi kembali hadir, tetapi dengan wajah baru. Jalanan masih menjadi simbol protes, tetapi kini berdampingan dengan ruang digital---media sosial, tagar, meme, dan video viral. Protes bukan hanya teatrikal di jalan, melainkan juga narasi yang diproduksi, dipertarungkan, dan dimanipulasi di dunia maya. Ironi pun muncul: jika dulu suara rakyat bergema di aspal Senayan, kini ia bisa tereduksi menjadi trending topic yang rentan hilang dalam arus algoritma.

Pergulatan ini mengandung paradoks. Di satu sisi, kehadiran ruang digital memperluas akses partisipasi politik; siapa pun dapat berkomentar, mengkritik, atau mengorganisasi aksi hanya melalui gawai. Tetapi di sisi lain, ruang digital juga menciptakan distorsi komunikasi: hoaks, disinformasi, hingga propaganda politik terselubung yang mengaburkan substansi perjuangan. Jika aksi 1998 berakar pada heroisme dan keaslian tuntutan rakyat, aksi 2025 kental sekali terjebak dalam "politik ilusi"---seolah-olah radikal, padahal sekadar komodifikasi politik di jagat digital.

Dalam kerangka teori kritis, demonstrasi 2025 dapat dibaca sebagai dialektika antara agency dan structure. Agency generasi muda tampak dalam keberanian turun ke jalan atau menyuarakan protes di media sosial. Namun struktur digital kapitalisme---melalui algoritma, platform global, dan intervensi elite politik---membatasi dan bahkan membajak suara tersebut. Demonstrasi berubah menjadi pertarungan narasi, di mana kepentingan rakyat banyak kerap terpinggirkan oleh nafsu perebutan kuasa.

Pertanyaan filosofis pun patut diajukan: apakah demonstrasi hari ini masih merupakan "suara rakyat" yang autentik, atau sekadar gema dari pertarungan elite? Apakah generasi muda masih mewarisi roh reformasi sebagai perjuangan moral, atau terjebak dalam simulakra---sekadar bayangan realitas yang diproduksi algoritma dan kepentingan politik? Dalam konteks ini, Baudrillard (1994) tentang simulacra menjadi relevan: demonstrasi dapat tampil heroik di layar gawai, tetapi kehilangan substansi di realitas sosial.

Dengan demikian, pembukaan refleksi ini hendak menegaskan sebuah ironi: bahwa demonstrasi sebagai ruang politik generasi muda kini berdiri di persimpangan jalan. Ia tetap menyimpan romantisme reformasi 1998, tetapi juga dibayangi disrupsi digital yang rentan mengubah protes menjadi sekadar instrumen politik praktis. Pertaruhan historisnya bukan hanya soal kuasa, melainkan juga soal autentisitas perjuangan rakyat dalam jagat politik yang semakin cair, manipulatif, dan penuh paradoks.

Romantisme Reformasi: Jalanan sebagai Mimbar Moral

Demonstrasi tahun 1998 telah membentuk salah satu fondasi narasi kolektif bangsa Indonesia. Jalanan, yang sebelumnya lebih sering dipahami sebagai ruang lalu lintas dan aktivitas ekonomi, berubah menjadi panggung politik yang monumental. Di sana mahasiswa menegaskan diri sebagai agen sejarah yang berbicara atas nama rakyat. Aksi massa 1998 menampilkan wajah otentik politik warga: perjuangan moral melawan tirani yang menindas. Dalam pengertian Arendtian, aksi itu merepresentasikan esensi vita activa politik, yakni keberanian tampil di ruang publik untuk menyuarakan kebenaran bersama (Arendt, H., 1958).

Romantisme 1998 terletak pada keyakinan bahwa suara mahasiswa bukan sekadar suara segelintir kelompok, melainkan gema kesadaran rakyat yang lebih luas. Hal ini memperlihatkan apa yang disebut Charles Tilly (2006) sebagai repertoires of contention, yaitu pola aksi kolektif yang memperoleh legitimasi karena sejalan dengan tuntutan sosial-historis masyarakat. Demonstrasi menjadi "ritual perlawanan" yang diakui, dirayakan, dan kemudian diwariskan sebagai bagian dari identitas politik bangsa.

Di sinilah mitologi nasional terbentuk. Reformasi 1998 tidak hanya dikenang sebagai runtuhnya Orde Baru, melainkan juga sebagai narasi moral tentang keberanian mahasiswa. Jalanan kemudian disakralkan sebagai ruang otentik politik. Spanduk, orasi, dan teatrikal demonstrasi menjadi simbol perjuangan yang romantik, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam kerangka filsafat politik, ini bisa dibaca sebagai collective memory yang berfungsi memperkuat identitas generasi muda dalam sejarah bangsa.

Namun, mitologi selalu berbahaya ketika hanya hidup sebagai mitos. Romantisme jalanan pasca-1998 sering kali melahirkan semacam fetisisme protes, yakni keyakinan bahwa sekadar turun ke jalan sudah merupakan tindakan revolusioner. Padahal, dalam perspektif Gramscian (1971), perjuangan hegemonik membutuhkan lebih dari sekadar demonstrasi fisik: ia menuntut perang posisi, produksi wacana, dan penguasaan narasi di ruang ideologis. Jika romantisme berhenti di level simbolik, maka ia berisiko menjadi retorika kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun