Mohon tunggu...
Resi Wahono
Resi Wahono Mohon Tunggu...

Pensiunan - pemerhati budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pilihan Hidup : Awet Tua atau Awet Muda

18 Desember 2011   10:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:06 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika ditanya tentu orang akan langsung memilih awet muda karena meski sudah banyak umur tetapi masih kelihatan muda, energik, gagah atau cantik yang merefleksikan menjalani hidup sehat dan bahagia. Sebaliknya bila awet tua berarti sejak masih muda sudah kelihatan tua, loyo, sakit-sakitan dan terkesan hidup kurang bahagia.

Namun muda dan tua yang dimaksud dalam tulisan ini bukan dalam kaitan denganpenampilan seseorang tetapi lebih mengacu kepada kematangan/kedewasaan jiwa dan pikirannya dan tentunya tercermin dalam tingkah lakunya. Boleh jadi secara umur seseorang telah masuk katagori dewasa/tua tetapi secara kejiwaan dan pemikiran ternyata masih muda atau bahkan kekanak-kanakan. Namun tidak jarang seseorang yang secara umur masih muda tetapi kejiwaan dan pemikirannya sudah menunjukkan kedewasaannya

Secara sederhana dapat digambarkan ciri-ciri kedewasaan jiwa dan pikiran akan tercermin dalam tindakan yang sabar, toleran, tidak egois, mendahulukan kepentingan orang banyak, berani karena benar (termasuk mengakui kesalahan) dan mampu berhitung untuk keuntungan yang lebih besar bagi sesama dan lingkungan.

Awet muda atau awet tua akan ditentukan sejak kapan seseorang telah matang jiwa dan pemikirannya.

Dengan pengertian diatas semestinya orang akan memilih pilihan hidup kedua yakni awet tua, yang berarti sepanjang masa hidupnya akan lebih lama dijalani sebagai manusia dewasa dalam pemikiran dan tindakannya. Jika di dalam suatu negara sebagian besar penduduknya menyadari dan memilih awet tua dipastikan kehidupan masyarakatnya akan lebih tertib, nyaman dan bahagia. Sebaliknya bila sebagian besar penduduknya dalam kondisi awet muda yang berarti lebih lama atau bahkan sepanjang hidupnya tidak dewasa dalam pemikiran dan tindakannyadapat dibayangkan apa yang akan menimpa roda kehidupan masyarakat tersebut.

Celakanya kebanyakan kita tidak menyadari bahwa adapilihan hidup seperti digambarkan diatas, dan karenanya tidak perlu memilih. Dianggap semakin tambah umur dan tambah tinggi jenjang pendidikan dan status sosialnya dengan sendirinya akan semakindewasa pula tindakan dan tingkah lakunya. Padahal kalau kita amati bagaimana kita bersikap mengenai berbagai hal, dari yang sederhana misalnyaharus mengantri, berlalu-lintas, memperlakukan properti publik sampai hal-hal yang serius seperti menjalankan undang-undang dan peraturan terasa betapa memprihatinkan dan ketidak-dewasaannya kita ini.

Makin macet jalanan makin saling serobot dan menutup jalan orang lain, bukannya berhitung agar jalanan dapat segera terbuka. Budaya ” to keep the way open” rupanya tidak kita kenal sama sekali. Dan ini bukan dilakukan oleh sopir angkutan umum saja tetapi banyak pula oleh pengemudi kendaraan pribadi bahkan yangmewah dan berdasi. Padahal secara mudah dapat dimengerti berapa kerugian publik dari pemakaian bahan bakar dan juga polusi lingkungan akibat perilaku yang demikian itu.

Trotoar dan selokan banyak yang tidak berfungsi lagi sebagaimana tujuansemula waktu dibuatnya karena diperlakukan / diperuntukkansemaunya saja oleh masyarakat.

Adakah pejabat yang menyatakan mengundurkan diri karena merasa bersalah ataupun bertanggung-jawab atas suatu kejadian yang fatal yang menjadi tanggung jawab instansinya.

Dan sebagainya dan sebagainya yang masih banyak lagi contoh lainnya.

Untuk dapat mengatur pola hidup agar awet tua tersebut ternyata ada panutan yang secara simbolis diberikan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga dalam pentahapan adegan pada pertunjukan wayang kulit yang beliau ciptakan yang memang dimaksudkan sebagai media dakwah Idealnya orang hidup melalui tahapan : lahir , remaja/akil balik, pematangan diri/pendewasaan, berkarya dan akhirnya kembali ke sang pencipta.

Kelahiran :

Disimbolkan dengan adegan/jejeran pertama yang membicarakan hal-hal yang diinginkan atau diharapkan untuk mendapatkan yang lebih baik.

Remaja / akil balik :

Disimbolkan dengan adegan perang gagal yakni perang yang tidak ada yang mati.

Pematangan diri/pendewasaan:

Disimbolkan dengan adegan pertapaan dimana seorang ksatria belajar/mendapat petunjuk dan bimbingan dari brahmana (”guru”). Biasanya dilanjutkan dengan adegan banyolan punakawan sebagai tanda kegembiraan telah mendapatkanlimpahan ilmu yang berarti remaja tersebut telah menjadi dewasa dan selanjutnya harus bertindak sebagai manusia dewasa atau mulai tua atau matang pemikirannya.

Ketiga-tiga adegan diatas biasanya akan memakan waktu selama 3 (tiga) jam ( jam 21.00 s/d jam 24.00 )

Berkarya:

Disimbolkan dengan adegan yang diawali dengan perang kembang yakni ksatria melawan raksasa Cakil dan kawan-kawan yang berarti bisa melawan/mematikan egonya sendiri. Dan selanjutnya berkarya dengan menyelesaikan masyalah kehidupan hingga tuntas sesuai peran yang disandangnya.

Kembali ke sang pencipta:

Disimbolkan dengan adegan akhir yakni tancep kayon.

Adegan-adegan ini akan memakan waktu sampai 5 (lima) jam ( jam 24.00 s/d jam 5.00 )

Dengan demikian tersirat anjuranhidup secara dewasa hendaknya lebih lama dari pada secara tidak dewasa. Atau awet tua lebih bermakna dari pada awet muda

DIKAIT-KAITKAN COCOK (jawa :OTAK ATIK GATUK)

Kalau dikait-kaitkan antara kebanyakan pertunjukan wayang kulit saat ini dengan gambaran sikap dan tingkah laku masyarakat seperti disebutkan diatas kiranya ada hubungan imaginernya. Mungkin untuk memenuhi selera pasar (penonton) kebanyakan pertunjukan wayang kulit sekarang tidak lagi menghadirkan adegan ksatria menuntut ilmu kepada sang ”guru” tetapi didominasi adegan banyolan punakawan yang sering melibatkan artis ataupun penonton yang melakukan interaksi dengan pak dalang. Saking asyiknya adegan ini kadang-kadang sampai jam 3.00 baru selesai. Akibatnya karena tinggal mempunyai sisa waktu yang tidak banyak maka adegan-adegan selanjutnya akan dipentaskan oleh pak dalang secara tergesa-gesa sehingga tidak sempat memberi simpulan makna atau pesan moral dari jalan cerita yang dipentaskan tersebut.

Sehingga wayang kulit yang semula hasil karya budaya untuk sarana dakwah / pengajaran moral yang dikemas dalam seni pentas yang tentu juga mencakup unsur hiburan menjadi kurang kalau tidak bisa dibilang hilang makna dakwahnya dan hanya tinggal sebagai tontonan hiburan saja. Hubungan imaginernya adalah :

-Masyarakat enggan mendewasakan diri = tidak ada adegan pertapaan – ksatria menuntut ilmu.

-Hidup santai, egois, mementingkan diri sendiri=hilangnya makna dawah karena waktu pertunjukan didominasi adegan banyolan

-Masyarakat memilih awet muda=Sejak adegan awal jam 21.00 sampai jam 3.00 ( 6 jam ) tidak ada maknanya kecuali hiburan

-Sadar untuk berbuat yang bermanfaat bagi kehidupan bersama sudah terlambat=adegan tergesa-gesa sudah hampir tanjep kayon.

Kalau Gus Dur pernah mengkritik anggota DPR-RI seperti taman kanak-kanak kiranya kurang tepat karena ternyata bukan hanya mereka tetapi kebanyakan kita memang memilih pilihan hidup AWET MUDA.

Anda bebas menentukan pilihan hidup anda sendiri.

Cipayung – Ciputat, 18 Nopember 2009

Resi Wahono Dhiposoewirjo



Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun